
Fenomena Bitcoin: Mungkin Dunia Sudah Tak Butuh Bank Sentral!

Krisis yang terjadi, sebut saja Krisis Keuangan Asia di 1997-1998, Krisis Subprime Mortgage di Amerika Serikat ini membuat trauma banyak pihak.
Posisi bank sentral yang seharusnya dipercaya untuk menjaga stabilitas, luntur. Karena, pengaswasan terhadap bank yang selama ini dipercaya dan harusnya bisa dipercaya justru tak becus dalam fungsi intermediasinya. Terjadi gelembung kredit, hingga masalah lain seperti biaya-biaya yang secara seenaknya dipungut bank membuat Bitcoin dengan teknologinya kian didekati.
Ketidakpercayaan sang Satoshi Nakamoto pada sistem perbankan konvensional pun mendorongnya melahirkan Bitcoin itu pula. Bitcoin di antaranya bisa dikirim ke mana saja melalui teknologi Blockchain (CNBC Indonesia akan menuliskan soal Blockchain di artikel selanjutnya) tanpa melalui bank atau lembaga pengirim. Setiap transaksi Bitcoin juga dilakukan tanpa syarat dan tanpa batasan transfer.
Fenomena mata uang virtual yang tiba-tiba hadir rupanya benar-benar mengusik otoritas bank sentral. Bank Indonesia pernah menyebut dan mengakui kehadiran Bitcoin dan aset digital lain dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan nasional.
Christine Lagarde pada 2019, saat menjadi Managing Director IMF mengatakan kehadiran Bitcoin "mengguncang" sistem perbankan dan harus dipantau untuk menjaga stabilitas sistem keuangan.
Christine Lagarde menjadikan perubahan model bisnis pada komersial bank sebagai bukti inovasi seperti cryptocurrency memiliki dampak yang jelas pada sektor keuangan.
"Saya pikir peran distruptor dan apa pun yang menggunakan teknologi buku besar terdistribusi (distributed ledger technology), baik Anda menyebutnya crypto, aset, mata uang, atau apa pun ... yang jelas-jelas mengguncang sistem," ujar Christine Lagarde.
Banyak mata uang digital seperti bitcoin "terdesentralisasi," yang berarti mereka tidak dikendalikan oleh bank sentral manapun.
Halaman Selanjutnya >> Tembus Rp 650 Juta Setelah Aksi Elon Musk (dru)