Newsletter

Hari Ini Bersiaplah Hadapi Badai dari Amerika, Guncangan dari China

Emanuella Bungasmara Ega Tirta, CNBC Indonesia
13 October 2025 05:55
Presiden AS Donald Trump berbicara selama konferensi pers bersama dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu (tidak terlihat) di Ruang Makan Negara di Gedung Putih di Washington, D.C., AS, 29 September 2025.
Foto: Presiden AS Donald Trump berbicara selama konferensi pers bersama dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu (tidak terlihat) di Ruang Makan Negara di Gedung Putih di Washington, D.C., AS, 29 September 2025. (REUTERS/Jonathan Ernst)

Pasar keuangan diperkirakan akan sangat volatile pada hari ini setelah "badai" dari bursa AS pada akhir pekan lalu. Memanasnya hubungan China dan AS menjadi salah satu faktor ambruknya bursa saham.

Pekan ini, sejumlah data penting dari China juga akan dirilis. Pasar juga menunggu pidato Ketua The Fed Jerome Powell

Trump Bikin Pasar Was-Was

Satu kalimat dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump sudah cukup untuk mengguncang pasar keuangan dunia. Melalui unggahan di Truth Social, Trump menyatakan niat untuk menaikkan tarif impor terhadap seluruh produk asal China hingga 100%.

Pasar global sontak panik, dan hanya dalam waktu 24 jam, kapitalisasi pasar Wall Street menyusut lebih dari Rp33.000 triliun, menjadikannya salah satu koreksi terbesar tahun ini.

Sentimen yang semula membaik setelah perundingan dagang AS-China kini kembali muram, menambah ketidakpastian terhadap arah ekonomi global yang belum benar-benar stabil setelah era suku bunga tinggi.

Reaksi berantai langsung terjadi di pasar saham global. Indeks Nasdaq jatuh 3,56%, S&P 500 terkoreksi 2,71%, dan Dow Jones merosot hampir 2%. Saham-saham teknologi menjadi tumbal paling dalam Nvidia rontok 5%, AMD 8%, Apple 3%, dan Tesla 5%. Sementara itu, dari Beijing, pemerintah China tak tinggal diam.

Dalam perkembangan terbaru, Presiden AS Donald Trump mengumumkan kenaikan tarif 100% untuk barang-barang impor dari China yang masuk ke negaranya mulai 1 November 2025. Langkah ini diambil sebagai respons atas China yang memperketat ekspor logam tanah jarang (LTJ).
China memproduksi lebih dari 90% logam tanah jarang dan magnet tanah jarang olahan dunia. Banyak di antaranya merupakan material vital dalam berbagai produk, mulai dari kendaraan listrik hingga mesin pesawat terbang dan radar militer.

Negeri Tirai Bambu memperketat izin ekspor logam tanah jarang (rare earths), komponen vital bagi industri kendaraan listrik dan pertahanan, yang secara simbolik menjadi langkah balasan terhadap Washington.

Ketegangan ini memunculkan kekhawatiran bahwa dunia tengah bersiap menghadapi perang dagang jilid II, tepat di saat keduanya dijadwalkan bertemu pada KTT APEC akhir Oktober.

Bagi pasar Asia, terutama Indonesia, awal pekan ini menjadi ujian berat. Setelah menorehkan rekor penutupan tertinggi sepanjang masa di 8.257,86 pada Jumat pekan lalu, IHSG kini menghadapi risiko koreksi yang cukup dalam.

Investor domestik dan asing sama-sama terlihat berhati-hati, sementara arus modal asing cenderung meninggalkan pasar saham berisiko menuju aset lindung nilai seperti dolar AS dan emas. Rupiah pun tak luput dari tekanan, bertahan di kisaran Rp16.545-16.600 per dolar AS, dan menandai pelemahan beruntun selama lebih dari dua pekan.

Kondisi domestik pun tidak kalah menantang. Minimnya sentimen ekonomi dalam negeri membuat arah pasar sangat bergantung pada faktor eksternal.

Pelemahan rupiah yang terjadi beriringan dengan keluarnya dana asing menambah tekanan pada IHSG, apalagi di tengah kebijakan Bank Indonesia yang masih longgar setelah serangkaian pemangkasan suku bunga. Pelaku pasar juga masih menakar dampak kombinasi kebijakan fiskal ekspansif dan moneter dovish terhadap stabilitas jangka menengah, mengingat tekanan terhadap cadangan devisa mulai meningkat.

Pidato Jerome Powell (14/10)

Pada saat yang sama, semua mata kini tertuju pada Amerika Serikat. Chairman The Fed, Jerome Powell, dijadwalkan menyampaikan pidato pada Selasa (14/10/2025) waktu setempat di hadapan Economic Club of Washington.

Powell akan berbicara dengan topik Economic Outlook and Monetary Policy di National Association for Business Economics (NABE) Annual Meeting, Philadelphia.

Pernyataannya akan menjadi ujian penting bagi ekspektasi pasar setelah The Fed memangkas suku bunga acuan 25 basis poin bulan lalu ke kisaran 4,00-4,25%. Investor global akan menunggu apakah Powell akan menegaskan sikap hati-hati, atau justru membuka ruang pelonggaran lanjutan.

Nada yang lebih agresif ke arah pemangkasan bisa menenangkan pasar negara berkembang, namun jika Powell menegaskan bahwa inflasi masih terlalu tinggi untuk dilonggarkan, dolar berpeluang menguat lebih jauh-dan tekanan terhadap rupiah bisa berlanjut.

Data Inflasi & Neraca Perdagangan China

Dari Asia, sorotan tertuju pada rilis data inflasi dan neraca perdagangan China yang akan keluar pertengahan pekan ini. China akan mengumumkan data neraca perdagangan pada hari ini, Senin (13/10/2025) sementara data inflasi pada Rabu (15/10/2025).

Ekspor China tumbuh 4,4% pada Agustus 2025, melandai dibandingkan pada Juli yang tercatat 7,2%. Sementara itu, impor naik 1,3% pada Agustus atau melemah dibandingkan 4,1% pada Juli.

Data ekspor impor China sangat penting bagi Indonesia karena mereka merupakan pasar utama produk Indonesia dan mitra dagang terbesar.

Sementara itu, Indeks Harga Konsumen (IHK) China pada Agustus 2025 turun atau mengalami deflasi 0,4% secara tahunan (year-on-year), lebih dalam dari perkiraan pasar.

Deflasi ini menandakan lemahnya permintaan domestik, meskipun inflasi inti-yang mengecualikan harga pangan dan energi-masih tumbuh positif di 0,9%, level tertinggi dalam 18 bulan terakhir.

Sementara itu, indeks harga produsen (PPI) masih deflasi 2,9% yoy, menunjukkan tekanan berlanjut di sisi produksi. Dari sektor eksternal, China mencatat surplus perdagangan sekitar US$99,2 miliar pada Agustus, naik tipis dibanding bulan sebelumnya, di tengah ekspor yang melambat akibat permintaan global yang masih lemah.

Kedua indikator tersebut memberi sinyal bahwa ekonomi China masih rapuh. Inflasi yang rendah menunjukkan konsumsi belum pulih, sementara deflasi produsen menandakan harga output pabrik masih tertekan.

Jika tren ini berlanjut, Beijing kemungkinan akan mempercepat langkah stimulus fiskal dan moneter untuk menopang aktivitas industri dan menjaga kepercayaan pasar.

Bagi Indonesia, hasil rilis ini  dapat memengaruhi arah harga komoditas ekspor seperti batu bara, nikel, dan CPO-yang selama ini menjadi penopang utama neraca perdagangan nasional.

Dengan rangkaian faktor global yang kian rumit, pasar finansial Indonesia diprediksi memasuki pekan yang penuh kewaspadaan. Tekanan dari sisi eksternal masih dominan, sementara ruang manuver kebijakan domestik relatif terbatas.

Investor akan menahan posisi menunggu arah kebijakan The Fed, langkah respons China, serta perkembangan geopolitik AS-China. Tentunya dalam situasi seperti ini, kestabilan rupiah dan daya tahan IHSG akan menjadi indikator utama seberapa kuat pasar Indonesia menghadapi badai global yang kembali datang.

Utang Luar Negeri

Bank Indonesia akan mengumumkan data utang luar negeri Indonesia periode Agustus pada Rabu (15/10/2025).

Sebagai catatan, utang luar negeri (ULN) pada Juli 2025 tercatat US$434,1 miliar.
Jika melihat secara tahunan, maka ULN Indonesia tumbuh 4,1% (yoy) melambat dibandingkan pertumbuhan 6,3% (yoy) pada Juni 2025.
 Posisi ULN pemerintah pada Juli 2025 tercatat sebesar 211,7 miliar dolar AS, atau tumbuh sebesar 9,0% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan 10,0% (yoy) pada Juni 2025. Perkembangan tersebut dipengaruhi oleh perlambatan pertumbuhan posisi pinjaman luar negeri dan surat utang pemerintah.

Sementara itu, posisi ULN swasta pada Juli 2025 tercatat stabil dibandingkan bulan sebelumnya pada kisaran 195,6 miliar dolar AS, atau mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 0,3% (yoy), relatif sama dengan kontraksi pada bulan sebelumnya.

Rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang turun menjadi 30,0% pada Juli 2025 dari 30,5% pada Juni 2025, serta dominasi ULN jangka panjang dengan pangsa 85,5% dari total ULN.

Dolar Menguat Tajam, Awas Asing Kabur

Indeks dolar AS masih mengaut tajam dan kini berada di level 99 atau tertinggi sejak awal Juni 2025.
Menguatnya indeks bisa menjadi ancaman rupiah. Pasalnya, pergerakan ini mencerminkan investor tengah memburu dolar kembali dan menjual aset non-dolar mereka, termasuk rupiah.

Investor dikhawatirkan meninggalkan Indonesia dan mencatat outflow.

Data Bursa Efek Indonesia (BEI) memang menunjukkan jika investor masih mencatat net buy pada Kamis da Jumat tetapi bukan tidak mungkin apa yang terjadi di AS pada akhir pekan lalu memicu outflow di Indonesia.

(emb/emb)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular