Awas! Data Ekonomi RI & Perubahan MSCI Akan Beradu Lawan Keganasan AS
Pelaku pasar hari ini dihadapkan pada beragam sentimen yang datang baik dari dalam negeri maupun luar.
Dari dalam negeri, pasar masih akan merespon hasil rilis data pertumbuhan ekonomi kuartal III-2025 serta perubahan MSCI. Sementara dari eksternal, perkembangan pasar tenaga kerja Amerika Serikat serta ketidakpastian akibat berlanjutnya penutupan pemerintahan menjadi faktor eksternal yang memengaruhi arah sentimen global.
Data-data ekonomi AS menunjukkan ekonomi masih sangat kuat sehingga bisa menurunkan proyeksi pemangkasan suku bunga The Fed ke depan.
Berikut rangkuman sentimen utama yang akan menjadi perhatian pelaku pasar hari ini:
Ekonomi Tumbuh 5,04% di Kuartal III-2025
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III-2025 mencapai 5,04% secara tahunan (year-on-year/yoy) dan 1,43% secara kuartalan (quarter-to-quarter/qtq).
Angka ini sedikit melampaui konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 13 lembaga, yakni 5,01% (yoy), sekaligus menandakan daya tahan ekonomi domestik yang masih solid di tengah tekanan eksternal.
Namun, laju pertumbuhan ini lebih rendah dibandingkan kuartal II-2025 yang tumbuh 5,12% (yoy).
Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS, Moh. Edy Mahmud, menjelaskan bahwa pertumbuhan kuartal III-2025 masih didorong oleh konsumsi rumah tangga yang terjaga kuat.
"Sisi domestik kinerja ekonomi ditopang oleh konsumsi masyarakat yang masih terjaga. Indikasi pertama konsumsi per kapita jasa makanan & minuman, serta akomodasi masing-masing tumbuh 5,76% dan 7,49% yoy," ujar Edy.
Konsumsi rumah tangga tercatat tumbuh 4,89%, menjadi penopang utama perekonomian nasional. Selain itu, aktivitas transaksi digital dan belanja daring (online) juga menunjukkan kinerja kuat.
BPS mencatat pertumbuhan transaksi online dari peritel dan marketplace mencapai 6,19% (qtq) pada kuartal III-2025, terutama pada kategori personal care, peralatan rumah tangga, pakaian, serta transportasi dan rekreasi.
Plh Direktur Neraca Pengeluaran BPS, Anisa Nuraini, menambahkan nilai total transaksi digital mencapai Rp200 triliun pada kuartal III-2025.
Dari nilai tersebut, kontribusi produk perawatan pribadi (personal care) mencapai 17-18%, diikuti perlengkapan rumah tangga 14%, transportasi 13%, rekreasi 13%, dan pakaian serta sepatu 11-12%.
Pertumbuhan ini menunjukkan bahwa konsumsi masyarakat masih menjadi motor utama ekonomi Indonesia, sementara digitalisasi dan gaya hidup daring turut memperkuat struktur permintaan domestik.
Investasi (PMTB) Tumbuh 5,04%
Salah satu pendorong utama pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2025 datang dari komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) atau investasi, yang mencatat pertumbuhan sebesar 5,04% (yoy).Meskipun melambat dibandingkan kuartal II-2025 yang tumbuh 6,99% (yoy).
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa kenaikan investasi terutama disumbang oleh peningkatan pada sektor bangunan, mesin, dan peralatan transportasi, yang menunjukkan berlanjutnya realisasi proyek infrastruktur serta kegiatan ekspansi korporasi di berbagai sektor.
Kontribusi PMTB terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) tercatat sebesar 29,09%, menjadikannya salah satu komponen terbesar setelah konsumsi rumah tangga yang memiliki kontribusi hingga 53,14%.
Kinerja investasi yang solid ini menunjukkan bahwa kepercayaan pelaku usaha terhadap prospek ekonomi Indonesia masih terjaga. BPS juga menyoroti adanya peningkatan aktivitas impor barang modal dan bahan baku, yang menjadi indikasi kuat bahwa aktivitas produksi di dalam negeri mulai meningkat.
Sementara itu, stabilitas harga bahan konstruksi dan dukungan pembiayaan investasi dari perbankan turut menjaga momentum pertumbuhan PMTB sepanjang kuartal berjalan.
Data ADP Tunjukkan Tenaga Kerja AS Masih Tangguh
Pertumbuhan lapangan kerja sektor swasta di Amerika Serikat menunjukkan peningkatan pada Oktober 2025, memberi sinyal bahwa pasar tenaga kerja belum sepenuhnya mengkhawatirkan.
Laporan dari Automatic Data Processing (ADP) yang dirilis Rabu (5/11/2025) mencatat penambahan 42.000 pekerjaan baru, berbalik arah dari penurunan 29.000 pekerjaan pada September.
Capaian ini juga melampaui ekspektasi konsensus Dow Jones yang memperkirakan pertumbuhan hanya sekitar 22.000 pekerjaan.
ADP menjelaskan, peningkatan terbesar berasal dari sektor perdagangan, transportasi, dan utilitas yang menambah 47.000 pekerjaan, disusul pendidikan dan layanan kesehatan sebesar 26.000 pekerjaan, serta aktivitas keuangan sebanyak 11.000 pekerjaan.
Sebaliknya, beberapa sektor lain justru mengalami penurunan, termasuk informasi (-17.000), jasa profesional dan bisnis (-15.000), serta manufaktur (-3.000) - sektor yang masih tertekan meski adanya kebijakan tarif impor yang digencarkan oleh pemerintahan Presiden Donald Trump.
Menariknya, seluruh penciptaan lapangan kerja bulan lalu berasal dari perusahaan besar yang memiliki lebih dari 250 karyawan, dengan tambahan sekitar 76.000 pekerjaan, sementara usaha kecil justru kehilangan 34.000 posisi.
Kondisi ini dinilai signifikan, mengingat usaha kecil berkontribusi terhadap tiga dari empat lapangan kerja di AS.
"Perusahaan besar membuat berita utama, tetapi usaha kecil yang sebenarnya menjadi motor utama perekrutan tenaga kerja," ujar Nela Richardson, Kepala Ekonom ADP, dikutip CNBC International.
Biasanya, laporan ADP menjadi pembuka bagi data resmi nonfarm payrolls (NFP) dari Bureau of Labor Statistics (BLS). Namun, akibat shutdown pemerintahan AS yang masih berlangsung, BLS menunda publikasi seluruh data ekonomi, termasuk laporan ketenagakerjaan.
Sebelum penundaan itu, pasar memperkirakan data resmi akan menunjukkan penurunan sekitar 60.000 pekerjaan dengan tingkat pengangguran naik ke 4,5%.
Pejabat Federal Reserve (The Fed) kini semakin mencermati kondisi pasar tenaga kerja yang mulai melemah, terutama setelah pemangkasan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin pekan lalu ke kisaran 3,75%-4,00%.
Pasar pun menilai bahwa stabilitas tenaga kerja akan menjadi kunci dalam menentukan arah kebijakan moneter selanjutnya di AS menjelang akhir tahun
Indeks ISM Services PMI AS Naik
Indeks ISM Services naik menjadi 52,4 pada Oktober 2025 dari posisi 50 pada September, melampaui perkiraan 50,8 dan menunjukkan ekspansi sektor jasa terkuat sejak Februari. Aktivitas bisnis (54,3 vs 49,9) dan pesanan baru (56,2 vs 50,4) sama-sama rebound, sementara kontraksi berlanjut pada sektor ketenagakerjaan (48,2 vs 47,2) menunjukkan kurangnya keyakinan terhadap ketahanan ekonomi ke depan.
Indeks juga menunjukkan tidak ada indikasi terjadinya PHK besar-besaran atau pengurangan tenaga kerja, namun penutupan pemerintahan federal disebut beberapa kali memengaruhi aktivitas bisnis dan menimbulkan kekhawatiran akan potensi PHK di masa mendatang.
Selain itu, indeks pesanan yang masih menumpuk (backlog of orders) melanjutkan tren penurunan selama 3,5 tahun (40,8 vs 47,3), karena perusahaan mampu memenuhi pesanan baru sehingga dapat mengurangi penumpukan. Tekanan harga meningkat (70 vs 69,4) karena perusahaan terus menyebut dampak tarif terhadap harga yang harus dibayar.
Perubahan MSCI
Morgan Stanley Capital International (MSCI) mengumumkan hasil review terbaru atas sejumlah indeks acuan yang menjadi rujukan penting dana institusi dunia.
Evaluasi tersebut mencakup MSCI Global Standard Index, MSCI Global Small Cap Index, serta MSCI Micro Cap Index. Ketiga indeks ini menjadi barometer arus modal asing, karena setiap perubahan komposisi dapat memicu aksi jual-beli besar oleh manajer investasi global.
Perubahan ini efektif berlaku setelah penutupan perdagangan pada 24 November 2025.
Berikut perubahan:
Emiten masuk (inclusion):
• Barito Renewables Energy (BREN)
• Bumi Resources Minerals (BRMS)
Emiten keluar (exclusion):
• Indofood CBP Sukses Makmur (ICBP)
• Kalbe Farma (KLBF)
Rebalancing MSCI biasa memicu volatilitas di pasar, lantaran saham yang masuk (inclusion) berpotensi menikmati aliran dana asing, sementara saham yang didepak (exclusion) sering menghadapi tekanan jual. Investor ritel dan institusi kini mulai menyiapkan strategi guna mengantisipasi potensi rotasi portofolio dalam beberapa pekan mendatang.
Dengan meningkatnya minat investor asing pada emerging markets, termasuk Indonesia, hasil review ini diprediksi menjadi sentimen penting bagi arah IHSG menjelang akhir tahun.
Huru-hara Whoosh, Bagaimana Dampaknya ke Saham WIKA dan JSMR?
Ramainya pembahasan mengenai beban utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (Whoosh) kembali menyeret perhatian pasar terhadap dua emiten pelat merah yang terlibat langsung dalam proyek ini, yakni PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (WIKA) dan PT Jasa Marga (Persero) Tbk (JSMR).
Keduanya merupakan bagian dari konsorsium PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) yang memegang 60% saham PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), operator resmi proyek Whoosh.
Saham WIKA masih belum diperdagangkan atau masih dalam suspend sejak Februari 2025, setelah tekanan kondisi finansial yang buruk akibat penurunan pendapatan dan tingginya beban utang membuat perseroan mencatat rugi bersih Rp3,21 triliun per September 2025.
Berbeda dengan WIKA, saham JSMR mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan setelah sempat berada dalam tren penurunan sepanjang Oktober.
Berdasarkan data perdagangan Bursa Efek Indonesia, harga saham JSMR sempat tertekan dari level 4.070 pada 22 Oktober 2025 menjadi 3.500 pada 4 November 2025, atau turun sekitar 14% dalam dua pekan.
Namun sejak awal November, sahamnya berbalik menguat ke 3.540 pada 5 November 2025, menandai rebound tipis sekitar 1,1% secara harian.
Pemulihan ini didorong oleh optimisme bahwa eksposur finansial JSMR terhadap proyek Whoosh relatif kecil, mengingat bisnis utamanya di jalan tol masih menghasilkan arus kas positif.
Dari laporan keuangan kuartal III-2025, JSMR membukukan pendapatan Rp21,08 triliun, turun 6,1% (yoy), dengan laba bersih Rp2,72 triliun, melemah 17,3% dari tahun sebelumnya.
Meski demikian, arus kas operasi tetap positif dan tumbuh 5,3%, didukung oleh kenaikan pendapatan tol.
(evw/evw)