Dolar AS Menguat, Rupiah Terpuruk Bersama Peso & Baht di Asia

Elvan Widyatama, CNBC Indonesia
24 September 2025 09:42
Ini Peta Kekuatan Mata Uang ASEAN Usai Krisis 1998: Rupiah Kalah Telak
Foto: Infografis/ Ini Peta Kekuatan Mata Uang ASEAN Usai Krisis 1998: Rupiah Kalah Telak/ Ilham Restu

Jakarta, CNBC Indonesia - Mata uang Asia terpantau hampir seluruhnya mengalami pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan hari ini, Rabu (24/9/2025).

Melansir data Refinitiv, per pukul 09.15 WIB, mayoritas mata uang di kawasan Asia tengah terdepresiasi dari dolar AS.

Rupiah masuk urutan ketiga sebagai mata uang terlemah di Asia, dengan terkoreksi sebesar 0,15% ke posisi Rp16.685/US$. Hal ini sekaligus melanjutkan pelemahan yang telah terjadi sejak 18 September 2025 atau lima hari beruntun.

Sementara itu, peringkat pertama sebagai mata uang terlemah di Asia adalah peso Filipina. Peso mengalami pelemahan 0,32% di level PHP 57,434/US$, kemudian di urutan kedua ditempati oleh baht Thailand yang turut melemah 0,25% ke posisi THB 31,91/US$.

Pelemahan juga terjadi pada yen Jepang yang terkoreksi 0,08% di level JPY 147,74/US$, serta yuan China 0,07% ke level 7,1165/US$.

Dong Vietnam, dolar Singapura, hingga won Korea juga mengalami tekanan dengan masing-masing sebesar 0,06% dan 0,05%.

Di saat mayoritas mata uang Asia melemah, rupee India dan dolar Taiwan justru tampil berbeda. Rupee menguat 0,05% ke posisi INR 88,743/US$, serta dolar Taiwan menguat tipis 0,04% di level TWD 30,228/US$.

Tekanan pada mayoritas mata uang Asia ini terjadi seiring penguatan indeks dolar (DXY) yang kembali menguat ke level 97,332 setelah sebelumnya sempat terkoreksi dua hari beruntun.

Kenaikan dolar ditopang oleh pernyataan Ketua The Federal Reserve, Jerome Powell, yang menegaskan sikap hati-hati bank sentral dalam menentukan arah kebijakan moneter ke depan.

Powell menekankan bahwa laju pemangkasan suku bunga masih penuh ketidakpastian, karena itu The Fed harus menyeimbangkan antara upaya menekan inflasi dengan risiko pelemahan pasar tenaga kerja.

Powell juga menyoroti bahwa tekanan harga akibat tarif impor sejauh ini masih relatif terkendali, membuka ruang bagi The Fed untuk lebih fleksibel jika kondisi ekonomi memburuk. Namun, pernyataan tersebut justru memperkuat persepsi pasar bahwa bank sentral tidak akan terburu-buru melanjutkan pemangkasan suku bunga yang lebih agresif.

Di sisi lain, komentar Gubernur The Fed terbaru, Stephen Miran, yang sempat mendorong pemangkasan suku bunga 50 basis poin pada rapat sebelumnya, menambah ketidakpastian arah kebijakan. Ia memperingatkan bahwa jika langkah pelonggaran terlalu hati-hati, risiko perlambatan ekonomi bisa semakin besar.

Situasi ini membuat investor global kembali berhati-hati menjelang rilis data inflasi PCE, indikator utama yang menjadi acuan The Fed. Ekspektasi bahwa The Fed belum akan mengambil langkah lebih longgar dalam waktu dekat menjadi faktor utama yang mendorong penguatan dolar dan menekan mata uang Asia, termasuk rupiah.

CNBC INDONESIA RESEARCH 

[email protected]

(evw/evw)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation