Google Oh Google.. Susahnya Mengejar Pajakmu!

Herdaru Purnomo, CNBC Indonesia
10 June 2019 06:54
Google Oh Google.. Susahnya Mengejar Pajakmu!
Foto: Kantor pusat Google di Manhattan, New York City (REUTERS/Jeenah Moon)
Jakarta, CNBC Indonesia - Kurang lebih dua tahun atau tepatnya 2016 lalu Sri Mulyani Indrawati yang kembali duduk kembali sebagai Menteri Keuangan mengeluarkan 'maklumat' kepada penyedia layanan internet Google Asia Pasific.

Melalui Direktorat Jenderal Pajak, melayanglah sebuah surat untuk melakukan pemeriksaan awal. Pemerintah menjalankan kebijakan ini karena Google sang raja mesin pencari ini merupakan sebuah Badan Usaha Tetap (BUT) yang seharusnya tunduk untuk membayar pajak atas pengerukan pundi-pundi pendapatan melalui bisnis iklannya.


Isu pajak ini bahkan dibawa ke sebuah sidang kabinet kala itu. Sri Mulyani mengakui persoalan pajak yang berkaitan dengan berbagai macam transaksi elektronik memang merupakan suatu persoalan yang dihadapi semua negara.

Sri Mulyani menegaskan Direktorat Jenderal Pajak menggunakan berbagai peraturan perundang-undangan yang ada Indonesia untuk menyatakan bahwa kegiatan-kegiatan atau aktivitas yang menggunakan platform online atau e-commerce adalah obyek pajak di Indonesia.

Tentu saja, lanjut Sri Mulyani, wajib pajak bisa saja memberikan argumen berbeda. "Tapi ini adalah negara Republik Indonesia dimana kami memiliki Undang-Undang Perpajakan," kata Sri Mulyani usai Rapat Terbatas, di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat (16/9/2016) kala itu.

Kalau ada suatu perbedaan, lanjutnya, tentu bisa dilakukan apakah secara bilateral atau melalui mekanisme peradilan perpajakan. Menurutnya kegiatan yang ada di Indonesia diharapkan membentuk yang disebut Badan Usaha Tetap (BUT), dan itu akan menyebabkan aktivitas ekonomi mereka menjadi obyek pajak di Indonesia, termasuk Google Asia Pasific.

Isu pajak Google ini adalah isu yang menjadi suatu persoalan yang tidak mudah di banyak negara. Namun, tak gentar, Sri Mulyani menegaskan pihaknya akan terus melakukan upaya-upaya sesuai dengan peraturan perundang-undangan agar kegiatan-kegiatan ekonomi yang berada di Republik Indonesia dan dimiliki oleh Wajib Pajak Indonesia menunaikan kewajibannya membayar pajak sesuai dengan aturan perundang-undangan yang ada.

Google Oh Google.. Susahnya Mengejar Pajakmu!Foto: Google CEO Sundar Pichai (Reuters/Beck Diefenbach)

Namun, surat yang dilayangkan oleh Ditjen Pajak untuk melakukan pemeriksaan awal ternyata dimentahkan oleh Google.

Pihak Google Asia Pasific Pte Ltd di Singapura mengirimkan surat penolakan. Alasannya, Google merasa tidak seharusnya dianggap memiliki BUT, sehingga tidak seharusnya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan tidak perlu dilakukan pemeriksaan soal pajak.

Bayangkan, melansir Reuters, pada Selasa (20/9/2016), jawara internet itu menghadapi tagihan pajak sebesar US$ 418 juta atau sekitar Rp 5,5 triliun kala itu hanya untuk 'tagihan' pajak periode tahun 2015 saja.

Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus Muhammad Haniv mengatakan pihaknya menyambangi kantor Google Indonesia pada Senin (19/9/2016).

