MARKET DATA
Newsletter

Amerika Sudah Beri Kabar Baik, RI Belum Tenang Karena Jepang

Gelson Kurniawan,  CNBC Indonesia
19 December 2025 06:10
Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa saat konferensi pers APBN KITA di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (18/12/2025).
Foto: Infografis/ 10 Besar Negara yang Masih Andalkan 'Cash', Indonesia Nomor Berapa?/ Ilham Restu

Pelaku pasar perlu mencermati sejumlah sentimen yang menggerakkan pasar hari ini, baik dari dalam ataupun luar negeri.  Dari dalam negeri, realisasi APBN bisa menjadi sentimen.

Sementara itu, dari sisi internasional ada Bank of Japan, inflasi Jepang, dan dampak dari rilis data inflasi AS yang mencapai level yang lebih rendah dari bulan sebelumnya walaupun The Fed memangkas suku bunga

Berikut beberapa sentimen yang bisa menggerakkan pasar hari ini:

BoJ Siap Akhiri Era Bunga Rendah

Pasar global hari ini berada dalam mode siaga menantikan dua rilis data krusial dari Jepang yang dijadwalkan hari ini Jumat (19/12/2025). Fokus utama tertuju pada rilis data Inflasi Nasional Jepang yang diproyeksikan akan memanas ke level 3,0% secara tahunan (yoy).

Angka ini didorong oleh kenaikan biaya energi dan impor, yang mulai menggerus daya beli riil masyarakat Jepang. Inflasi yang persisten tinggi ini menjadi amunisi utama bagi Bank of Japan (BoJ) untuk mengubah haluan kebijakan moneternya.

Sejalan dengan data inflasi, pasar meyakini BoJ akan mengambil langkah historis dengan menaikkan suku bunga acuan menjadi 0,75% dari posisi saat ini.

Jika terealisasi, ini menandakan langkah agresif Gubernur BoJ untuk menormalisasi kebijakan dan keluar dari rezim suku bunga ultra-rendah yang telah bertahan puluhan tahun.

Surplus neraca perdagangan Jepang yang baru saja rilis kemarin (surplus 322,2 miliar Yen) memberikan kepercayaan diri tambahan bagi BoJ bahwa ekonomi Jepang cukup kuat untuk menahan beban biaya pinjaman yang lebih tinggi.

Bagi investor global, keputusan ini berpotensi memicu volatilitas pada nilai tukar Yen dan arus modal carry trade.

Defisit APBN Terkendali di 2,35%, Namun Penerimaan Pajak Terkontraksi

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa melaporkan kondisi fiskal terkini, di mana realisasi defisit APBN per November 2025 tercatat sebesar Rp 560,3 triliun atau setara 2,35% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Angka ini masih berada dalam koridor aman di bawah batas undang-undang (3%), memberikan sinyal kepada pasar bahwa pemerintah tetap disiplin menjaga kesehatan anggaran di tengah gejolak global. Keseimbangan primer yang mencatat defisit Rp 82,2 triliun juga dinilai masih dalam batas toleransi.

Namun, di balik angka defisit yang aman, terdapat "lampu kuning" pada sisi penerimaan. Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengungkapkan bahwa setoran pajak hingga November 2025 baru terkumpul Rp 1.634,43 triliun, jauh dari target APBN sebesar Rp 2.189,31 triliun.

Lebih mengkhawatirkan lagi, penerimaan pajak ini mengalami kontraksi -3,21% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Penyebab utama seretnya setoran pajak adalah lonjakan restitusi (pengembalian kelebihan bayar pajak) yang mencapai Rp 351,05 triliun.

Tingginya angka restitusi ini mengindikasikan bahwa dunia usaha sedang mengalami tekanan arus kas sehingga mengajukan klaim pengembalian pajak secara masif. Hal ini menjadi tantangan berat bagi pemerintah untuk mengejar target penerimaan di sisa satu bulan terakhir tahun ini.

Kemenkeu Gencar Terbitkan SPN Tenor Pendek

Merespons dinamika pasar keuangan dan kebutuhan kas negara, Kementerian Keuangan mengumumkan perubahan strategi pembiayaan.

Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR), Suminto, menegaskan bahwa pemerintah akan semakin agresif menerbitkan Surat Perbendaharaan Negara (SPN) atau surat utang bertenor pendek (di bawah 1 tahun) mulai akhir tahun ini hingga 2026.

Pemerintah kini melengkapi variasi tenor SPN mulai dari 1, 3, 6, 9, hingga 12 bulan. Strategi ini bertujuan ganda yaitu pertama, memberikan fleksibilitas bagi pemerintah dalam manajemen kas (cash management) yang lebih efisien, sehingga saldo kas tidak mengendap terlalu lama namun tetap tersedia saat dibutuhkan.

Kedua, langkah ini merupakan upaya pendalaman pasar keuangan, memberikan opsi instrumen jangka pendek bagi investor yang saat ini cenderung menghindari risiko jangka panjang akibat ketidakpastian suku bunga global.

Penerbitan SPN yang masif diharapkan dapat menjaga stabilitas likuiditas pasar obligasi domestik.

Perang Melawan Rokok Ilegal

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) mencatatkan rekor penindakan rokok ilegal yang signifikan. Hingga November 2025, total rokok ilegal yang berhasil diamankan menembus angka 1 miliar batang, melonjak 34,9% dibandingkan tahun sebelumnya.

Mayoritas barang bukti berupa Sigaret Kretek Mesin (SKM) yang mendominasi 74,2% dari total sitaan.

Meskipun angka penindakan ini impresif, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengakui bahwa ini baru puncak gunung es. Jumlah rokok ilegal yang beredar di masyarakat diperkirakan jauh lebih besar dari yang berhasil disita.

Maraknya rokok ilegal ini tidak hanya menggerus penerimaan negara, tetapi juga mendistorsi persaingan industri rokok legal.

Fakta ini semakin memperkuat urgensi rencana pemerintah (seperti dibahas sebelumnya) untuk menerapkan teknologi pelacakan digital pada pita cukai guna menutup celah peredaran di pasar gelap secara lebih sistematis.

Inflasi AS Anjlok ke 2,7%, Lampu Hijau The Fed Agresif

Rilis data inflasi AS di November 2025 memberikan kejutan sangat positif bagi pasar global. Inflasi umum tercatat anjlok ke level 2,7%, sementara inflasi inti turun lebih dalam ke 2,6%.

Realisasi ini jauh di bawah konsensus pasar yang sebelumnya cemas inflasi akan tertahan "bandel" di angka 3,0%.

Data ini menjadi validasi kemenangan bagi The Fed yang tengah dalam siklus penurunan suku bunga. Dengan inflasi yang melandai drastis mendekati target 2% dan dikombinasikan dengan pasar tenaga kerja yang mulai mendingin, The Fed kini memiliki "jalan tol" untuk melanjutkan pemangkasan suku bunga secara lebih agresif tanpa keraguan.

Kekhawatiran akan inflasi yang lengket  kini sirna. Fokus The Fed dapat beralih sepenuhnya untuk menjaga pertumbuhan ekonomi agar tidak terperosok resesi.

Bagi pasar keuangan, ini adalah skenario "Goldilocks" yang ideal: inflasi jinak dan suku bunga turun. Sentimen ini menjadi katalis sangat bullish bagi aset berisiko, sekaligus berita sangat baik bagi Bank Indonesia dan Rupiah karena tekanan Dolar AS dipastikan akan mereda signifikan.

(gls/gls)


Most Popular
Features