Pelaku pasar perlu mencermati sejumlah sentimen dan data ekonomi yang bisa menjadi penggerak pasar keuangan hari ini.
Harus diakui, data-data makroekonomi yang rilis Kamis kemarin membawa pesan yang cukup berat bagi pasar. Indonesia tampaknya sedang menghadapi risiko tekanan ganda yakni defisit pada anggaran negara (fiskal) dan tekanan pada arus keluar masuk uang (eksternal).
Kombinasi dari penerimaan pajak yang seret, utang yang menumpuk, hingga cadangan devisa yang tergerus menjadi sinyal bahwa Indonesia perlu mengatur strategi investasi dengan lebih hati-hati. Pasalnya, jika tidak dikelola hati-hati maka pasar keuangan bisa terimbas.
Berikut adalah bedah mendalam mengenai kondisi ekonomi Indonesia per akhir November 2025.
Neraca Pembayaran Defisit US$ 6,4 Miliar
Bank Indonesia (BI) merilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) untuk Kuartal III-2025 yang mencatatkan defisit sebesar US$ 6,4 miliar.
Defisit ini terjadi karena surplus neraca perdagangan tidak lagi mampu menutupi derasnya arus modal keluar (capital outflow) dan defisit neraca jasa.
Investor asing terlihat melakukan aksi jual bersih (net sell) di pasar keuangan domestik dan memindahkan asetnya ke Dolar AS pada Juli-September 2025, seiring dengan ketidakpastian ekonomi global. Selain itu, pembayaran utang luar negeri swasta dan repatriasi dividen juga turut menyedot devisa keluar.
Defisitnya NPI bisa menekan rupiah.
Investor perlu bersiap menghadapi volatilitas Rupiah dalam jangka pendek. Jika Rupiah terus melemah, emiten-emiten yang memiliki utang dalam Dolar AS atau yang bergantung pada bahan baku impor seperti sektor farmasi dan konsumer akan mengalami tekanan pada margin laba bersihnya.
Kabar baiknya transaksi berjalan Indonesia akhirnya kembali mencatat surplus sebesar US$4,04 miliar pada kuartal III-2025, atau setara 1,1% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini adalah capaian yang cukup penting, karena menjadi surplus pertama sejak kuartal I-2023 atau setelah 10 kuartal berturut-turut mencatat defisit.
Dibandingkan kuartal sebelumnya, perbaikannya juga sangat signifikan. Pada kuartal II-2025, transaksi berjalan masih mengalami defisit US$2,74 miliar, sehingga secara kuartalan terjadi peningkatan hingga US$6,8 miliar.
Surplusnya transaksi berjalan menjadi kabar baik. Sebagai catatan, neraca transaksi berjalan Indonesia lebih sering mencatat defisit dibandingkan surplus.
Defisit transaksi berjalan bahkan kerap menjadi "hantu" bagi fundamental ekonomi karena mengurangi daya tarik bagi investor.
Surplus transaksi berjalan terutama ditopang oleh lonjakan kinerja ekspor nonmigas, yang meningkat seiring antisipasi eksportir terhadap penerapan tarif resiprokal Amerika Serikat.
Peningkatan surplus neraca perdagangan barang terutama karena kenaikan surplus neraca perdagangan nonmigas. Ekspor nonmigas meningkat seiring dengan antisipasi eksportir terhadap penerapan tarif resiprokal AS.
APBN Defisit Rp 479,7 Triliun
Kabar paling krusial datang dari Kementerian Keuangan yang baru saja merilis data realisasi APBN (APBN KiTa). Hingga akhir Oktober 2025, APBN kita mencatatkan defisit yang membengkak tajam mencapai Rp 479,7 triliun atau 2,02% dari PDB per akhir Oktober 2025.
Defisit yang sangat dalam ini terjadi karena ketimpangan besar antara pendapatan dan pengeluaran. Di satu sisi, belanja negara sudah "gaspol" menembus angka Rp 2.593 triliun atau 73,5% dari alokasi.
Dari sisi pendapatan, Purbaya mengatakan, capaiannya telah mencapai Rp 2.113,3 triliun atau 73,7% terhadap outlook. Angka ini meningkat jika dibandingkan bulan sebelumnya Rp 1.863 triliun.
Penerimaan Pajak tercatat sangat seret, baru terkumpul Rp 1.459 triliun dengan sisa waktu yang hanya tinggal dua bulan. Ini menjadi indikator nyata bahwa omzet dunia usaha sedang lesu, sehingga setoran PPN dan PPh Badan tidak sekuat tahun-tahun sebelumnya.
Pembahasan UMP 2026 & Gaji PNS Masih Dikaji
Ketidakpastian ekonomi makro di atas merembet langsung ke sektor riil dan kebijakan upah. kemarin, ada dua kabar besar yang menyangkut pendapatan jutaan pekerja di Indonesia.
Pertama, pemerintah resmi menunda pengumuman kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026 yang seharusnya dijadwalkan hari ini. Penundaan ini terjadi akibat deadlock dalam pembahasan.
Di satu sisi, serikat buruh menuntut kenaikan signifikan untuk mengimbangi inflasi harga pangan. Di sisi lain, pengusaha (Apindo) meminta kenaikan yang sangat moderat mengingat kondisi pasar yang sedang lesu-seperti yang tercermin dari data penerimaan pajak di atas. Penundaan ini menciptakan ketidakpastian hukum yang membuat pengusaha cenderung wait and see.
Kedua, kabar mengenai kenaikan gaji Aparatur Sipil Negara (PNS) tahun 2026 juga masih simpang siur. Kantor Purbaya dilaporkan masih mengkaji ulang rencana tersebut.
Jika melihat kondisi defisit APBN yang sudah tembus Rp 479,7 triliun, sangat logis jika pemerintah ragu-ragu untuk menaikkan belanja pegawai. Ruang fiskal saat ini sangat sempit.
Jika dipaksakan, defisit bisa melanggar batas aman undang-undang. Artinya, harapan adanya lonjakan daya beli dari segmen PNS di tahun depan mungkin perlu diturunkan ekspektasinya.
Pemerintah Incar Bea Keluar Batu Bara
Di tengah upaya keras mencari pemasukan untuk menambal defisit anggaran, pemerintah kembali melirik sektor komoditas. Muncul wacana penerapan Bea Keluar (BK) untuk ekspor batu bara.
Logikanya sederhana yaitu pemerintah butuh tambahan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor yang masih memiliki margin keuntungan.
Namun, rencana ini langsung mendapat respons kritis dari Kementerian ESDM. Pihak ESDM menilai penerapan bea keluar saat ini kurang tepat karena harga batu bara global sudah tidak setinggi masa boom commodity beberapa tahun lalu.
Selain itu, beban pengusaha tambang sudah sangat berat dengan adanya royalti progresif dan kewajiban pasar domestik (DMO).
Bagi pemegang saham emiten batu bara, berita ini adalah sentimen negatif yang perlu dipantau ketat. Jika aturan bea keluar ini disahkan, margin keuntungan emiten batu bara bisa tergerus signifikan di tahun 2026, yang pada akhirnya akan mempengaruhi kemampuan mereka membagikan dividen jumbo seperti biasanya.
Perkembangan Uang Beredar Oktober 2025
Bank Indonesia akan mengumumkan data uang beredar pada Oktober 2025 pada Jumat (21/11/2025). Data ini akan menjadi pegangan seberapa besar belanja masyarakat di awal kuartal IV-22025.
Data ini juga menjadi indikator penting bagi likuiditas perbankan dan permintaan kredit. Kenaikan likuiditas dapat mendukung aktivitas ekonomi, namun pasar juga mempertimbangkan implikasinya terhadap inflasi dan strategi kebijakan BI ke depan.
Sebagai catatan, uang beredar dalam arti luas (M2) pada September 2025 tumbuh lebih tinggi. Pertumbuhan M2 pada September 2025 sebesar 8,0% (yoy), lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan Agustus 2025 sebesar 7,6% (yoy) sehingga tercatat Rp9.771,3 triliun. Perkembangan tersebut didorong oleh pertumbuhan uang beredar sempit (M1) sebesar 10,7% (yoy) dan uang kuasi sebesar 6,2% (yoy).
Jepang Terjepit Stagflasi dan "Musim Dingin" Hubungan China
Sorotan global kali ini tertuju pada Jepang yang sedang terjebak dalam skenario ekonomi paling ditakuti yaitu stagflasi. Data terbaru menunjukkan proyeksi inflasi Jepang kembali memanas ke level 3,1%.
Angka ini menjadi sorotan tajam karena mematahkan tren landai yang sempat terjadi pada pertengahan tahun, di mana inflasi sempat menyentuh level terendah 2,7% pada Agustus 2025 sebelum akhirnya merangkak naik kembali secara agresif.
Ironisnya, lonjakan harga barang ini terjadi justru ketika mesin ekonomi Negeri Sakura sedang mogok. Laporan terbaru mencatat bahwa perekonomian Jepang mengalami kontraksi untuk pertama kalinya dalam enam kuartal terakhir. Pukulan tarif dagang global disinyalir menjadi biang keladi utama yang menghantam volume ekspor mereka secara signifikan.
Situasi ekonomi yang rapuh ini diperparah oleh memburuknya sentimen geopolitik. Hubungan diplomatik dengan China-yang notabene adalah mitra dagang terbesar Jepang-dilaporkan memasuki fase "musim dingin yang panjang". Ketegangan simbolis dan hambatan dagang antara Tokyo dan Beijing semakin mempersempit ruang gerak ekspor Jepang.
Kombinasi mematikan ini menempatkan Bank of Japan (BoJ) dalam posisi simalakama yang pelik. Di satu sisi, inflasi yang membandel di level 3,1% menuntut kenaikan suku bunga segera untuk menjaga stabilitas harga.
Pengumuman Data Pengangguran dan NFP AS
Data ketenagakerjaan Amerika Serikat (AS) yang telah lama dinantikan akhirnya dirilis kemarin, Kamis (20/11/2025), menandai dimulainya kembali publikasi data ekonomi utama AS setelah sempat tertunda.
Laporan Nonfarm Payrolls (NFP) untuk periode September menunjukkan bahwa ekonomi AS berhasil mencatatkan penambahan 119.000 lapangan kerja baru. Angka ini dinilai "moderat" namun berhasil melampaui ekspektasi pasar yang sebelumnya memperkirakan pertumbuhan yang lebih lambat.
Meski pertumbuhan lapangan kerja masih positif, tingkat pengangguran di Negeri Paman Sam dilaporkan mengalami kenaikan yang cukup signifikan hingga menyentuh level 4,4%.
Kenaikan tingkat pengangguran ini memberikan mixed signals bagi para pelaku pasar dan pembuat kebijakan di The Federal Reserve.
Di satu sisi, penciptaan lapangan kerja menunjukkan ketahanan ekonomi, namun di sisi lain, naiknya angka pengangguran mengindikasikan adanya pendinginan dalam pasar tenaga kerja yang dapat mempengaruhi keputusan suku bunga oleh The Fed pada FOMC mendatang.
Sementara itu, klaim pengangguran lanjutan di Amerika Serikat meningkat menjadi 1.974 ribu pada pekan yang berakhir 8 November 2025, mencapai level tertinggi sejak 2021 dan mencerminkan perlambatan aktivitas perekrutan. Sementara itu, klaim pengangguran awal turun 8.000 dari minggu sebelumnya menjadi 220.000 pada periode yang berakhir 15 November, tetap jauh di bawah rata-rata sejak akhir kuartal kedua.
Lonjakan klaim lanjutan, bersamaan dengan pertumbuhan klaim awal yang stabil, mencerminkan aktivitas perekrutan yang lebih rendah, bukan peningkatan PHK. Klaim pengangguran yang belum terselesaikan untuk pekerja federal mencapai 38.867 berdasarkan angka non-musiman, mencerminkan kenaikan 400% dari level sebelum shutdown pemerintah federal pada Oktober.
(gls/gls)