MARKET DATA
Newsletter

Usai BI Rate-Risalah Fed, Hari Ini BI & Purbaya Umumkan Kabar Genting

Gelson Kurniawan,  CNBC Indonesia
20 November 2025 06:15
Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Inflasi 2023
Foto: Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Inflasi 2023.

Fokus pasar hari ini tertuju pada bauran kebijakan Bank Indonesia yang menerapkan strategi gas dan rem secara bersamaan. Keputusan untuk menahan suku bunga acuan tetap di level 4,75 persen menjadi jangkar stabilitas nilai tukar, sementara guyuran insentif likuiditas makroprudensial senilai lebih dari 400 triliun rupiah dikucurkan untuk memacu pertumbuhan kredit perbankan.

Langkah domestik ini beriringan dengan dinamika global yang beragam, mulai dari sikap hati-hati China hingga penurunan inflasi Inggris yang memberikan sinyal baru bagi peta kekuatan mata uang dunia.

Selain BI Rate, risalah Federal Open Market Committee (FOMC) juga akan menjadi pegangan pelaku pasar hari ini. Tak kalah penting adalah rilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) dan transaksi berjalan serta konferensi pers APBN KiTA yang digelar hari ini.

Bunga Ditahan, Bank Disentil, Likuiditas Banjir

Pasar domestik hari ini menyoroti hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) edisi November 2025 yang penuh dinamika. Di tengah badai ketidakpastian global-mulai dari drama shutdown pemerintahan AS yang bikin pasar dunia was-was hingga potensi pelarian modal asing ke aset safe haven-BI memilih langkah yang sangat taktis dan pragmatis.

Gubernur BI, Perry Warjiyo, memutuskan untuk tetap mematok BI Rate di level 4,75%. Keputusan ini ditegaskan sebagai "perisai" mutlak untuk menjaga stabilitas Rupiah yang sedang diuji oleh keperkasaan Dolar AS dan sentimen "America First" yang kembali bergaung.

BI secara resmi mengguyur insentif Likuiditas Kebijakan Makroprudensial (KLM) dengan angka yang fantastis, yakni Rp 404,6 triliun ke perbankan. Kelompok Bank BUMN (Himbara) menjadi penerima terbesar guyuran ini, disusul oleh bank swasta nasional. Pesannya jelas yaitu likuiditas di pasar sangat melimpah, sehingga tidak ada alasan bagi bank untuk mengerem penyaluran kredit.

Namun, kebijakan agresif ini menyisakan satu titik ketegangan yang cukup terasa dalam konferensi pers kemarin. Bos BI secara terbuka "menyentil" perbankan yang dinilai lambat dalam menurunkan suku bunga kredit.

Perry menilai transmisi kebijakan penurunan biaya dana ke pasar kredit berjalan "lelet", padahal BI sudah mempermudah likuiditas dan bahkan mengurangi instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) agar bank tidak "malas".

Posisi SRBI kini tersisa Rp 699 triliun. Pengurangan ini disengaja agar bank berhenti memarkir dana di instrumen aman BI dan mulai mengambil risiko menyalurkan kredit ke sektor riil.

Sinergi Purbaya, "Amukan" Dolar, dan Nasib Modal Asing

Ada pemandangan tak biasa di RDG kali ini yang menyiratkan "aliansi baru" antara otoritas fiskal dan moneter. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa diundang masuk dalam rapat keramat tersebut, meski akhirnya diwakili oleh Wakil Menteri Keuangan, Thomas Djiwandono.

Kehadiran perwakilan Kemenkeu ini bukan sekadar formalitas, melainkan sinyal kuat terkait strategi penempatan uang negara.

Isu penempatan dana pemerintah sebesar Rp 200 triliun di perbankan menjadi sorotan, di mana Purbaya dan BI ingin memastikan dana tersebut efektif menekan Cost of Fund perbankan, bukan sekadar mengendap menjadi laba bank semata.

Di sisi eksternal, tantangan masih membayangi. Drama shutdown AS membuat investor global panik dan cenderung menarik dana dari emerging market seperti Indonesia.

BI memprediksi modal asing bakal "seret" masuk ke RI dalam jangka pendek karena investor global lebih memilih memeluk Emas dan Obligasi AS (US Treasury).

Meski fundamental RI dinilai kuat, tekanan terhadap Rupiah masih cukup besar sehingga intervensi pasar (spot, DNDF, dan pembelian SBN) kemungkinan akan terus dilakukan BI untuk meredam gejolak.

Kabar sedikit melegakan datang dari proyeksi suku bunga global. Bos BI meramal The Fed tidak akan menaikkan suku bunga di akhir 2025 ini, meski inflasi AS masih tricky. BI sendiri sebenarnya sudah membuka opsi penurunan BI Rate, namun timing-nya sangat bergantung pada seberapa cepat badai global mereda.

Menteri Keuangan (Menkeu), Purbaya Yudhi Sadewa saat melakukan kunjungan di SMAN 3 Jakarta, Senin (10/11/2025). (Instagram/menkeuri)Foto: Menteri Keuangan (Menkeu), Purbaya Yudhi Sadewa saat melakukan kunjungan di SMAN 3 Jakarta, Senin (10/11/2025). (Instagram/menkeuri)

Menanti "Vonis" Data Tenaga Kerja AS 

Sementara mata investor tertuju pada kebijakan BI, radar pasar global malam ini (Kamis waktu AS) justru terkunci pada rilis data tenaga kerja pamungkas Amerika Serikat, yakni Non-Farm Payrolls (NFP) dan tingkat pengangguran (Unemployment Rate).

Ketegangan pasar terlihat jelas dari probabilitas suku bunga yang terbelah tipis bak coin toss yaitu data konsensus terbaru (FedWatch Tool) menunjukkan 53,4% pelaku pasar memprediksi The Fed akan menahan suku bunga (Hold), sementara 46,6% sisanya masih menaruh asa pada pemangkasan (Cut).

Jika data tenaga kerja nanti malam keluar lebih "panas" (lebih kuat) dari prediksi, kubu hawkish akan menang telak dan Dolar AS bisa makin liar menekan Rupiah besok pagi.

Namun, di tengah ketidakpastian suku bunga, ada sedikit angin segar bagi likuiditas global. The Fed dikabarkan akan resmi menghentikan program pengurangan neraca (reducing balance sheet) alias Quantitative Tightening per 1 Desember mendatang.

Langkah teknis namun krusial ini diharapkan bisa mencegah kekeringan likuiditas dolar di pasar keuangan jelang tutup tahun, yang secara tidak langsung bisa sedikit melegakan beban mata uang emerging market termasuk Rupiah.

Data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) dan Transaksi Berjalan

Pada hari ini, Kamis (21/11), Bank Indonesia mengumumkan data NPI dan Transaksi Berjalan kuartal III-2025. Data ini sangat penting dan ditunggu pelaku pasar dan publik karena menjadi cerminan seberapa kekuatan fundamental Indonesia di tengah tekanan eksternal.

Sebagai catatan, NPI Kembali mengalami defisit pada kuartal II-2025. Defisit dipicu derasnya arus keluar modal asing di saham dan obligasi. Kondisi ini membuat defisit neraca transaksi finansial membengkak.

Data Bank Indonesia mencatat defisit NPI pada kuartal II-2025 tercatat mencapai US$6,74 miliar,sekaligus menjadi defisit yang tertinggi sejak kuartal II-2023.

Bila dibandingkan dengan periode kuartal pertama tahun ini, terjadi kenaikan defisit yang sangat besar, dimana pada kuartal I-2025 defisit NPI tercatat sebesar US$800 juta. Artinya terjadi kenaikan deficit NPI sebesar US$5,94 miliar.

Konferensi Pers APBN KiTa
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa akan menggelar konferensi pers APBN KiTa edisi November pada hari ini. Purbaya akan memaparkan data penerimaan negara dan realisasi belanja per Oktober 2025.

Menarik disimak apakah Purbaya akan membeberkan rencana baru, terutama upaya percepatan belanja menjelang akhir tahun demi mendongrak ekonomi.

Menarik disimak juga seberapa besar realisasi defisit hingga Oktober 2025 serta penyerapan utang.

Risalah FOMC, The Fed Terbelah

Bank sentral AS The Fed merilis risalah rapat Federal Open Market Committee (FOMC) pada Kamis dini hari waktu Indonesia.

Risalah FOMC menegaskan adanya keraguan The Fed dalam menurunkan suku bunga pada Desember mendatang.

Anggota The Fed masih terbelah dalam melihat potensi pemangkasan.

Sebagai catatan, The Fed memangkas suku bunganya sebesar 25 bps ke level 3,75-4,00%.

"Banyak anggota mendukung penurunan target suku bunga federal funds," demikian tertulis dalam risalah.

Namun beberapa anggota dalam kelompok ini juga menyatakan bahwa mereka akan puas jika FOMC membiarkan suku bunga tetap.

Beberapa peserta lainnya menolak pemangkasan suku bunga dan menyampaikan kekhawatiran bahwa progres menuju target inflasi 2% telah mandek, serta memperingatkan bahwa ekspektasi inflasi jangka panjang bisa meningkat jika inflasi tidak kembali ke 2% dalam waktu yang tepat.

Sebagian besar anggota mencatat bahwa pemangkasan suku bunga lanjutan dapat meningkatkan risiko inflasi menjadi mengakar, atau dapat disalahartikan sebagai kurangnya komitmen para pembuat kebijakan terhadap target inflasi 2%.

Bahasa dalam risalah mencerminkan perpecahan yang mulai muncul di tubuh The Fed terkait apakah potensi pelemahan pasar tenaga kerja harus diprioritaskan ketimbang fakta bahwa inflasi.

Risalah menunjukkan banyak dari 19 pembuat kebijakan The Fed tidak mendukung pemangkasan suku bunga bulan depan. Namun risalah tersebut tidak mengungkap seberapa ketat perbedaan suara di antara 12 anggota FOMC yang memiliki hak suara, hal yang penting mengingat pertemuan berikutnya tinggal tiga minggu lagi. Beberapa data ekonomi masih tertunda akibat penutupan pemerintah.

Menurut jadwal rilis terbaru dari Biro Statistik Tenaga Kerja (BLS), The Fed tidak akan mendapatkan data pekerjaan terbaru untuk Oktober atau November sebelum pertemuan tersebut, meski laporan tertunda untuk September dijadwalkan rilis hari Kamis.

Belum ada pengumuman mengenai jadwal rilis data inflasi yang diperbarui.

Risalah juga menggambarkan perpecahan tersebut, dengan pembuat kebijakan terbagi dalam tiga kelompok tetapi tidak ada satu pun yang menjadi mayoritas:

  1. "Beberapa" melihat pemangkasan Desember sebagai hal yang tepat.
  2. "Beberapa" lainnya melihat suku bunga lebih rendah tepat pada akhirnya, tetapi tidak harus pada Desember.
  3. "Banyak peserta" sudah menolak pemotongan Desember.

China Pilih Bertahan: PBoC "Kurang Dovish" Demi Jaga Yuan

Beralih ke kabar regional, pelaku pasar perlu mengantisipasi langkah Bank Sentral China (PBoC) besok yang diprediksi akan mempertahankan suku bunga acuan kredit (Loan Prime Rate/LPR) untuk bulan keenam berturut-turut pada hari ini.

Berdasarkan pandangan terbaru, sikap PBoC kini berubah menjadi "less dovish" alias tidak lagi agresif melonggarkan kebijakan moneter, berbeda dengan ekspektasi pasar sebelumnya yang berharap ada stimulus bunga murah.

Langkah ini diambil karena Beijing kini berada dalam posisi dilematis. Prioritas utama mereka bergeser untuk menjaga stabilitas mata uang Yuan yang sedang tertekan hebat oleh kebangkitan Dolar AS pasca kemenangan Trump.

Jika PBoC nekat memangkas bunga saat Dolar sedang kuat-kuatnya, selisih imbal hasil (yield spread) akan makin lebar dan memicu pelarian modal (capital outflow) gila-gilaan dari China.

Inflasi Melandai, BoE Siap Pangkas Bunga

Di tengah fokus pasar pada ketidakpastian The Fed, angin segar justru berhembus dari daratan Eropa. Inggris secara mengejutkan melaporkan data inflasi (CPI) bulan Oktober yang melandai signifikan ke level 3,6% YoY.

Capaian ini menjadi sinyal kuat bahwa tekanan harga di Negeri Raja Charles mulai menjinak pasca rilis anggaran (budget) terbaru, sekaligus menjadi katalis yang mengubah peta ekspektasi pasar secara drastis.

Jika sebelumnya Bank of England (BoE) terlihat ragu, kini peluang pemangkasan suku bunga (rate cut) di bulan Desember terbuka sangat lebar demi menjaga momentum pertumbuhan ekonomi mereka.

Dinamika ini menciptakan divergensi kebijakan moneter yang menarik yaitu saat AS masih berjibaku dengan ekonomi yang "terlalu panas" dan ragu menurunkan bunga, Inggris justru bersiap melonggarkan ikat pinggang.

Namun, investor domestik tetap perlu waspada terhadap efek dominonya. Jika BoE memangkas bunga lebih cepat, Poundsterling berpotensi melemah, yang secara teknikal akan mendongkrak indeks Dolar AS (DXY) semakin perkasa.

Penguatan Dolar inilah yang bisa menjadi sentimen pemberat tambahan bagi Rupiah di pasar spot besok, menambah kompleksitas tantangan bagi Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas kurs.

(gls/gls)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular