Aturan Tarif Taksi Baru Untungkan Grab & Gojek?

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
19 June 2019 20:41
Aturan Tarif Taksi Baru Untungkan Grab & Gojek?
Jakarta, CNBC Indonesia - Aturan baru taksi online telah resmi berlaku mulai hari Selasa (18/6/2019), sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 118 Tahun 2018.

Artinya, kini keberlangsungan operasi taksi online yang tengah dikuasai oleh dua perusahaan aplikasi (aplikator) raksasa memiliki koridor yang harus dipatuhi.

Karena bila tidak, Menteri atau Gubernur dapat memberikan sanksi administratif kepada perusahaan terkait, mulai dari peringatan tertulis, pembekuan izin penyelenggaraan, hingga pencabutan izin penyelenggaraan.


Salah satu poin penting yang diatur dalam aturan baru tersebut adalah tarif layanan taksi online.

Disebutkan bahwa aplikator harus harus memasang tarif sesuai koridor Tarif Batas Atas (TBA) dan Tarif Batas Bawah (TBB) yang bisa berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya.

Adapun TBA dan TBB akan ditetapkan oleh Menteri atau Gubernur, dengan terlebih dahulu melakukan kajian dengan pemangku kepentingan.

Artinya, nanti akan ada jajak pendapat antara perusahaan angkutan (dalam hal ini driver), aplikator, dan pihak berwenang untuk menetapkan besaran TBA dan TBB tiap daerah.

Selain itu ada pula skema biaya langsung dan biaya tidak langsung pada komponen penyusun tarif. Akan tetapi dalam Permenhub tersebut tidak diatur lebih lanjut mengenai komposisi biaya langsung dan biaya tidak langsung.

Hingga artikel ini diturunkan, belum ada Gubernur atau Menteri yang sudah menetapkan TBA dan TBB baru untuk layanan taksi online di wilayah kewenangan masing-masing.

Untuk sementara, TBB dan TBA yang berlaku mengacu pada Peraturan Dirjen (Perdirjen) Perhubungan Darat Nomor SK.3244/AJ.801/DJPD/2017 tentang tarif batas bawah angkutan sewa khusus.

Dalam Perdirjen disebutkan bahwa TBB dan TBA masing-masing daerah adalah sebagai berikut:
  • Sumatera, Jawa, Bali : TBB Rp 3.500/km; TBA Rp 6.000/km
  • Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, Papua : TBB Rp 3.700/km ; TBA Rp 6.600/km.

Hal menarik lainnya dalam Permenhub ini adalah perusahaan aplikasi sudah dengan jelas dilarang untuk memberikan promosi tarif di bawah TBB yang telah ditetapkan.

Dengan adanya aturan ini, harapannya persaingan antara taksi online dan taksi konvensional dapat lebih sehat. Setidaknya level playing field.

Benarkah Taksi Konvensional Bisa Bersaing?

BERLANJUT KE HALAMAN 2>>>


Dengan berlakunya Permenhub No. 118 tahun 2019, ada peluang perbedaan tarif taksi online dan taksi konvensional menjadi lebih sempit. Apalagi bila nanti di setiap daerah tarif batas bawah yang ditetapkan oleh pemerintah setara dengan tarif batas bawah taksi konvensional.

Namun tetap saja taksi konvensional masih berada pada posisi yang lebih tidak diuntungkan. Pasalnya saat ini TBA dan TBB yang diatur hanya tarif per kilometer. Sementara pada taksi konvensional ada yang namanya tarif buka pintu.

Artinya untuk menempuh jarak yang sama pada tingkatan tarif yang sama, biaya yang dikeluarkan oleh penumpang taksi konvensional akan cenderung lebih besar.

Itu pun sudah merupakan skenario yang paling bagus.


Karena pada kenyataannya, taksi online memiliki bisnis model yang lebih luas dibanding taksi konvensional. Aplikator memiliki segudang jalur pendapatan.

Contohnya pada dua aplikator taksi online saat ini ada yang namanya jasa pemesanan makanan, yang tentunya mengambil marjin dari setiap pemesanan (tidak termasuk biaya pengantaran).

Berdasarkan keterangan dari Chief Corporate Affairs Gojek, Nila Marita, jumlah transaksi Gofood tahun 2018 mencapai US$ 2 miliar atau setara Rp 27,6 triliun. Jumlah sebesar itu lebih dari enam kali lipat total pendapatan Blue Bird di tahun 2018 yang sebesar Rp 4,21 triliun.

Dengan nilai pendapatan yang jumbo tersebut, aplikator jadi punya ruang yang lebih luas untuk mengatur biaya perjalanan orang. Aplikator bisa saja tidak mengambil untung dari operasional pengantaran orang, karena masih bisa mendapatkan keuntungan dari transaksi makanan.

Itu mungkin dilakukan untuk mempertahankan loyalitas pengguna dan mendapatkan pengguna aplikasi baru. Jumlah pengguna bertambah, artinya potensi transaksi juga meningkat.

Sementara taksi konvensional tidak dapat menerapkan hal itu, karena pengantaran orang merupakan kanal bisnis utamanya. Taksi konvensional akan selalu mengusahakan keuntungan dari operasional pengantaran orang, yang mau tidak mau harus mengambil marjin dari setiap perjalanan.

Maka dari itu, pada kebanyakan kasus, tarif taksi konvensional akan lebih mahal ketimbang taksi online. Dari segi tarif, sulit untuk mencapai kesetaraan.

Keduanya ada pada industri yang sama (transportasi), namun yang satu memiliki cabang usaha lain.

Belum lagi soal promo tarif yang sebenarnya masih belum terang benderang. Pasalnya pelarangan promo hanya pada tarif angkutan saja dan tidak termasuk aplikasi uang elektronik yang menempel di masing-masing aplikator. Masih ada skema cashback yang kemugkinan masih bisa diterapkan tanpa harus melanggar aturan Menteri Perhubungan.

Di tengah masyarakat kelas menengah Indonesia yang sangat sensitif terhadap harga sebuah produk, taksi konvensional mau tak mau harus mencari keunggulan lain yang bisa meningkatkan daya saing.

Atau bila cukup berani, perusahaan taksi sah-sah saja bila mau mengembangkan model bisnis yang dapat menarik pendapatan selain dari pengantaran orang.

Karena bila iklim usaha seperti ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin generasi yang akan datang tidak lagi mengenal taksi-taksi konvensional yang pernah menjadi moda transportasi ayah-ibunya.

TIM RISET CNBC INDONESIA



Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular