Vaksin Covid-19 Belum Tentu Hapus Corona dari Bumi, Kenapa?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
24 September 2020 15:54
A box for a COVID-19 immunoglobin treatment is displayed at an exhibit by Chinese pharmaceutical firm Sinopharm at the China International Fair for Trade in Services (CIFTIS) in Beijing, Saturday, Sept. 5, 2020. With the COVID-19 pandemic largely under control, China's capital on Saturday kicked off one of the first large-scale public events since the start of the coronavirus outbreak, as tens of thousands of attendees were expected to visit displays from nearly 2,000 Chinese and foreign companies showcasing their products and services. (AP Photo/Mark Schiefelbein)
Foto: Vaksin COVID-19 ditampilkan oleh perusahaan farmasi China Sinopharm di Pameran Internasional China untuk Perdagangan Jasa (CIFTIS) di Beijing, Sabtu (5/9/2020). (AP Photo/Mark Schiefelbein)

Jakarta, CNBC Indonesia - Tidak ada yang bisa memastikan kapan kehidupan normal tanpa masker dan jaga jarak akan segera kembali. Untuk saat ini virus jahanam penyebab Covid-19 masih terus menghantui kehidupan umat manusia.

Banyak pabrik yang beroperasi dengan kapasitas di bawah normalnya, tutup atau bahkan sampai ada yang bankrut secara permanen , tempat-tempat hiburan sepi dan masih dijauhi pengunjung, sekolah pun diliburkan. 

Semua itu karena pandemi Covid-19 yang telah menginfeksi 31,8 juta penduduk dunia dan menewaskan hampir 1 juta di antaranya. Lima bulan telah berlalu begitu cepat sementara vaksin penangkal yang mujarab masih belum tersedia untuk publik.

Kabar baiknya adalah 38 kandidat vaksin kini sedang menjalani uji klinis. Ada 8 diantaranya yang masuk evaluasi tahap akhir. Namun apakah vaksin benar-benar bisa menjadi 'juru selamat' untuk umat manusia yang dirundung nestapa abad ini?

Jawabannya tidak mudah kawan! Bahkan rumit dan kompleks jika membahas soal vaksin. Banyak faktor yang sangat mempengaruhi keberhasilan vaksinasi dalam rangka untuk membasmi pandemi.

Secara umum vaksin yang didesain saat ini ditujukan untuk memberikan imunitas atau semacam kekebalan tubuh terhadap patogen. Namun bukan berarti orang tersebut akan serta merta terbebas dari infeksi Covid-19.

Vaksin pada akhirnya hanya akan menurunkan tingkat keparahan penyakitnya saja, bukan menghilangkan pandemi. Itu artinya adanya pembatasan sosial dan penegakan protokol kesehatan masih akan terus diterapkan. 

Mengapa bisa demikian?

Ada faktor penting agar vaksin bisa digunakan. Pertama adalah vaksin haruslah teruji aman dan efektif. Ada tiga tahap uji klinis vaksin secara umum yaitu tahap I,II dan III. Tahap III adalah tahap pamungkas. 

Dalam kondisi normal vaksin butuh waktu tahunan untuk diuji klinis. Namun dalam kondisi darurat seperti sekarang, waktu pengembangan dan uji klinis dipadatkan dan beberapa berjalan paralel. 

Hanya saja kemungkinan suatu vaksin lolos setiap tahapan uji sampai dengan tahap akhir tergolong keci. Hanya 6% saja. Sederhananya adalah, jika saat ini ada 200 kandidat vaksin yang tengah dikembangkan dan diuji, hanya ada 12 kandidat saja yang lolos sampai tahap akhir. Itu pun masih termasuk skenario paling optimis.

Tahap III adalah tahap penentuan apakah vaksin benar-benar aman dan teruji berkhasiat. Dalam pelaksanaannya uji tahap III ini membutuhkan sukarelawan yang jumlahnya banyak tak seperti sebelumnya. Jumlah sampel uji yang besar sering menjadi kendala sehingga di fase ini banyak kandidat vaksin yang menuai kegagalan.

Jika ada satu vaksin yang lolos uji, tantangan kembali muncul. Dengan kasus yang sudah terlalu meluas seperti sekarang ini, permintaan terhadap vaksin akan membludak. Ada 7,8 miliar penduduk bumi yang membutuhkannya. Dengan asumsi satu orang dua dosis maka butuh 15,6 miliar dosis vaksin.

Itu pun kalau vaksinasi dilakukan sekali waktu saja. Jika harus dilakukan berulang kali maka tentu saja dosisnya akan lebih banyak. Padahal kapasitas pengembang vaksinnya saja tak sampai sebanyak itu. Vaksin pun akan menjadi barang langka.

Ada kemungkinan dalam suatu negara banyak orang yang tidak kebagian vaksinasi. Padahal untuk menekan pandemi secara signifikan setidaknya ada beberapa faktor yang harus terpenuhi.

Pertama proporsi masyarakat dari populasi yang terinfeksi wabah haruslah rendah atau bahkan mendekati nol persen, efektivitas vaksin harus 80% dan total masyarakat yang divaksinasi harus mencapai tiga perempat dari total populasi.

Untuk menjawab syarat yang pertama saja sudah susah. Banyaknya fenomena OTG dan kebutuhan testing yang masif dan akurat masih jadi kendala untuk mengetahui dengan pasti berapa banyak orang yang terjangkit. 

Untuk poin kedua soal efektivitas vaksin akan sangat tergantung dari hasil uji klinisnya yang panjang, memakan biaya besar hingga waktu pelaksanaan yang lama.

Sementara untuk poin terakhir soal ukuran populasi yang diimunisasi akan tergantung pada kemampuan finansial personal maupun negara, proporsi populasi yang rentan hingga aspek psikologis dan sosial di masyarakat. 

Di AS misalnya, survei yang dilakukan oleh Pew Research Center menunjukkan bahwa terjadi penurunan minat masyarakat untuk divaksinasi. Survei yang dilakukan terhadap lebih dari 10 ribu responden itu menunjukkan adanya penurunan minat vaksinasi sebesar 21 poin persentase.

Ketika survei dilakukan pada bulan Mei, 72% responden menjawab sangat yakin dan mungkin untuk divaksinasi. Angka tersebut turun menjadi 51% saja ketika survei yang sama dilakukan di bulan ini.

Masyarakat AS menjadi cemas bahwa vaksin yang terlalu cepat tersedia membuat tingkat keefektifan dan keamanannya diragukan.  

Tantangan lain yang muncul soal akses terhadap vaksin juga sangat dipengaruhi oleh tipe vaksin dan infrastruktur yang dibutuhkan. Banyak kandidat vaksin dikembangkan dengan platform teknologi baru sehingga membutuhkan preservasi di bawah nol derajat celcius.

Bagi negara berkembang dan miskin dengan adanya keterbatasan infrastruktur serta wilayah georgrafis luas yang terfragmentasi (Indonesia) ini akan jadi tantangan tersendiri untuk mewujudkan program vaksinasi masal.

Artinya lagi-lagi untuk melakukan vaksinasi butuh waktu yang tak singkat sementara pandemi terus menyebar dengan kecepatan tinggi. Pada akhirnya vaksin pun belum tentu menjadi juru selamat.

Bukan berarti vaksin tidak berguna lho ya, itu yang musti dicatat! Para ilmuwan di dunia saat ini cenderung lebih berpandangan bahwa vaksin pun tak mampu mengeliminasi Covid-19 bahkan mengeradikasinya. Vaksin hanya mampu menurunkan tingkat keparahan penyakit sementara umat manusia dan virus hidup berdampingan.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Perbedaan Gejala Omicron di Orang yang Sudah Vaksin & Belum

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular