
Buat Apa Banyak Unicorn & Decacorn Jika Picu Krisis?
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
30 January 2020 18:25

Darah segar suntikan investor tersebut diputar oleh startup digital untuk berbagai hal. Kalau rondenya masih seed round, dana tersebut diputar untuk riset dan studi penetrasi pasar hingga akuisisi pelanggan.
Untuk seri lanjutan atau late stage funding series uang tersebut digunakan oleh startup untuk ekspansi baik organik maupun anorganik melalui akuisisi startup lain. Tak jarang uang tersebut ‘dibakar’ oleh startup untuk menciptakan trafik dan menambah user atau pengguna melalui beragam promo gila-gilaan.
Aksi bakar uang ini masih jadi polemik sampai sekarang. Bahkan praktik bakar uang ini masih digunakan oleh startup besar sekelas Gojek dan Grab yang sudah menyandang status sebagai decacorn.
Decacorn di sini merujuk pada startup dengan valuasi yang sudah mencapai US$ 10 miliar atau Rp 140 triliun. Walau valuasi perusahaan tersebut terbilang jumbo, tetapi tak jadi jaminan startup tersebut sudah mencetak untung.
Bagaimana bisa perusahaan dengan nilai sefantastis itu belum untung alias masih rugi? Jawabannya bisa saja! Hal ini terjadi ketika startup ini terus membakar uang investornya untuk hal-hal yang tak memiliki dampak signifikan terhadap bottom line perusahaan.
Strategi ini dilakukan untuk berbagai macam tujuan mulai dari ‘membesarkan valuasi’ hingga mendisrupsi industri yang ujung-ujungnya jadi ‘monopoli’. Hal ini mungkin terjadi mengingat model bisnis startup yang belum proven serta pendanaan bersifat tertutup dan tak dipublikasikan.
Terkait poin ‘membesarkan valuasi’, simpelnya seperti ini. Sebelum investor memberikan dana kepada investee, mereka akan melakukan analisa terhadap bisnis investee ini. Salah satu yang dilakukan adalah dengan menilai seberapa layak perusahaan tersebut disuntik dana.
Valuasi umumnya dilakukan dengan menimbang jumlah uang yang harus diinvestasikan dibandingkan dengan keuntungan yang mungkin didapat dari dividen misalnya. Karena umumnya susah mencari pembanding startup dan konsepnya belum proven, maka metrik valuasi yang lebih condong ke pertumbuhan pendapatan digunakan, misal melihat jumlah pengguna aplikasi dari waktu ke waktu atau bahkan GMV dalam kurun waktu tertentu.
Teknik valuasi ini memang tak salah. Namun bisnis membesarkan valuasi ini jika tak disikapi dengan bijak dan mengaburkan salah satu esensi dari usaha itu sendiri yaitu profitabilitas, bisa sangat berbahaya.
Pasalnya investor berupa VC maupun PE akan menjual sahamnya di startup melalui IPO atau penawaran perdana. Di saat ini lah para VC atau PE meraup untung dari bisnis membesarkan valuasi tersebut. Ketika sahamnya ditawarkan ke publik, harganya sudah sangat kemahalan atau bahasa kerennya ‘overvalued’.
Hal ini mampu memicu nilai valuasi startup tersebut terpangkas saat IPO atau bahkan sebelum IPO. Hal ini terjadi pada WeWork, Uber dan Lift. Pada kasus WeWork bahkan nilai valuasinya anjlok drastis sebelum IPO.
(twg/twg)
Untuk seri lanjutan atau late stage funding series uang tersebut digunakan oleh startup untuk ekspansi baik organik maupun anorganik melalui akuisisi startup lain. Tak jarang uang tersebut ‘dibakar’ oleh startup untuk menciptakan trafik dan menambah user atau pengguna melalui beragam promo gila-gilaan.
Aksi bakar uang ini masih jadi polemik sampai sekarang. Bahkan praktik bakar uang ini masih digunakan oleh startup besar sekelas Gojek dan Grab yang sudah menyandang status sebagai decacorn.
Bagaimana bisa perusahaan dengan nilai sefantastis itu belum untung alias masih rugi? Jawabannya bisa saja! Hal ini terjadi ketika startup ini terus membakar uang investornya untuk hal-hal yang tak memiliki dampak signifikan terhadap bottom line perusahaan.
Strategi ini dilakukan untuk berbagai macam tujuan mulai dari ‘membesarkan valuasi’ hingga mendisrupsi industri yang ujung-ujungnya jadi ‘monopoli’. Hal ini mungkin terjadi mengingat model bisnis startup yang belum proven serta pendanaan bersifat tertutup dan tak dipublikasikan.
Terkait poin ‘membesarkan valuasi’, simpelnya seperti ini. Sebelum investor memberikan dana kepada investee, mereka akan melakukan analisa terhadap bisnis investee ini. Salah satu yang dilakukan adalah dengan menilai seberapa layak perusahaan tersebut disuntik dana.
Valuasi umumnya dilakukan dengan menimbang jumlah uang yang harus diinvestasikan dibandingkan dengan keuntungan yang mungkin didapat dari dividen misalnya. Karena umumnya susah mencari pembanding startup dan konsepnya belum proven, maka metrik valuasi yang lebih condong ke pertumbuhan pendapatan digunakan, misal melihat jumlah pengguna aplikasi dari waktu ke waktu atau bahkan GMV dalam kurun waktu tertentu.
Teknik valuasi ini memang tak salah. Namun bisnis membesarkan valuasi ini jika tak disikapi dengan bijak dan mengaburkan salah satu esensi dari usaha itu sendiri yaitu profitabilitas, bisa sangat berbahaya.
Pasalnya investor berupa VC maupun PE akan menjual sahamnya di startup melalui IPO atau penawaran perdana. Di saat ini lah para VC atau PE meraup untung dari bisnis membesarkan valuasi tersebut. Ketika sahamnya ditawarkan ke publik, harganya sudah sangat kemahalan atau bahasa kerennya ‘overvalued’.
Hal ini mampu memicu nilai valuasi startup tersebut terpangkas saat IPO atau bahkan sebelum IPO. Hal ini terjadi pada WeWork, Uber dan Lift. Pada kasus WeWork bahkan nilai valuasinya anjlok drastis sebelum IPO.
(twg/twg)
Next Page
Awas Bubble!
Pages
Most Popular