Mengenal Tax Amnesty: Jurus Dongkrak Pajak Atau Manjakan Pengemplang?

Elvan Widyatama, CNBC Indonesia
27 September 2025 10:15
Pesta Usai, Setoran Pajak Kembali Bobrok: Hantu Shortfall Muncul Lagi
Foto: Infografis/Pesta Usai, Setoran Pajak Kembali Bobrok: Hantu Shortfall Muncul Lagi /Aristya Rahadian

Jakarta, CNBC Indonesia - Tax Amnesty di Indonesia kembali menjadi perhatian setelah wacana Rancangan Undang-Undang (RUU) Tax Amnesty masuk dalam daftar panjang Prolegnas 2025-2029.

Indonesia telah dua kali menyelenggarakan program Tax Amnesty di Era Reformasi yakni pada 2016 dan 2022, dengan hasil yang baik dari sisi penerimaan negara maupun deklarasi harta wajib pajak. Namun, rencana untuk mengulang program serupa menimbulkan perdebatan.

Di satu sisi, tax amnesty dianggap berhasil memperluas basis data perpajakan, sementara di sisi lain muncul kekhawatiran bahwa pengulangan program justru merusak kredibilitas sistem perpajakan dan mengirimkan sinyal keliru bahwa pelanggaran pajak akan selalu berakhir dengan pemutihan.

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengungkapkan adanya risiko besar bagi perekonomian dan kepatuhan wajib pajak jika program tax amnesty atau pengampunan pajak dilakukan secara berulang.

"Makanya kalau tax amnesty setiap berapa tahun ya udah nanti semuanya nyelundupin duit. Tiga tahun lagi buat tax amnesty, kira-kira begitu jadi message-nya kurang bagus," ujar Purbaya.

Menurutnya, keberlanjutan program pengampunan pajak akan justru mengirimkan sinyal keliru kepada para wajib pajak.

Alih-alih meningkatkan kepatuhan, hal tersebut justru membuka celah bagi pelanggaran dengan asumsi akan selalu ada kesempatan "pemutihan" di masa mendatang.

"Kalau amnesty berkali-kali, gimana jadi kredibilitasnya? Itu memberikan sinyal bahwa boleh melanggar, nanti akan ada amnesty lagi," tegasnya.

Purbaya menambahkan, alih-alih menggelar program jilid III, pemerintah sebaiknya fokus pada pengawasan, kemudahan administrasi, serta upaya mendorong pertumbuhan ekonomi agar basis pajak meningkat secara alami. Ia menekankan, pengampunan berulang kali hanya akan melemahkan integritas sistem perpajakan.

Berikut ini adalah perjalanaan Tax Amnesty jilid pertama dan kedua serta sejarah tentang sunset policy.

Tax Amnesty Jidil I

Program Tax Amnesty Jilid I di rilis pada 1 Juli 2016 hingga 31 Maret 2017 berdasarkan UU No.11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.

Program ini menjadi salah satu terobosan dalam reformasi perpajakan nasional di era Presiden Joko Widodo.

Tujuannya adalah untuk mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan harta, meningkatkan basis data perpajakan, serta menambah penerimaan negara untuk membantu pembiayaan pembangunan.

Wajib pajak orang pribadi maupun badan berhak mengikuti program ini, kecuali mereka yang sedang dalam penyelidikan karena tindak pidana perpajakan, ataupun dalam proses peradilan, hingga orang yang tengah menjalani hukuman pidana pajak.

Untuk bisa berpartisipasi dalam program Tax Amnesty I, WP harus mengajukan Surat Pernyataan Harta (SPH) yang berisi rincian harta yang belum dilaporkan yang disertai pembayaran uang tebusan dengan tarif khusu yang jauh lebih rendah dibandingkan tarif PPh normal.

Tarif uang tebusan ditetapkan berdasarkan periode pelaporan dan lokasi harta. Untuk harta dalam negeri dan luar negeri yang direpatriasi ke Indonesia, sebagai berikut:

Hasil yang didapat dari Tax Amnesty jilid I tercatat cukup signifikan.

Pemerintah berhasil mengumpulkan deklarasi harta sebesar Rp4.813 triliun dengan rincian deklarasi harta di dalam negeri sebesar Rp3.633 triliun serta sisa nya berasal dari deklarasi harta di luar negeri.

Dana repatriasi mencapai Rp146 triliun. Sementara itu, penerimaan negara dari uang tebusan mencapai Rp130 triliun yang terdiri dari Rp90,3 triliun dari wajib pajak pribadi non UMKM, Rp7,5 triliun dari dari orang pribadi UMK, Rp4,3 triliun dari wajib pajak badan non UMKM, serta dari wajib pajak badan UKM senilai Rp620 miliar.

Total peserta yang mengikuti program ini mencapai 974 ribu pelaporan SPH, dari 921 ribu wajib pajak. Menurut pemerintah, jumlah tersebut masih kecil dibandingkan dengan potensi wajib pajak di tanah air.

Direktur Jenderal Pajak saat itu, Ken Dwijugiasteadi, menegaskan bahwa keberhasilan Tax Amnesty Jilid I tidak hanya diukur dari besarnya uang tebusan, tetapi juga dari peningkatan kepatuhan sukarela dan penguatan basis data perpajakan.

Tax Amnesty Jilid 2

Tax Amnesty Jilid II atau Program Pengungkapan Sukarela (PPS) lahir sebagai bagian dari UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Regulasi ini memberikan kesempatan bagi wajib pajak untuk secara sukarela melaporkan harta yang belum pernah diungkapkan sebelumnya.

Program ini pada dasarnya merupakan tax amnesty lanjutan dari Jilid I, yang digelar pada 2016-2017, dengan tujuan serupa yaitu meningkatkan penerimaan negara, memperluas basis pajak, serta mendorong kepatuhan sukarela wajib pajak dalam jangka panjang.

PPS memberi ruang bagi WP, baik individu maupun badan, untuk mengungkapkan harta yang belum tercatat dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT).

Program ini tidak hanya ditujukan untuk mengoptimalkan penerimaan negara, tetapi juga membangun sistem perpajakan yang lebih adil dan berkepastian hukum. Melalui mekanisme ini, harta yang sebelumnya tersembunyi bisa masuk ke dalam sistem administrasi perpajakan, sehingga memperkuat basis data Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Dengan latar belakang tersebut, PPS diposisikan sebagai kelanjutan dari reformasi perpajakan yang lebih luas, sekaligus bagian dari strategi konsolidasi fiskal Indonesia.

Program PPS resmi digelar pada 1 Januari hingga 30 Juni 2022, menjadi kesempatan bagi WP orang pribadi maupun badan untuk mengungkapkan harta yang belum dilaporkan dalam SPT tahunan, dengan fasilitas tarif Pajak Penghasilan (PPh) final yang lebih ringan.

 Namun, program ini tidak berlaku bagi WP yang sedang disidik karena tindak pidana perpajakan atau tengah dalam proses peradilan.

WP yang mengikuti PPS wajib mengisi Surat Pemberitahuan Pengungkapan Harta (SPPH) yang berisi rincian harta bersih, daftar utang, bukti pembayaran PPh final, serta pernyataan repatriasi dan/atau investasi. Peserta juga diperbolehkan mengajukan SPPH tambahan apabila terdapat perubahan data, atau mencabut keikutsertaan dengan menyampaikan SPPH bernilai nol.

Dalam implementasinya, PPS dibagi menjadi dua kebijakan.

Kebijakan I berlaku bagi harta perolehan hingga 31 Desember 2015 yang belum sempat diungkapkan pada Tax Amnesty Jilid I, dengan tarif PPh final antara 6%-11%, tergantung repatriasi dan penempatan investasi pada sektor SDA, energi terbarukan, maupun Surat Berharga Negara (SBN).

Kebijakan II berlaku untuk harta perolehan 2016-2020 yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh 2020, dengan tarif PPh final lebih tinggi, yaitu 12%-18%.

DJP menetapkan bahwa harta yang direpatriasi ke Indonesia harus dialihkan melalui bank paling lambat 30 September 2022 dan tidak boleh ditarik kembali ke luar negeri selama lima tahun (holding period).

Hasil PPS menunjukkan tingkat partisipasi yang cukup besar. Hingga akhir periodenya, tercatat 247.918 Wajib Pajak mengikuti program ini dengan total 308.059 surat keterangan harta yang diterbitkan.

Nilai harta bersih yang berhasil dilaporkan mencapai Rp594,82 triliun, terdiri dari uang tunai Rp263,15 triliun, setara kas Rp75,43 triliun, tabungan Rp59,97 triliun, deposito Rp36,44 triliun, serta tanah dan bangunan Rp26,35 triliun. Dari sisi sektor, pengusaha dan pegawai swasta mendominasi laporan harta dengan nilai Rp300,04 triliun.

Secara keseluruhan, Tax Amnesty Jilid II berhasil menghimpun Rp61,01 triliun penerimaan pajak.

Selain menambah penerimaan negara, PPS juga memberikan kontribusi penting pada pencapaian target pajak 2022.

Hingga pertengahan Desember 2022, penerimaan pajak bahkan telah melampaui target APBN, yakni Rp1.634,36 triliun atau 110,06% dari target. Dengan hasil tersebut, PPS dinilai menjadi instrumen penting dalam memperkuat basis data perpajakan nasional sekaligus meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak.

Sunset Policy

Sebelum program Tax Amnesty dilakukan, pemerintah lebih dulu meluncurkan kebijakan yang dinamai Sunset Policy pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Kebijakan ini berlangsung sejak 1 Januari hingga 31 Desember 2008 dan kemudian diperpanjang hingga 28 Februari 2009. Program ini menjadi salah satu langkah awal reformasi perpajakan nasional dengan tujuan untuk meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak serta memperluas basis data perpajakan.

Sunset Policy memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk secara sukarela melaporkan dan memperbaiki SPT tanpa dikenai sanksi administrasi bunga.

Dalam praktiknya, DJP menghapuskan sanksi bunga administrasi atas keterlambatan pembayaran pajak, sehingga wajib pajak cukup membayar pokok pajaknya saja. Di bawah payung hukum Pasal 37A Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 serta diperkuat melalui PMK Nomor 18/PMK.03/2008.

Pemerintah saat itu menegaskan bahwa kebijakan ini berbeda dengan tax amnesty penuh. Sunset Policy hanya menghapus sanksi bunga administrasi, sementara kewajiban pokok pajak tetap harus dibayar penuh sesuai tarif umum yang berlaku.

Selain itu, kebijakan ini tidak memberikan pembebasan dari sanksi pidana pajak. Artinya, fasilitas yang ditawarkan lebih kepada mendorong transparansi dan kepatuhan wajib pajak, bukan penghapusan menyeluruh atas kewajiban perpajakan.

Dari sisi hasil, Sunset Policy terbukti cukup efektif. Mengutip laporan DJP, hingga akhir 2008 program ini berhasil menjaring 3,54 juta wajib pajak baru dengan penerimaan PPh sebesar Rp5,56 triliun.

Sementara itu, perpanjangan hingga Februari 2009 menambah 2,09 juta wajib pajak baru dengan penerimaan PPh sekitar Rp1,9 triliun. Secara total, Sunset Policy berhasil menambah 5,63 juta wajib pajak baru dan menghimpun penerimaan PPh sebesar Rp7,46 triliun.

Dengan capaian tersebut, Sunset Policy dipandang sebagai tonggak penting dalam perjalanan reformasi perpajakan Indonesia.

Program ini membuktikan bahwa insentif kepatuhan bisa menjadi jalan efektif untuk mengajak masyarakat lebih transparan dalam kewajiban perpajakan.

Selain itu, keberhasilan Sunset Policy juga menjadi fondasi lahirnya program Tax Amnesty Jilid I pada 2016, yang menawarkan cakupan dan keringanan lebih luas dalam upaya memperkuat sistem perpajakan nasional.

CNBC INDONESIA RESEARCH 

[email protected]


(evw/evw)

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular