Jakarta, CNBC Indonesia - Australia memutuskan untuk menghentikan sementara pengembangan dan uji coba vaksin Covid-19 buatannya.
Dilansir dari Reuters, inokulasi yang sedang dikembangkan oleh Universitas Queensland dan pembuat vaksin CSL setop setelah "tes diagnostik HIV tertentu" memberikan hasil positif palsu.
Meskipun tidak ada efek samping serius yang terlihat dalam uji coba Fase 1 dari 216 peserta, data menunjukkan antibodi yang telah dikembangkan mengganggu diagnosis HIV dan menyebabkan hasil positif palsu pada beberapa tes HIV.
"Hasil ini menyoroti risiko kegagalan yang terkait dengan pengembangan vaksin dini, dan penilaian ketat yang terlibat dalam pengambilan keputusan tentang penemuan yang maju," kata Andrew Nash, kepala ilmuwan CSL, dikutip Jumat (11/12/2020).
Pemerintah telah membuat keputusan akhir bahwa vaksin University of Queensland tidak akan dapat melanjutkan uji coba berdasarkan saran ilmiah. "Hal itu tidak lagi menjadi bagian dari rencana vaksin Australia," kata Perdana Menteri Scott Morrison.
Secara keseluruhan, Australia telah mengamankan 140 juta unit vaksin untuk menyuntik 25 juta penduduknya. Vaksin-vaksin yang akan dipakai bersumber dari beberapa perusahaan seperti AstraZeneca, Pfizer, dan Novavax.
HALAMAN 2>>>
Sebelumnya vaksinasi corona yang dilakukan di Inggris dengan vaksin Pfizer juga dilanda kabar kurang sedap. Vaksin ini memunculkan kasus alergi ke sejumlah penerimanya, dalam gelombang pertama vaksinasi yang terjadi di Inggris.
Bahkan ada laporan bahwa vaksinasi bisa menyebabkan kondisi kelumpuhan wajah sementara yang biasa disebut Bell's Palsy. Hal ini menimbulkan tanda tanya di sejumlah kalangan.
Pada Rabu (9/12/2020), pejabat kesehatan Inggris mengeluarkan peringatan untuk seluruh orang yang akan divaksin Pfizer. Orang dengan riwayat reaksi alergi berlebihan tidak akan mendapatkan vaksin tersebut.
Peringatan ini dilakukan setelah adanya laporan mengenai dua orang anggota Layanan Kesehatan Nasional (National Health Service /NHS) negara tersebut menderita reaksi alergi hingga membutuhkan perawatan. Dua orang ini termasuk dalam kelompok pertama yang mendapatkan vaksin di Inggris.
Direktur medis NHS Inggris Stephen Powis mengatakan kedua orang tersebut, yang memiliki riwayat alergi. Namun saat ini keduanya sudah mulai membaik kondisinya.
Dia juga menyebutkan bahwa lembaga independen Badan Pengatur Obat dan Produk Kesehatan (Medicines and Healthcare products Regulatory Agency/MHRA) telah menyarankan bahwa orang dengan reaksi alergi yang signifikan tidak mendapatkan vaksin ini sebagai pencegahan, setelah ada kasus ini.
Reaksi alergi signifikan ini termasuk terhadap terhadap obat-obatan, makanan atau vaksin.
Pfizer mengatakan telah mendapatkan laporan dari MHRA tentang reaksi alergi. Namun demikian mereka mengatakan selama uji coba fase 3 terhadap lebih dari 40.000 orang, dalam laporan uji klinisnya disebutkan vaksin ini secara umum dapat ditoleransi dengan baik tanpa masalah keamanan yang serius.
Inggris menjadi negara pertama yang menyuntikan vaksin setelah persetujuan darurat. Teknisnya, vaksin ini diberikan dalam dua dosis dengan jeda 21 hari. Prioritas utama pemberian vaksin ini adalah kepada tenaga kesehatan dan pekerja sosial serta golongan lanjut usia di atas 80 tahun.
Inggris telah menerima sebanyak 800 ribu dosis dari total pesanan 40 juta dosis untuk vaksin yang ditemukan oleh Pfizer dan BioNTech ini.
Sebelumnya, izin yang keluar ke Pfizer di Inggris dikritisi oleh kepala Lembaga Penyakit Menular Amerika Serikat (CDC) Anthony Fauci. Ia menyatakan bahwa persetujuan itu diambil secara "terburu-buru", namun kemudian mencabut pernyataan itu.
Pfizer jadi salah satu vaksin yang disebut memiliki keampuhan tinggi. Selain Pfizer sejumlah vaksin juga jadi yang terdepan dalam penelitian yakni milik AstraZeneca dan Moderna.