Ditjen Pajak menduga bahwa tahun lalu Google hanya membayar 0,1% dari total pajak pendapatan dan pertambahan nilai yang menjadi kewajibannya. Haniv, kala itu pula mengatakan, transaksi bisnis periklanan digital mencapai US$ 830 juta setahun. Sebanyak 70% dari angka tersebut dikuasai oleh Facebook dan Google.

Setelah tarik-menarik, alhasil Sri Mulyani pada 2017 atau setahun setelahnya mengungkapkan Google Asia Pasific Pte Ltd dipastikan telah melunasi utang pajaknya di Indonesia. Sayangnya, ia enggan menyebutkan berapa angka pajak yang dibayar Google.


"Kami sudah ada pembahasan dengan mereka dan sudah ada suatu agreement berdasarkan SPT 2016," ujar Sri Mulyani dilansir detikFinance di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (13/6/2017).

Menurut Sri Mulyani, pembahasan pajak adalah hal yang rahasia. Ia enggan bicara terkait besaran pajak yang dibayar Google kepada Direktorat Jenderal Pajak.

BERLANJUT KE HALAMAN DUA

Sri Mulyani sempat membagi cerita rangkaian kegiatannya dalam hari pertama pertemuan G20 di Jepang, Sabtu (8/6/2019), di akun media sosial Facebook-nya.

Pertemuan tersebut diawali dengan simposium mengenai International Taxation atau perpajakan internasional. Dalam diskusi tersebut, Sri Mulyani bersama menteri keuangan dari Jepang, China, Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat (AS) menjadi pembicara utama.

"Digitalisasi ekonomi dan kemajuan teknologi informasi mengubah model bisnis di mana kehadiran secara fisik tidak penting," tulis Sri Mulyani.

"Hal ini melemahkan prinsip "Permanent Establishment" yang menjadi dasar sistem perpajakan internasional. Diperlukan sistem perpajakan internasional baru agar mampu menjamin pemajakan yang adil antarnegara di era digitalisasi," lanjutnya.



Ia mencatat bahwa Inggris, Australia, dan Prancis telah menerapkan aturan perpajakan untuk ekonomi digital, termasuk penggunaan big data. Sementara itu, India menerapkan pungutan untuk equalisasi.

Kerjasama perpajakan internasional yang mengalami kemajuan pesat adalah pencegahan penghindaran pajak melalui "Base Erosion Profit Shifting" (BEPS) dan kerjasama pertukaran informasi "Automatic Exchange of Information" (AEOI) oleh 130 negara/yurisdiksi, menurut Sri Mulyani.

"Saat ini tidak ada tempat untuk menyembunyikan kewajiban pajak oleh siapapun," tegasnya.

Di akhir pertemuan, para menteri keuangan G20 akhirnya sepakat menutup celah bagi raksasa teknologi global menghindari pajak. Nantinya akan disusun peraturan umum yang bisa menutup celah tersebut, dikutip dari Reuters.

Selama ini, raksasa teknologi seperti Facebook, Google, Amazon, dan perusahaan teknologi besar lainnya mendapat kecaman karena mampu menurunkan tagihan pajak mereka dengan sengaja mencatatkan keuntungannya di negara-negara dengan tarif pajak rendah. Praktik ini dinilai tidak adil oleh sebagian negara.

Nantinya peraturan baru tersebut diharapkan bisa menaikkan nilai pajak untuk perusahaan multinasional besar seperti Facebook dan Google dan mempersulit negara-negara seperti Irlandia untuk menarik investasi asing langsung dengan janji tarif pajak yang sangat rendah untuk perusahaan. Aturan pajak baru itu diharapkan bisa rampung pada 2020 mendatang, menurut komunike G20 yang dirilis, Minggu.



Atas dasar tersebut diharapkan gembar-gembor pembayaran pajak memang tak hanya untuk 'wong kecil' tapi pemerintah memang sudah seharusnya mengejar 'Big Fish' yang terang-terangan susah dalam pembayaran pajaknya.
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular