Memasuki perdagangan kedua di pekan ini, Selasa (2/12/2025), pelaku pasar diperkirakan masih akan merespon terhadap hasil rilis ekonomi dalam negeri.
Pasar juga akan menyoroti pelemahan indeks dolar AS yang semakin dalam, seiring menguatnya ekspektasi pemangkasan suku bunga The Federal Reserve pada Desember. Rangkaian indikator ini akan menjadi acuan utama untuk membaca arah pemulihan ekonomi Indonesia menjelang akhir tahun 2025.
Dari dalam negeri, membaiknya inflasi dan kencangnya laju PMI Manufaktur menunjukkan fundamental ekonomi masih sangat kuat dan mesin ekonomi RI sudah mulai memanas menjelang akhir tahun. Hal ini akan menjadi penggerak positif buat saham, rupiah, dan SBN.
Berikut rangkuman sentimen ekonomi yang akan dicermati pasar pada hari ini:
Inflasi November Melandai
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis inflasi November 2025 pada Senin (1/12/2025) yang sebesar 0,17% mtm dan 2,72% yoy. Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa, Pudji Ismartini, menjelaskan bahwa inflasi tahun kalender kini berada di 2,27% ytd.
Dibandingkan bulan sebelumnya, inflasi Oktober tercatat 0,28% mtm dan 2,86% yoy, sehingga tekanan harga terlihat mulai mereda.
Realisasi ini sejalan dengan konsensus CNBC Indonesia dari sebelas institusi, yang memperkirakan inflasi berada di 0,22% mtm dan 2,80% yoy, dengan inflasi inti stabil pada 2,3%.
Salah satu penahan inflasi utama adalah deflasi beras, yang turun 0,59% mtm dan menjadi deflasi terdalam sepanjang 2025. Pudji menjelaskan bahwa penurunan harga beras dipicu oleh peningkatan ketersediaan selama musim panen, penyesuaian harga antar kualitas, serta penyaluran beras SPHP yang menambah pasokan di pasar.
Beras mengalami deflasi di 28 provinsi, inflasi di 8 provinsi, dan stabil di 2 provinsi. Secara historis, beras cenderung mengalami inflasi pada November 2022 dan 2023, namun pada November 2024 dan 2025 komoditas ini justru masuk fase deflasi lebih dalam. Sepanjang 2025, beras telah mencatat deflasi empat kali pada April, September, Oktober, dan November dengan November menjadi yang terdalam.
Deflasi beras ini menjadi faktor penting yang menjaga inflasi tetap rendah pada November, di tengah tekanan musiman akhir tahun.
Surplus Dagang Oktober Tetap Kuat, Meski Menyempit
BPS juga melaporkan bahwa neraca perdagangan Indonesia pada Oktober 2025 mencatat surplus US$2,4 miliar, lebih rendah dibanding surplus September 2025 yang mencapai US$4,34 miliar.
Meski turun, surplus ini tetap memperpanjang kinerja positif Indonesia menjadi 66 bulan beruntun, didukung ekspor sebesar US$24,24 miliar dan impor US$21,84 miliar.
Realisasi surplus ini relatif sejalan dengan perkiraan pasar, di mana Polling CNBC Indonesia memproyeksikan surplus berada di sekitar US$3,69 miliar atau berpotensi lebih rendah.
Penyempitan surplus terutama disebabkan oleh melemahnya ekspor non-migas, yang turun 0,51% yoy menjadi US$23,34 miliar. Pelemahan terbesar berasal dari sektor pertambangan yang anjlok 32,9%, dengan kontribusi penurunan ekspor sebesar 4,95%. Komoditas seperti bijih tembaga, batu bara, lignit, niobium, tantalum, dan berbagai mineral lain mengalami koreksi harga di pasar global.
Secara total, ekspor Indonesia turun 2,31% yoy, lebih rendah dibanding September yang mencapai US$24,68 miliar. Melemahnya permintaan global dan koreksi harga komoditas menjadi faktor utama yang menekan kinerja ekspor pada Oktober.
PMI Manufaktur RI Melesat, Ekspansi Terkuat Sejak Februari
Sektor manufaktur Indonesia kembali menunjukkan pemulihan yang solid pada November 2025. Data Purchasing Managers' Index (PMI) yang dirilis S&P Global pada Senin (1/12/2025), menunjukkan PMI Indonesia naik ke 53,3, dari 51,2 pada Oktober. Ini merupakan level tertinggi sejak Februari 2025 serta menandai empat bulan ekspansi berturut-turut.
Pemulihan ini semakin menegaskan bahwa sektor manufaktur telah keluar dari tekanan setelah berada dalam fase kontraksi selama periode April-Juli 2025, ketika PMI sempat berada di bawah level 50 selama empat bulan.
Menurut laporan S&P Global, kenaikan PMI November didorong oleh lonjakan pesanan baru, yang tumbuh pada laju tercepat dalam 27 bulan, terutama berasal dari pasar domestik. Volume pemesanan dari luar negeri justru menurun, mencatat kontraksi terdalam dalam 14 bulan.
Produksi manufaktur juga kembali meningkat setelah melemah selama tiga bulan sebelumnya. Laju ekspansi pada November merupakan yang tercepat sejak Februari, menandakan perusahaan mulai meningkatkan kapasitas untuk memenuhi permintaan dalam negeri yang menguat.
Pemulihan pesat pada sisi permintaan dan produksi ini memperkuat prospek sektor manufaktur menuju akhir tahun.
Indeks Dolar AS Tertekan, Ekspektasi Pemangkasan Suku Bunga Meningkat
Indeks dolar Amerika Serikat (DXY) kembali melemah pada perdagangan Senin (1/12/2025). DXY tercatat turun 0,36% ke level 99,085. Pelemahan ini menunjukkan bahwa aset berdenominasi dolar mulai ditinggalkan, sehingga menekan kinerja greenback. Kondisi ini sebetulnya membuka peluang positif bagi penguatan nilai tukar rupiah, meski respons rupiah tetap terbatas akibat sikap hati-hati pelaku pasar.
Tekanan pada dolar terjadi seiring meningkatnya ekspektasi pasar bahwa The Federal Reserve akan memangkas suku bunga pada pertemuan FOMC 10 Desember 2025. Berdasarkan CME FedWatch Tool, probabilitas pemangkasan sebesar 25 basis poin melonjak menjadi 87,4%, mencerminkan keyakinan pasar bahwa langkah tersebut hampir menjadi kepastian.
Namun, arah kebijakan moneter setelah Desember masih penuh ketidakpastian. Pasar uang memperkirakan peluang pemangkasan berikutnya tidak akan terjadi sebelum musim semi tahun depan. Sejumlah analis bahkan menilai bahwa pemangkasan di Desember bisa saja menjadi "hawkish cut", yaitu pemangkasan suku bunga yang disertai sinyal bahwa pelonggaran tambahan tidak akan segera dilakukan.
Ekspektasi ini turut diperkuat oleh laporan bahwa penasihat ekonomi Gedung Putih, Kevin Hassett, menjadi kandidat terdepan untuk menggantikan Jerome Powell sebagai Ketua The Fed. Kabar tersebut menyeret dolar ke pelemahan mingguan terdalam dalam empat bulan terakhir.
Goldman Sachs dalam laporannya menilai bahwa pasar kini mulai mengalihkan fokus dari FOMC Desember menuju pertemuan berikutnya. Mereka menilai perpecahan pandangan di internal The Fed mencegah pasar untuk memproyeksikan pelonggaran yang lebih agresif, terlebih masih banyak data tenaga kerja yang akan dirilis sebelum pertemuan Januari.
ISM Manufaktur AS November
Aktivitas manufaktur Amerika Serikat kembali menunjukkan pelemahan pada November 2025. Berdasarkan rilis dari Institute for Supply Management (ISM) pada Senin (1/12/2025) melaporkan bahwa indeks manufaktur (ISM Manufacturing PMI) turun menjadi 48,2%, melemah dari 48,7% pada bulan sebelumnya. Angka ini menandai kontraksi yang semakin dalam dan menegaskan bahwa sektor manufaktur AS masih berada di bawah tekanan.
Beberapa komponen utama PMI juga mencerminkan ketidakstabilan permintaan dan produksi. Indeks tenaga kerja anjlok 2 poin menjadi 44%, menunjukkan pelemahan signifikan pada perekrutan tenaga kerja. Sementara itu, indeks pesanan baru turun 2 poin menjadi 47,4%, mengindikasikan permintaan baru yang belum pulih. Di sisi lain, indeks produksi justru meningkat 3,2 poin ke level ekspansi 51,4%, menandakan adanya perbaikan output meski permintaan melemah.
Komponen harga naik tipis 0,5 poin menjadi 58,5% dan tetap berada di area ekspansif, mencerminkan tekanan harga yang masih tinggi di tingkat produsen.
Kepala ISM, Susan Spence, mengatakan bahwa kontraksi yang lebih dalam pada November dipicu oleh melemahnya pengiriman pemasok, pesanan baru, dan lapangan pekerjaan.
"Perlambatan aktivitas manufaktur terlihat semakin nyata, dengan perbaikan pada satu indeks di bulan sebelumnya tercermin dalam tekanan pada indeks lainnya," ujar Spence.
Laporan terbaru ini memperkuat sinyal bahwa sektor manufaktur AS belum mampu keluar dari fase kontraksi, bahkan ketika beberapa indikator menunjukkan perbaikan teknis dalam produksi.
(evw/evw)