Corona Menular Lewat Udara, Ilmuwan China Punya Buktinya Lho!

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
10 July 2020 17:52
Kondisi di Stasiun Manggarai Jakarta Selatan pada Kamis (28/5/2020) terpantau masih ramai. Banyak warga yang berlalu lalang meski masih memasuki pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB dan akan berakhir 4 Juni 2020 di DKI Jakarta.
 
Di stasiun, para pengguna KRL khususnya dari sejumlah daerah penyangga Jakarta masih banyak berdatangan ke Ibu Kota saat jam kerja.
 
Dari pantauan CNBC Indonesia dilapangan, Kamis (28/5/2020), penumpang di Stasiun Manggarai terdiri dari berbagai macam kalangan. Mulai dari orang dewasa hingga anak-anak masih terlihat bepergian menggunakan KRL.
 
Sementara itu, tampak petugas keamanan stasiun akan menegur penumpang jika tak menggunakan masker dan tidak menerapkan physical distancing atau menjaga jarak.
 
Kendati begitu, situasi di Stasiun Manggarai tidak sepadat di saat-saat jam kerja. Penumpang di dalam kereta pun terlihat relatif sepi.
 
Untuk diketahui sebelumnya, PSBB untuk memutus penyebaran virus Corona atau Covid-19 belum dapat diterapkan 100%.
 

Begitu juga dengan tulisan larangan duduk atau saling menjaga jarak saat berada di dalam gerbong. Sesuai aturan moda transportasi saat masa PSBB, KRL harus membatasi jadwal kereta begitu juga kapasitas penumpangnya, yakni maksimal 50% dari jumlah normal. (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)
Foto: Penumpang KRL di Stasiun Manggarai (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Ramai ratusan ilmuwan multidisipliner dari berbagai penjuru dunia mendesak WHO untuk mengakui potensi kemungkinan penyebaran virus corona (SARS-CoV-2) melalui udara.

Sebuah studi oleh para ilmuwan China membuktikan bahwa penyebaran lewat udara memang memungkinkan. Studi tersebut pun sudah dirilis pracetak di situs medRxiv.org dan dikutip CNBC Indonesia, Jumat (10/7/2020).

Semua bermula ketika ada tiga klaster keluarga (sebut saja A,B dan C) yang berkunjung di suatu restoran untuk merayakan tahun baru Tiongkok (imlek) pada 24 Januari 2020.

Di restoran tersebut keluarga A berjumlah 10 orang, B berjumlah 4 orang dan C berjumlah 7 orang duduk di bangku paling belakang dekat jendela eksterior yang letaknya masih dalam satu baris. Meja keluarga A berada di tengah. 

Denah Sebuah Restoran di GuangzhouDenah Sebuah Restoran di GuangzhouFoto: medRxiv

Saat itu ada satu keluarga A yang menunjukkan gejala menderita COVID-19 yang kemudian disebut sebagai pasien indeks. Tak lama kemudian 3 anggota dari keluarga B dan dua anggota dari keluarga C dinyatakan terinfeksi SARS-CoV-2. Total penderita COVID-19 dari klaster tersebut ada 10 orang.

Namun tak ada satupun pelayan dan 68 pelanggan lain yang tersebar di 15 meja lainnya terinfeksi oleh virus ganas tersebut. Padahal keluarga A,B dan C pun tidak saling mengenal dan kebetulan hanya duduk di meja yang sebaris saja.

Berdasarkan rekaman video yang ada, tidak ada kontak jarak dekat yang terjadi antara ketiga keluarga. Hal ini kemudian membuat para ilmuwan yang berjumlah 11 yang berasal dari 7 universitas di Hong Kong dan China itu mulai menelusuri penyebab infeksi COVID-19 pada keluarga A, B dan C. 

Para ilmuwan tersebut kemudian mulai mengumpulkan data epidemiologi, video rekaman di restoran dan pola persebaran meja pelanggan. Selanjutnya mereka melakukan simulasi menggunakan komputer untuk mengetahui bagaimana droplet yang dihembuskan pasien indeks bisa menyebar.

Peneliti lain yang juga mengkaji kasus yang sama berkesimpulan bahwa penyebaran droplet dari pasien indeks menjadi pemicu terjangkitnya anggota keluarga B dan C.

Namun fenomena tersebut tak serta merta dipicu oleh adanya droplet saja mengingat jarak antar meja lebih dari 1 meter. Estimasi para peneliti tersebut menunjukkan jarak antar meja bisa mencapai 4,6 meter.

Denah Sebuah Restoran di GuangzhouDenah Sebuah Restoran di GuangzhouSumber: medRxiv

Berdasarkan simulasi 11 ilmuwan tersebut, resirkulasi udara yang terkontaminasi telah terbentuk di zona ABC (lihat gambar di atas) menjadi penyebab semakin pekatnya droplet yang dihembuskan oleh pasien indeks.Waktu paparan terhadap droplet yang tersirkulasi di zona ABC untuk ketiga keluarga juga terbilang lama.

Lama waktu bersama antara keluarga A dan B di restoran adalah 53 menit (antara 12:01 dan 12:54) dan 75 menit untuk keluarga A dan C (antara 12:03 dan 13:18), sehingga dengan waktu tersebut paparan terhadap udara yang terkontaminasi droplet yang mengandung SARS-CoV-2 terbilang cukup untuk menimbulkan infeksi apalagi jika ditambah dengan konsentrasi droplet yang semakin pekat.

Realita yang menunjukkan bahwa  tidak ada satu pun pelayan yang terinfeksi dapat dikaitkan dengan waktu paparan yang relatif singkat dengan udara yang terkontaminasi di zona tersebut. 

Namun, fenomena resirkulasi udara yang terkontaminasi di zona ABC tidak bisa disimpulkan sebagai pemicu utama wabah juga. Bukti lebih lanjut datang dari tingkat ventilasi yang rendah: konsentrasi tinggi yang diamati dari hasil simulasi menunjukkan kurangnya pasokan udara luar.

Kipas exhaust yang ada di dinding ditemukan dimatikan dan disegel selama makan siang pada hari itu. Ini berarti, tidak ada pasokan udara luar selain dari infiltrasi dan pembukaan pintu yang berada di dekat kamar kecil. Udara luar tersebut terdistribusi ke zona non-ABC, sehingga memperburuk defisit ventilasi di zona ABC.

Jika ditambah dengan padatnya pengunjung di restoran tersebut, maka bisa disimpulkan bahwa udara yang terkontaminasi oleh SARS-CoV-2 ditambah dengan ventilasi yang buruk serta waktu paparan yang mencukupi menjadi penyebab utama mengapa ada klaster COVID-19 dari keluarga A, B dan C. 

Namun ada hal yang penting untuk dicatat terkait penelitian ini yakni transmisi udara terkontaminasi virus jarak jauh tidak terjadi dalam ruangan indoor. Transmisi yang terjadi mungkin disebabkan karena ventilasi yang buruk dan ruangan yang ramai dan padat.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(twg/roy)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Potret Gua Wanling yang Diduga Asal Virus Corona di China

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular