
Jadi Peserta Prakerja Tapi Berbohong? Siap-siap Dipidana Ya!

Jakarta, CNBC Indonesia - Ketua Komite Kebijakan Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Airlangga Hartarto angkat suara soal kritik yang mendera Program Kartu Prakerja. Menurut Airlangga, pandemi Covid-19 telah berdampak kepada program tersebut sehingga pemerintah harus melakukan sejumlah penyesuaian.
Hal itu disampaikannya dalam Webinar TEMPO "Dialog Industri: Mengatasi Pandemi dan Mencegah Krisis Ekonomi" yang disiarkan di akun Youtube resmi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Rabu (19/8/2020).
"Pertama, program ini kan program yang tidak ada sebelumnya dan ini bagian dari kampanye Pak Presiden (Joko Widodo) untuk Kartu Prakerja. Dan pada saat ini didesain ini adalah government service pertama atau public service pertama yang menggunakan digital. Dan dengan adanya pandemi Covid-19, ini diakselerasi dan tentu fungsinya diubah dari untuk re-skilling dan up-skilling tenaga kerja menuju era digitalisasi ini diubah menjadi semi bansos," ujar Airlangga.
"Tentu kalau era digitalisasi mereka yang bisa mendaftar adalah dengan pendidikan yang relatif lebih tinggi kemudian pelajarannya coding dan yang lain yang terkait dengan kebutuhan industri 4.0 atau digitalisasi. Tetapi begitu dia diubah menjadi semi bansos targetnya langsung berbeda. Karena dari segi pendidikan, dari segi SMA atau perguruan tinggi ke atas diturunkan ke SMP karena itu sebagian besar pekerja kita berada di sana," lanjutnya.
Lebih lanjut, Airlangga mengatakan, program Kartu Prakerja juga harus ramah terhadap mereka yang tidak memiliki smart phone sehingga harus mengakses program via komputer. Itu artinya harus ada "pendampingan" di daerah-daerah.
Terlepas dari masalah itu, kata Airlangga, harus diakui peminat program Kartu Prakerja begitu masif.
"Begitu kita buka pendaftarnya overwhelming, dalam tiga minggu itu sudah 5,6 juta yang mendaftar. Artinya kuota satu tahun sudah lunas dalam 3 minggu," ujarnya.
Airlangga juga mengungkapkan langkah yang dilakukan pemerintah demi kelancaran program Kartu Prakerja. Salah satunya dari sistem IT.
"Tidak semua sistem IT pemerintah itu sistem aktif. Yang dimaksud aktif bisa di-call atau istilahnya bisa di-ping setiap saat. Nah kalau kita yang punya kita data semua adalah passive data. Sehingga tentu kita dalam waktu singkat ini berlari sambil membuat sistem," katanya.
"Tentu kalau kita lihat karena ini adalah yang pertama dan pemerintah belum pernah melakukan servis seperti ini. Dengan demikian tentu banyak hal yang perlu menyesuaikan baik itu dari regulasinya maupun dalam pelaksanaan. Bahkan mungkin ini dikerjakan oleh kurang dari 10 orang misalnya. Sehingga ini adalah sebuah public service yang baru yang diakselerasi dengan pandemi Covid-19," lanjut Airlangga.
Lebih lanjut, eks menteri perindustrian ini tak memungkiri pendaftar program lebih banyak ketimbang kuota yang tersedia. Ia mengibaratkannya seperti momen pendaftaran ke perguruan tinggi negeri. Imbasnya proses pun menjadi tak terelakkan.
"Namun tentu ini menjadi cambuk untuk memperbaiki dari public service. Nah sekarang public service ini yang mempunyai data yang relatif terkonfirmasi sehingga data ini relatif lebih prudent karena datanya itu data aktif, orangnya yang ingin mendaftar, dia punya KTP, dia punya KK, dia menyatakan dia tidak bekerja dan itu semuanya jelas," ujar Airlangga.
"Dan apabila salah sasaran, yang salah sasaran itu sudah bisa dituntut dan kita sudah minta kepada yang bersangkutan berarti melakukan pembohongan. Nah pembohongan ini sudah bisa kita pidanakan. Bahkan kalau mereka mendapatkan bansos kita bisa kejar untuk mengembalikan dana tersebut. Dengan dihentikan kemarin kira-kira hampir tiga minggu ini kita bicara dengan seluruh masukan baik itu dari KPK, BPK, BPKP, kemudian juga LKPP, sehingga melengkapi public service yang kita lakukan," lanjutnya.
(miq/roy)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kartu Prakerja Gelombang 32 Dibuka, Begini Cara Daftarnya