Berjemur Kurangi Risiko Terkena Covid-19? Simak Faktanya

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
26 June 2020 15:38
Jaga jarak saat berjemur di taman New York. AP/Kathy Willens
Foto: Jaga jarak saat berjemur di taman New York. AP/Kathy Willens

Jakarta, CNBC Indonesia - Sebuah penelitian menunjukkan bahwa sinar matahari dapat membantu menonaktifkan virus corona (SARS CoV 2). Jika memang benar demikian maka seharusnya dengan berjemur di bawah sinar matahari dapat menurunkan risiko terinfeksi virus ganas tersebut. Namun benarkah demikian?

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh dua orang peneliti yaitu Jose-Luis Sagripanti dan C. David Lytle mengkaji tentang inaktivasi virus Corona dengan radiasi sinar matahari. Hasil penelitian tersebut sudah diterima untuk publikasi dan telah melewati proses peer review

Dalam studi tersebut proses inaktivasi virus corona dicermati jika dalam kondisi terkena paparan radiasi matahari. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa 90% dari SARS CoV 2 akan terinaktivasi setelah mendapat paparan sinar matahari tengah hari selama 11-34 menit di AS dan negara-negara lain selama periode musim panas. 

Sebagai gambaran, virus tersebut akan bertahan dalam hitungan sehari atau lebih dalam kondisi musim dingin (Desember-Maret) dengan risiko terjadinya re-aerosolisasi atau partikel kembali dapat terbawa udara. 

Meskipun virus bukanlah makhluk hidup, tetapi kemampuan virus untuk bisa menginfeksi inangnya sangat tergantung dari faktor lingkungan. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Chan dkk (2011), kemampuan virus corona penyebab wabah SARS dalam menginfeksi inang tergantung pada temperatur dan kelembaban relatif.

Dalam kondisi ruangan ber-AC di mana suhu berada di kisaran 20-25 derajat selsius dan tingkat kelembaban relatifnya berada di rentang 40-50%, virus corona mampu bertahan hingga 5 hari pada permukaan yang bertekstur lembut.

Hasil studi yang sudah lama dilakukan lebih dulu ini mendukung hasil yang diperoleh oleh Sagripanti & Lytle. Namun jika suhu udara dan kelembaban relatif meningkat dengan drastis, kemampuan virus untuk bertahan langsung turun signifikan.

Oleh karena itu ini dapat menjelaskan mengapa SARS bisa merebak di Hong Kong dan China yang beriklim subtropis.

Pada November dan Desember, China memasuki periode musim dingin. Sehingga hal ini bisa menjelaskan kenapa wabah SARS bisa terjadi pada November 2002 dan COVID-19 mulai terjadi pada Desember 2019.

Temperatur udara yang dingin saangat mendukung kemampuan virus untuk bertahan. Fakta lain yang disebutkan oleh Zhing Sun dalam kajiannya adalah, ketika wabah SARS dan COVID-19 mulai terjadi kala itu China selain dilanda musim dingin juga dilanda kekeringan.

Curah hujan di Foshan Guangdong China saat wabah SARS mulai terjadi pada Desember 2002 sangat rendah yaitu 0 mm. Selain itu kondisi kekeringan juga terjadi di Wuhan pada Desember tahun lalu. Hal ini terlihat dari curah hujan yang hanya 5 mm.

Selain menguntungkan bagi virus, kondisi dingin juga melemahkan sistem imun inang dari virus yakni manusia. Menurut Zhong Sun dkk temperatur dingin menyebabkan berkurangnya suplai darah dan dengan demikian menurunnya pasokan sel imun ke mukosa hidung.

Kelembaban yang rendah dapat mengurangi kapasitas sel silia di saluran pernapasan untuk menghilangkan partikel virus dan mengeluarkan lendir serta memperbaiki saluran pernapasan.

Selain itu, sel manusia melepaskan protein sinyal setelah infeksi virus untuk memperingatkan sel tetangga untuk mempertimbangkan bahaya invasi virus. Namun, dalam lingkungan kelembaban rendah, sistem pertahanan kekebalan bawaan ini terganggu.

Lebih serius lagi, kelembaban rendah dapat menyebabkan lendir hidung menjadi kering; lapisan rongga hidung menjadi rapuh, atau bahkan pecah; dan membuat seluruh saluran pernapasan bagian atas rentan terhadap invasi virus.

Sampai di sini kita bisa menarik kesimpulan bahwa kondisi lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap kemampuan virus menginfeksi dan pertahanan tubuh kita adalah temperatur dan kelembaban.

Ada juga studi lain yang mengatakan bahwa temperatur dan kelembaban dampaknya minimalis terhadap kelangsungan virus. Namun dalam penelitian yang dilakukan Sagripanti dan Lytle tersebut juga menunjukkan bahwa efektivitas inaktivasi virus SARS CoV 2 turut dipengaruhi oleh garis lintang, ukuran populasi dan upaya penanganan di sektor kesehatan.

Sebagai contoh 99% dari virus akan terbunuh dalam 2 jam setelah mendapat paparan matahari di daerah yang berada di sebelah selatan AS latitude 43N selama musim panas. Sebanyak 99% virus juga akan terinaktivasi selama 2 jam paparan sinar matahari di beberapa kota yang berada di latitude 35N selama musim gugur. 

Dengan hasil tersebut maka berjemur di bawah sinar matahari memang berpotensi untuk menurunkan risiko terinfeksi virus Corona. Namun berjemur bukan menjadi satu-satunya cara untuk menurunkan risiko terinfeksi virus corona.

Ada faktor lain yang juga harus diperhatikan seperti waktu yang tepat untuk berjemur agar paparan sinar UV tidak terlalu banyak karena dapat menyebabkan iritasi dan bahkan kanker. 

Faktor lainnya adalah menerapkan pola hidup higienis dengan rajin mencuci tangan dengan sabun, menjaga kondisi lingkungan sekitar tetap bersih, dan menggalakkan protokol kesehatan dengan menggunakan masker saat berada di luar serta menjaga jarak aman. 

TIM RISET CNBC INDONESIA


(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Merasa Beruntung Belum Kena Covid? Bisa Jadi ini Penyebabnya

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular