Perbankan Indonesia Rapuh di Tengah Pandemi? Cek Data Ini

dob, CNBC Indonesia
07 August 2020 13:51
Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia- Demi mendorong ekonomi nasional Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengoptimalkan berbagai kebijakan stimulus untuk mendorong pemulihan melalui penguatan peran sektor jasa keuangan. OJK juga mendukung berbagai kebijakan Kementerian Keuangan, Bank Indonesia (BI) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam mempercepat pemulihan ekonomi nasional.

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan bauran kebijakan ini diharapkan dapat menjaga stabilitas sektor jasa keuangan dan menempatkan industri jasa keuangan menjadi katalis dalam menggerakkan roda perekonomian dengan memberikan daya dukung bagi sektor riil.

Wimboh juga mengatakan regulator memberikan ruang bagi industri bank umum untuk memanfaatkan kesempatan dalam menjaga likuiditas. OJK juga melakukan Penurunan Batas Minimum Rasio LCR Dan NSFR Menjadi Paling Rendah 85% sampai dengan 31 Maret 2021.

Selain itu dilakukan penundaan Penundaan pemberlakuan standar Basel III, Finalising post-crisis reforms (Basel III reforms) menjadi 1 Januari 2023
Sementara Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan penurunan policy rate BI7DRR turun dari 4.75% menjadi 4.00%, penurunan GWM Rate 200 Bps untuk BUK dan 50Bps untuk BUS/UUS, dan pelonggaran Likuiditas di antaranya melalui Pembelian SBN.

Tidak ketinggalan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) juga melakukan penempatan dana pemerintah di industri Perbankan untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional.

"Kebijakan ini mendorong likuiditas perbankan dalam tren meningkat, indikator Pasar Uang Antar Bank (PUAB) cenderung stabil dan Dana Pihak Ketiga (DPK) di perbankan tumbuh," kata Wimboh belum lama ini.

Wimboh mengatakan berbagai kebijakan stimulus yang telah diterbitkan OJK mendorong kondisi sektor jasa keuangan secara umum dalam kondisi baik dan terkendali dengan indikator prudensial seperti permodalan maupun likuiditas yang memadai serta profil risiko yang terjaga.

Di tengah pandemi covid-19, Kredit mencapai Rp 5.549 triliun pada Juni 2020 dengan pertumbuhuna 1,49% dibandingkan tahun lalu. Pertumbuhan kredit perbankan tumbuh didukung oleh pertumbuhan kredit investasi dan konsumsi. Sementara berdasarkan sektornya, transportasi sebesar 9,97%, pertambangan 7,69%, konstruksi 4,41%, dan pertanian 4,31%.


Sementara DPK perbankan tetap tumbuh positif 7,95% atau senilai Rp 6.175,36 triliun. Pertumbuhan DPK ditopang oleh pertumbuhan DPK BUKU 4 yang masih tumbuh double digit (11,90% yoy). Wimboh mengatakan Koordinasi OJK dengan Kementerian Keuangan melalui penempatan dana pemerintah ke Bank Himbara dan BPD yang selanjutnya disalurkan ke UMKM juga menopang pertumbuhan kredit bulan Juni. Selain itu, skema penjaminan kredit UMKM juga mendorong pertumbuhan kredit perbankan.


Sementara dari permodalan juga masih terjaga stabil pada level yang tinggi, CAR perbankan pada Juni pun naik menjadi 22,59% dari 22,14% pada Mei. LDR pun semakin longgar di angka 88,64% pada Juni, turun dibandingkan sebulan sebelumnya yang tercatat 90,42%.

"Peran kebijakan OJK melalui di POJK 11/2020 dan POJK 14/2020 terkait restrukturisasi kredit/pembiayaan sangat besar dalam menjaga tingkat NPL dan Permodalan Bank sehingga stabilitas sektor jasa keuangan dapat terjaga dengan baik," kata Wimboh.

Secara profil risiko perbankan juga masih terjaga, dengan NPL Gross perbankan di level 3,1%. Meski tingkat NPL telah meningkat tajam dibandingkan dengan Desember 2019 yang tercatat 2,53%, kenaikan disebut berasal dari nasabah yang memang sudah mengalami masalah sejak sebelum pandemi.

Nilai NPL yang meningkat ini paling besar disumbang oleh kredit modal kerja yang sebesar 3,69%, kemudian diikuti oleh NPL dari kredit investasi sebesar 2,58% dan NPL dari kredit konsumer sebesar 2,22%. Berdasarkan sektornya, NPL paling tinggi berasal dari sektor pertambangan yang hingga akhir semester I-2020 berada di angka 4,9%. Diikuti kemudian oleh sektor perdagangan yang sebesar 4,5% dan sektor pengolahan yang sebesar 4,5%.

"Perlu dicermati tren meningkatnya NPL sektor perdagangan besar, pengolahan, dan rumah tangga yang memiliki porsi 57% dari total kredit," kata dia.

Restrukturisasi Kredit

Untuk mengurangi dampak dari pandemi ini dilakukan restrukturisasi berdasarkan POJK 11 Tahun 2020. POJK ini akan berlaku hingga Februari tahun depan depan.

Hingga 20 Juli 2020 mencatat angka restrukturisasi kredit perbankan hingga 20 Juli 2020 telah mencapai Rp 784,36 triliun yang berasal dari 6,73 juta nasabah baik individu maupun korporasi yang melakukan restrukturisasi kredit sebagai dampak pandemi Covid-19.

Nilai ini terdiri dari restrukturisasi kredit UMKM mencapai Rp 330,27 triliun dari Rp 5,38 juta nasabah. Sedangkan untuk non-UMKM mencapai Rp 454,09 triliun yang terdiri dari 1,34 juta nasabah.

"Jadi dapat kami sampaikan total restrukturisasi ini mencapai 25%-30% [dari total outstanding kredit] meski kita perkirakan sebelumnya 40%," kata Wimboh.

Dia menjelaskan, proses restrukturisasi ini bisa dilakukan dengan macam-macam langkah bergantung pada kebijakan bank menyesuaikan dengan kondisi nasabahnya. Beberapa kebijakan restrukturisasi yang dilakukan dapat berupa penundaan pembayaran bunga, penundaan pembayaran pokok, haircut dengan periode 6 bulan hingga satu tahun.

"Ini tidak bisa distandarkan tergantung kondisi bank," imbuhnya.


(dob/dob)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ramai Ajakan Rush Money Perbankan, OJK: Itu Hoax

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular