Bocoran "Panas" IPO: 13 Emiten Siap Melantai di BEI Jelang Akhir Tahun
Jakarta, CNBC Indonesia - Saham Initial Public Offering (IPO) hampir selalu berhasil mencuri perhatian investor ritel di Indonesia.
Setiap ada perusahaan baru yang akan melantai di BEI, timeline media sosial langsung penuh opini, estimasi return, dan prediksi harga. Bahkan banyak investor baru yang pertama kali masuk pasar modal justru memulai dari IPO, bukan dari saham yang sudah listing lama.
Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat terdapat 13 perusahaan yang berada dalam pipeline penawaran umum perdana saham (IPO) hingga 23 Oktober 2025.
Direktur Penilaian Perusahaan BEI, I Gede Nyoman Yetna, menyampaikan bahwa mayoritas calon emiten dalam pipeline masih menggunakan laporan keuangan Semester I 2025 sebagai dasar pengajuan.
Dengan demikian, sebagian besar perusahaan tersebut diproyeksikan akan melakukan pencatatan sahamnya pada tahun berjalan. Dari 13 perusahaan di pipeline, hanya dua yang menggunakan laporan keuangan per Juli 2025, sementara sisanya masih menggunakan laporan Semester I. Artinya, sebagian besar memiliki peluang tercatat pada 2025.
Hingga saat ini belum terdapat calon perusahaan tercatat yang menggunakan laporan keuangan per September 2025. Dengan kondisi tersebut, gelombang IPO diperkirakan masih akan berlangsung pada sisa kuartal IV tahun ini.
BEI terus melakukan evaluasi komprehensif terhadap calon emiten, tidak hanya dari sisi pemenuhan administratif, tetapi juga dari sisi fundamental dan keberlanjutan kinerja perusahaan. Hal tersebut dilakukan untuk memastikan bahwa emiten yang melantai di bursa memiliki kualitas yang baik serta mampu memenuhi ekspektasi investor.
Tren peningkatan aktivitas IPO pada periode akhir tahun dinilai selaras dengan pola historis, di mana bulan Oktober-Desember kerap menjadi momentum bagi calon emiten untuk memanfaatkan laporan keuangan Semester I sebagai basis pencatatan.
Dengan tercatatnya 13 calon IPO, 1 rights issue, dan 23 penerbitan obligasi dalam proses, aktivitas pasar modal Indonesia menunjukkan dinamika positif di tengah ketidakpastian ekonomi global. BEI optimistis momentum tersebut dapat mendorong pendalaman pasar dan memperluas pilihan instrumen investasi bagi publik.
Sebagai informasi tambahan, pada tahun-tahun sebelumnya puncak aktivitas IPO di BEI umumnya terjadi pada kuartal IV, karena banyak perusahaan memilih memanfaatkan laporan keuangan Semester I untuk mempercepat proses finalisasi sebelum penutupan tahun buku.
Apabila proses evaluasi oleh BEI maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berjalan tanpa kendala, gelombang IPO pada akhir 2025 berpotensi menjadi salah satu yang paling ramai dalam dua tahun terakhir dan memperkuat optimisme pasar menuju 2026.
Lebih lanjut, hingga 7 November 2025 tercatat 24 perusahaan telah mencatatkan saham perdana di BEI, dengan dana yang dihimpun mencapai Rp 15,21 triliun. Dimana saat ini terdapat 13 perusahaan yang masih berada dalam pipeline pencatatan saham BEI.
Klasifikasi aset perusahaan dalam pipeline tersebut mengacu pada POJK 53/POJK.04/2017, yakni terdiri dari:
• 2 perusahaan skala kecil (aset di bawah Rp 50 miliar)
• 6 perusahaan skala menengah (aset Rp 50 miliar - Rp 250 miliar)
• 5 perusahaan skala besar (aset di atas Rp 250 miliar)
Sementara itu, rincian sektor industri calon emiten yang ada dalam pipeline adalah sebagai berikut:
• 2 perusahaan sektor basic materials
• 1 perusahaan sektor consumer siklikal
• 1 perusahaan sektor consumer nonsiklikal
• 0 perusahaan sektor energi
• 4 perusahaan sektor keuangan
• 0 perusahaan sektor kesehatan
• 2 perusahaan sektor industri
• 0 perusahaan sektor infrastruktur
• 0 perusahaan sektor properti & real estate
• 2 perusahaan sektor teknologi
• 1 perusahaan sektor transportasi & logistik
Sebelumnya, BEI mengumumkan bahwa tiga perusahaan berskala besar atau lighthouse companies tengah bersiap untuk melantai di pasar modal nasional. Ketiga perusahaan ini digadang-gadang memiliki aset jumbo dan akan menjadi pelengkap dari target emiten lighthouse IPO tahun ini.
Direktur Penilaian Perusahaan BEI, I Gede Nyoman Yetna, mengungkapkan bahwa ketiga perusahaan tersebut kini berada dalam tahap akhir proses menuju pencatatan saham perdana.
Setelah lima perusahaan besar berhasil tercatat tahun ini, saat ini masih ada tiga calon emiten lighthouse yang berada di pipeline kami dan sedang dalam proses menuju IPO.
Nyoman menekankan, kehadiran perusahaan beraset besar ini menjadi bukti nyata komitmen BEI untuk menjaga kualitas emiten yang tercatat di bursa. Kualitas dapat dilihat dari ukuran. IPO berskala besar atau Lighthouse IPO menjadi indikator penting. Salah satu kriteria utamanya adalah kapitalisasi pasar yang mencapai lebih dari Rp3 triliun.
Nyoman membeberkan, tiga perusahaan calon emiten tersebut bergerak di sektor perbankan, infrastruktur, dan tambang. "Jadi ini kita harapkan nanti akan mendapat tercatat di tahun 2025 ini," pungkasnya.
Kini investor pun menebak-nebak sosok 3 calon emiten dari sektor-sektor tersebut yang akan melantai di sisa 2 bulan akhir tahun 2025.
CNBC Indonesia menerawang sosok perusahaan yang akan melakukan IPO jumbo di sisa akhir tahun.
Dari sektor perbankan, kemungkinan ada dua calon emiten yang berpeluang untuk melantai di sisa akhir tahun ini.
Superbank
IPO PT Superbank Indonesia Tbk dengan kode saham BSPR, awalnya dirumorkan akan melaksanakan book building pada 10-13 Oktober 2025. Dengan harga ditawarkan antara Rp250 hingga Rp300 per lembar saham. Dimana Superbank akan meraih dana segar sekitar US$200 hingga US$300 juta atau setara Rp3,25 triliun hingga Rp4,88 triliun.
Superbank dikabarkan akan mengincar valuasi senilai US$1,5 miliar hingga US$2 miliar.
Jumlah saham yang ditawarkan sebanyak 35.880.690 lot atau 20,05% total saham. Dalam tangkapan layar itu beredar bahwa penjamin emisi atau underwriternya adalah Henan Putihrai Sekuritas, yang dimana merupakan salah satu sekuritas yang selalu sukses dalam membawakan berbagai saham IPO walau kanal resmi Henan Putihrai Sekuritas telah menyangkal informasi tersebut.
Akan tetapi berdasarkan informasi yang diterima oleh CNBC Indonesia Research, bahwa penjamin emisi IPO Superbank adalah CSLA Sekuritas dan Mandiri Sekuritas.
Meskipun kabar IPO Superbank telah dibantah oleh Direktur Penilaian Perusahaan Bursa Efek Indonesia (BEI), I Gede Nyoman Yetna, investor tetap antusias terhadap IPO Superbank dan mendorong kenaikan harga saham EMTK.
Superbank sebelumnya dikenal sebagai PT Bank Fama International (Bank Fama), yang berdiri di Bandung tahun 1993. Di awal 2023, Bank Fama secara resmi berubah nama menjadi Superbank dan kantor pusatnya dipindah ke Jakarta, sebagai bagian dari transformasi menjadi bank digital.
Superbank masuk ke dalam grup perusahaan konsorsium yang terdiri dari Emtek Group (PT Elang Media Visitama), Grab, Singtel, dan KakaoBank, serta A5-DB Holdings.
Dimana berdasarkan kepemilikan saham, Emtek Group melalui PT Elang Media Visitama menjadi pemegang saham terbesar sekitar 34,58%, Grab melalui PT Kudo Teknologi Indonesia sekitar 21,29%, Singtel Alpha Investments Pte Ltd sekitar 18,93%, KakaoBank asal Korea sekitar 10% dan A5-DB Holdings Pte Ltd sekitar 7,10%.
Superbank semakin agresif memperkuat posisinya di industri perbankan digital dengan meluncurkan berbagai inovasi produk.
Superbank meluncurkan Pinjaman Atur Sendiri (PAS), produk pinjaman digital dengan tenor fleksibel dan bunga transparan. Menyasar segmen ritel dan mitra ekosistem, termasuk pengguna Grab. Memberikan keleluasaan nasabah untuk mengatur sendiri jumlah pinjaman dan jangka waktu sesuai kebutuhan.
Superbank juga menjalin kolaborasi strategis dengan OVO bernama OVO Nabung. Melalui kerja sama dengan dompet digital OVO, Superbank menghadirkan fitur OVO Nabung, produk tabungan yang memberi kesempatan pengguna OVO untuk menabung langsung dari aplikasi.
Nasabah bisa menikmati bunga tabungan kompetitif dan kemudahan integrasi antara dompet digital dan layanan perbankan. Kolaborasi ini memperluas jangkauan Superbank ke jutaan pengguna OVO di Indonesia, memperkuat inklusi keuangan dan penetrasi produk digital.
Bank DKI
PT Bank DKI telah mendapatkan lampu hijau untuk melakukan penawaran umum perdana saham atau initial public offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Hal itu disetujui dalam rapat umum pemegang saham tahunan (RUPST) bank pembangunan daerah (BPD) itu, yang digelar pada Rabu (30/4/2025) lalu.
RUPST itu juga memberikan kewenangan kepada Direksi dan Dewan Komisaris Bank DKI untuk segala penyesuaian dan persiapan yang diperlukan untuk melaksanakan rencana IPO. Itu termasuk melakukan kajian secara komprehensif, dengan tetap memperhatikan kondisi perekonomian domestik maupun global, kondisi pasar saham di BEI.
Dalam RUPST tersebut, disepakati pula penambahan Modal Ditempatkan/Disetor Bank DKI sebesar jumlah yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan Tahun Anggaran 2024 (APBD), yang berasal dari kredit Hapus Buku eks BPPN dengan total Rp2,19 miliar sebagai setoran modal Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada bank itu.
Dengan penambahan Modal Ditempatkan/Disetor tersebut, maka Modal Ditempatkan/ Disetor Perseroan akan berubah dari semula sebesar Rp6.58 triliun menjadi Rp6.58 triliun, dan sisanya sebesar Rp 760,17 ribu dibukukan dalam Cadangan Umum Perseroan.
Sementara itu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebelumnya menyatakan belum menerima pengajuan IPO Bank DKI.
Namun, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae mengatakan pihaknya senantiasa mendorong bank untuk terus memberikan nilai tambah strategis bagi seluruh stakeholders dan mendukung pendalaman pasar keuangan, salah satunya dengan melakukan penawaran umum perdana saham guna memperkuat permodalan dalam rangka pertumbuhan bisnis, meningkatkan transparansi dan tata kelola dengan status perusahaan terbuka.
"OJK akan mendorong semua BPD untuk bisa IPO ataupun menerbitkan obligasi," ujar Dian dalam keterangannya, dikutip Jumat (2/5/2025).
Akan tetapi, ia melanjutkan dalam rangka suksesnya IPO tersebut dan perlindungan terhadap investor, seluruh BPD akan diarahkan untuk memenuhi prasyarat mendasar. Antara lain, disiplin fiskal pemerintah daerah, profesionalisme, tata kelola, rentabilitas dari bank, dan rating yang baik dari lembaga pemeringkat yang kredibel.
Sementara itu, untuk calon IPO di sektor infrastruktur tambang, CNBC Indonesia Research memperkirakan PT Titan Infra Sejahtera (TIS) yang akan melakukan IPO jumbo.
PT Titan Infra Sejahtera (TIS)
PT Titan Infra Sejahtera (TIS) merupakan perusahaan penyedia jasa infrastruktur yang berbasis di Sumatra Selatan. Sebelumnya perseroan telah mengumumkan rencananya untuk melaksanakan penawaran umum perdana saham (IPO) pada tahun 2025 dan sempat dikabarkan akan melepas 10% kepemilikan sahamnya.
Langkah ini diambil dengan tujuan untuk menangkap potensi bisnis infrastruktur batu bara yang masih besar dan juga ekspansi melalui penyaluran modal ke anak usaha.
TIS mengoperasikan dua anak usaha utama yakni PT Servo Lintas Raya (SLR) yang mengelola jalan hauling sepanjang 118 kilometer, dan PT Swarnadwipa Dermaga Jaya (SDJ) yang mengoperasikan pelabuhan di Sungai Musi untuk pengapalan komoditas, terutama batu bara.
Pendapatan TIS sangat bergantung pada volume batu bara yang melewati jalan hauling SLR dan pelabuhan SDJ
Tahun 2024, TIS mencatat volume angkutan batu bara sebesar 21 juta ton, naik 15% dari 2023 yang sebesar 18 juta ton. Pada 2025, perusahaan memproyeksikan volume ini akan meningkat hingga 27 juta ton.
Faktor pendukung lainnya adalah kerja sama dengan PT Bukit Asam Tbk (PTBA), yang mulai menggunakan jalur hauling dan pelabuhan TIS untuk mengirimkan batu baranya sejak 2024.
Di sisi lain, Sumatra adalah penghasil batu bara terbesar ke dua di Indonesia dan Provinsi Sumatra Selatan, di mana operasi TIS berada, adalah penyumbang terbesar produksi batu bara di Sumatra.
Cadangan batu bara di Sumatera Selatan tercatat sebanyak 9,3 miliar ton atau setara dengan 25% dari cadangan batu bara nasional yang mencapai 37,6 miliar ton. Konsentrasi tambang batu bara di Sumatera Selatan berada di tiga kabupaten, yakni Muara Enim, Lahat, dan Ogan Komering Ulu. Di Muara Enim saja, setidaknya ada 29 izin usaha pertambangan (IUP).
Sementara itu, dari sosok IPO jumbo di sektor tambang yakni diperkirakan dari pertambangan nikel PT Anugrah Neo Energy Materials (Neo Energy)
PT Anugrah Neo Energy Materials (Neo Energy)
PT Anugrah Neo Energy Materials atau yang dikenal dengan Neo Energy digadang-gadang akan menjadi salah satu perusahaan yang akan melakukan IPO jumbo di pasar saham Tanah Air. Neo Energy dikabarkan tengah menyiapkan penawaran umum perdana saham (IPO) jumbo dengan potensi dana segar mencapai lebih dari Rp 5 triliun.
Kini beredar kabar hangat bahwa Neo Energy tengah mempersiapkan diri menjadi produsen green HPAL nickel pertama di Indonesia. Narasi ini muncul seiring menguatnya arah hilirisasi nikel nasional menuju ekosistem yang lebih bersih dan compliant terhadap standar sustainability global, terutama yang dibutuhkan oleh rantai pasok EV dan baterai litium.
Mengacu pada informasi yang tercantum di situs resmi perusahaan, Neo Energy tercatat memegang kendali atas dua konsesi tambang besar: TAS dan MDK. Kedua area tersebut masing-masing memiliki luasan di atas 10.000 hektare, dengan estimasi sumber daya yang mencapai ratusan juta WMT. Basis operasi Neo Energy berada di Sulawesi, dan perusahaan juga disebut mengoperasikan beberapa jetty yang diposisikan secara strategis guna memotong biaya logistik dan mengamankan jalur ekspor bahan baku.
Selain aktivitas hulu, Neo Energy kini sedang dalam fase pembangunan fasilitas High Pressure Acid Leach (HPAL) berbasis hidrometalurgi generasi baru.
Teknologi HPAL yang digunakan diklaim lebih efisien, memiliki konsumsi energi lebih rendah, serta dinilai lebih rendah emisi dibandingkan teknologi HPAL batch generasi sebelumnya. Kapasitas pabrik yang ditargetkan berada pada skala ratusan ribu ton Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) per tahun, produk antara krusial yang menjadi feedstock utama pabrik prekursor dan katoda baterai EV.
Di sisi ekonomika proyek, sumber industri menyebutkan bahwa cash cost HPAL Neo Energy diproyeksikan berada di band US$11.000 hingga US$16.000 per ton, yang berarti berada di bawah rata-rata global. Jika proyeksi ini tervalidasi, Neo Energy dapat menjadi salah satu produsen dengan struktur biaya paling kompetitif secara internasional, sebuah hal yang menarik untuk investor end-market Eropa, AS, China, hingga Korea Selatan yang kini memburu pasokan nikel "green-compliant".
Secara lokasi industri, operasi hilir Neo Energy akan dipusatkan di dua kawasan industri hijau yang sudah masuk daftar Proyek Strategis Nasional (PSN), yaitu Neo Energy Morowali Industrial Estate (NEMIE) dan Neo Energy Parimo Industrial Estate (NEPIE).
Fasilitas tersebut direncanakan akan ditopang infrastruktur pendukung seperti pelabuhan laut dalam, pembangkit listrik tenaga air, serta solar farm yang menjadi sinyal kuat bahwa perusahaan ingin mendorong portofolio ESG bukan sekadar jargon branding.
Di ranah korporasi, Neo Energy disebut telah menyelesaikan preliminary registration untuk rencana penawaran umum perdana (IPO). Saat ini perusahaan dilaporkan bersiap memasuki fase investor education. Apabila pipeline eksekusinya tidak meleset, IPO Neo Energy berpotensi menjadi salah satu transaksi pasar modal terbesar di Indonesia pada akhir 2025.
Hingga berita ini dirilis, manajemen Neo Energy belum memberikan pernyataan resmi mengenai rumor IPO ataupun status finalisasi proyek HPAL mereka.
Sebagai informasi, di sepanjang tahun ini, telah tercatat lima lighthouse IPO, yaitu PT Raharja Energi Cepu Tbk (RATU), PT Bangun Kosambi Sukses Tbk (CBDK), PT Yupi Indo Jelly Gum Tbk (YUPI), PT Chandra Daya Investasi Tbk (CDIA), serta PT Merdeka Gold Resources Tbk (EMAS).
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(saw/saw)