Sejarah Bicara: Rekor Emas Tanda Ekonomi Dunia di Ambang Petaka

Susi Setiawati, CNBC Indonesia
08 October 2025 16:00
emas gold
Foto: emas gold

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga emas terus mencetak rekor-rekor baru tertinggi sepanjang masa. Kenaikan harga emas sering kali mencerminkan kekhawatiran menuju krisis.

Emas disebut sebagai aset pelindung nilai global alias safe haven asset. Ketika harga emas naik tajam dalam waktu singkat, biasanya dunia sedang menghadapi ketidakpastian besar, hal ini tercermin dalam krisis 10 tahunan.

Jika berkaca pada kenaikan harga emas pada 2024, di sepanjang tahun tersebut harga emas naik 27% dan mendarat di level US$2.623,81 per troy ons. Sementara di sepanjang 2025, harga emas dunia telah naik 52% hingga puncak perdagangan Selasa (7/10/2025) di level US$3.985,48 per troy ons.

Bila dihitung 

Melihat track record harga emas sebelum krisis terjadi 10 tahunan, harga emas selalu mencatatkan kenaikan yang signifikan.

CNBC Indonesia Research telah mencatat track record harga emas sebelum krisis 10 tahunan yang terjadi sejak 1978 hingga 2018.

1978

Pada tahun 1978-1979, dunia menghadapi Second Oil Shock akibat Revolusi Iran, yang menyebabkan harga minyak melonjak tajam.

Awal dari Revolusi Iran yang menggulingkan Shah Mohammad Reza Pahlavi, puncaknya 1979. Hal ini mengganggu pasokan minyak dunia, menyebabkan ketidakstabilan ekonomi global, inflasi tinggi, dan resesi di beberapa negara.

Inflasi global meningkat, dan banyak negara mengalami perlambatan ekonomi. Harga minyak mulai naik lagi pada akhir 1978, memicu krisis energi kedua pada 1979-1980. Banyak negara berkembang termasuk Indonesia, mulai menyesuaikan kebijakan ekonominya untuk menghadapi gejolak harga minyak dan nilai tukar.

Sebelumnya pada 1970-an, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi pesat akibat boom minyak, harga minyak dunia naik setelah krisis minyak 1973. Namun, ketergantungan besar pada ekspor minyak menyebabkan ketidakseimbangan ekonomi dan inflasi tinggi.

Dolar Amerika Serikat (AS) menguat di pasar dunia, sementara rupiah dipertahankan pada kurs tetap Rp415/US$1 sejak 1971.

Sebagai catatan,  pada 1971, Amerika Serikat (AS) menghentikan pertukaran dolar dengan emas. Kebijakan ini memicu laju inflasi Indonesia hingga naik menjadi 25,8%.

Pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan devaluasi atau menurunkan nilai mata uang rupiah terhadap dolar AS.

Balik kembali ke 1978 di mana harga minyak melonjak. Krisis dunia yang dipicu lonjakan minyak membuat ekspor Indonesia jatuh sehingga neraca pembayaran memburuk.

Akhirnya pemerintah kembali melakukan devaluasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada 15 November 1978. Pemerintah Soeharto melakukan devaluasi rupiah dari Rp415 menjadi Rp625/US$1, turun sekitar 33%. Tujuannya, mendorong ekspor nonmigas dan memperbaiki daya saing ekonomi.

Dunia mencatat 1978 sebagai tahun inflasi tinggi. Amerika Serikat misalnya mencatatkan inflasi sebesar 9% karena krisis dolar yang disebut "dollar crisis of 1978".

Sebelum krisis terjadi pada 1978, harga emas (XAU) telah 137,28% dari 30 Agustus 1976 di level US$102,2 per troy ons hingga 31 Oktober 1978 di level US$242,6 per troy ons.

1988

Setelah Black Monday pada 1987, dimana jatuhnya pasar saham global, banyak negara pada 1988 masih menghadapi ketidakstabilan keuangan. Negara-negara Amerika Latin, seperti Brasil dan Argentina, mengalami hiperinflasi dan krisis utang luar negeri. akibat Latin American Debt Crisis yang dimulai awal 1980-an.

Tahun 1988 menandai mulainya akhir Perang Dingin, dengan Uni Soviet di bawah Mikhail Gorbachev mulai melakukan reformasi alias perestroika dan glasnost. Terjadi konflik regional seperti perang Iran dengan Irak, yang akhirnya berakhir pada 1988, dan sangat memengaruhi harga minyak dunia.

Walaupun Indonesia tidak mengalami krisis ekonomi besar seperti tahun 1997-1998, tahun 1988 merupakan tahun penting dalam sejarah ekonomi dan politik Indonesia karena terjadi gejolak perbankan dan kebijakan deregulasi besar-besaran.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada pertengahan 1980-an melambat setelah jatuhnya harga minyak dunia pada 1986. Pemerintah Orde Baru di bawah Presiden Soeharto harus mencari cara untuk mengurangi ketergantungan pada minyak dan mendorong sektor nonmigas seperti industri dan perbankan.

Terdapat paket Deregulasi Perbankan 1988 (PAKTO 88) diumumkan pada 27 Oktober 1988. Paket ini melonggarkan berbagai aturan perbankan yakni mempermudah pendirian bank baru dan kantor cabang, meringankan ketentuan modal minimum, dan meningkatkan efisiensi sistem keuangan agar kredit mengalir lebih cepat ke sektor riil.

Dan sejak paket tersebut dimunculkan, bank baru bermunculan dengan cepat, namun pengawasan lemah dan kredit disalurkan tanpa analisis memadai. Walau tidak disebut krisis besar, periode ini menanam benih krisis perbankan yang meledak 10 tahun kemudian yakni pada 1998.

Harga emas pun juga mengalami kenaikan dimulai pada 2 Januari 1986 di level US$326,5 per troy ons hingga 14 Januari 1988 di level US$487,06 per troy ons, dengan total kenaikan mencapai 49,18%.

1998

Krisis Moneter Asia, yang berkembang menjadi krisis ekonomi, politik, dan sosial besar pada tahun 1998.

Krisis dimulai di Thailand pada Juli 1997 ketika mata uang baht jatuh karena serangan spekulatif dan lemahnya fundamental ekonomi. Krisis ini cepat menyebar ke negara Asia lainnya, termasuk Indonesia, Korea Selatan, Malaysia, dan Filipina.

Investor asing pun menarik modalnya pada saat itu dan menyebabkan nilai rupiah anjlok drastic. Dari sekitar Rp2.400/US$1 (pertengahan 1997) menjadi lebih dari Rp15.000/US$1 (awal 1998).

Hal ini mendorong perusahaan swasta Indonesia yang memiliki utang dalam dolar kesulitan membayar karena nilai tukar melambung.

Kemudian, inflasi melonjak di atas 70%, ribuan perusahaan bangkrut, dan banyak bank kolaps. PDB Indonesia juga ikut menyusut sekitar 13,1% pada tahun itu.

Pemerintah pun dianggap lamban dan tidak transparan dalam menangani krisis. Muncul kepanikan publik, banyak orang menarik simpanan dari bank (rush money).

Namun harga emas justru tidak mengalami kenaikan sebelum terjadinya krisis besar pada 1998. Jika menarik data dua tahun sebelum krisis 1998, harga emas justru cenderung turun hingga mencapai 26,23% dari 2 Januari 1996 di level US$390,4 per troy ons menjadi US$288 per troy ons pada 2 Januari 1998.

2008

Krisis Finansial Global 2008 atau Global Financial Crisis (GFC), sering juga disebut Krisis Subprime Mortgage. Krisis ini merupakan krisis ekonomi terbesar sejak Depresi Besar 1930-an dan berdampak ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Krisis ini berasal dari Amerika Serikat, terutama dari sektor perumahan dan perbankan. Pada periode 2000 hingga 2007 terjadi boom properti dan kelonggaran kredit.

Bank-bank di AS memberi pinjaman rumah atau kredit perumahan/subprime mortgage kepada masyarakat berpenghasilan rendah yang sebenarnya tidak mampu membayar. Harga rumah terus naik, sehingga banyak orang membeli rumah untuk dijual kembali dengan harapan untung.

Pinjaman perumahan ini dikumpulkan dan dijual kembali dalam bentuk obligasi (securities) kepada investor di seluruh dunia. Ketika harga rumah tinggi, sistem ini tampak menguntungkan tetapi sangat berisiko.

Pada akhirnya pada 2007-2008 gelembung properti meledak. Harga rumah di AS tiba-tiba jatuh. Banyak orang gagal bayar cicilan, bank rugi besar karena asetnya yang masih kredit tidak bisa ditagih. Ratusan bank dan lembaga keuangan besar kolaps.

Pada September 2008, Lehman Brothers, salah satu bank investasi terbesar di dunia, bangkrut peristiwa ini menjadi simbol utama krisis. Sistem keuangan global membeku, bank saling tidak percaya dan menahan pinjaman. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, dan banyak negara Eropa masuk ke resesi alias kontraksi ekonomi.

Pertumbuhan ekonomi dunia pun merosot tajam, bersama dengan pasar saham. Banyak perusahaan besar bangkrut atau melakukan PHK besar-besaran. Pemerintah di berbagai negara harus menyelamatkan bank dan perusahaan besar (bailout) agar sistem keuangan tidak runtuh.

Walau tidak separah Amerika atau Eropa, Indonesia tetap terkena dampak. Dimana nilai tukar rupiah melemah dari sekitar Rp9.000/US$1 menjadi lebih dari Rp12.000/U$1 pada akhir 2008.

Pasar saham anjlok, dimana IHSG turun lebih dari 50%. Ekspor juga mengalami penurunan, dimana permintaan dari negara-negara maju menurun, sehingga industri ekspor seperti tekstil dan kelapa sawit terdampak. PHK dan pengangguran meningkat di sektor industri dan ekspor.

Sebelum krisis besar terjadi pada 2008, harga emas telah melesat 68,54% terhitung sejak 2 Oktober 2006 di level US$594,7 per troy ons menjadi US$1.002,3 per troy ons pada 17 Maret 2008.

2018

Tahun 2018 tidak terjadi krisis besar global seperti 1998 ataupun 2008, tetapi terjadi gejolak ekonomi dunia yang cukup serius yang disebut oleh banyak analis sebagai mini crisis atau tekanan finansial global 2018. Tekanan ini terutama berasal dari kebijakan Amerika Serikat dan situasi ekonomi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, Turki, dan Argentina.

Bank Sentral AS The Federal Reserve menaikkan suku bunga beberapa kali pada 2018. Akibatnya, investor global menarik uangnya dari negara berkembang seperti Indonesia dan kembali menanam modal di AS karena bunga dolar lebih menarik. Hal ini menyebabkan aliran modal keluar (capital outflow) dari pasar negara berkembang.

Nilai dolar AS menguat tajam, sementara mata uang negara lain, termasuk rupiah melemah. Negara-negara dengan utang luar negeri dalam dolar menghadapi beban berat.

Selain itu, konflik ekonomi antara AS dan China memicu ketegangan global. AS mengenakan tarif impor tinggi pada produk China, dan China membalas dengan hal yang sama. Akibatnya, perdagangan dunia melambat, harga komoditas turun, dan kepercayaan investor menurun.

Indonesia termasuk salah satu negara yang terkena dampak tekanan global ini. Dimana nilai rupiah melemah tajam hingga menembus Rp15.200/US$1 pada Oktober 2018, yang merupakan level terendah sejak krisis 1998. Melemahnya rupiah membuat impor jadi mahal dan menekan inflasi.

Akhirnya biaya impor bahan baku naik, sehingga beberapa industri seperti otomotif, manufaktur, makanan, menghadapi tekanan biaya produksi. Pemerintah menunda proyek infrastruktur yang banyak bergantung pada bahan impor untuk menghemat devisa.

Investor asing pun banyak menjual saham dan obligasi Indonesia karena mencari aset dolar yang lebih aman. Pasar modal Indonesia mengalami tekanan cukup besar.

Bank Indonesia pun menaikkan suku bunga acuan beberapa kali untuk menahan arus keluar modal dan memperkuat rupiah. Pemerintah mengeluarkan kebijakan penghematan impor, mendorong ekspor, dan memperluas penggunaan biodiesel (B20) untuk mengurangi impor minyak.

Meskipun ada tekanan ekonomi, fundamental ekonomi Indonesia tetap kuat dengan pertumbuhan sekitar 5%, inflasi terkendali, dan sektor perbankan stabil. Karena itu, tahun 2018 hanya disebut sebagai gejolak atau tekanan ekonomi, bukan krisis besar.

Harga emas pun naik sebelum krisis dengan kenaikan 19,55% terhitung sejak 15 Desember 1996 pada level US$1.128,34 per troy ons hingga 18 April 2018 di level US$1.348,92 per troy ons.

Sehingga kesimpulannya, harga emas selalu mengalami lonjakan sebelum krisis terjadi, hal ini menjadi pertanda banyak investor telah bersiap menghadapi sebuah krisis dengan memborong emas.


Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(saw/saw)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation