Dunia & RI Bersiap Hadapi 72 Jam Penuh Penantian & Gejolak

Elvan Widyatama, CNBC Indonesia
15 September 2025 06:10
Perry Warjiyo
Foto: Foto Dokumentasi BI, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo bertemu dengan Gubernur Bank Sentral AS (The Federal Reserve) Jerome Powell

Pasar keuangan tanah air diperkirakan akan bergerak volatile seiring dengan penantian pelaku pasar akan beberapa pengumuman penting, baik itu dari dalam maupun luar negeri.

Fokus utama dari dunia pada pekan ini adalah rapat Federal Open Market Committee (FOMC) pada Selasa dan Rabu waktu AS atau Rabu dan Kamis dini hari waktu Indonesia. Dalam tiga hari ke depan atau dalam 72 jam ke depan, dunia akhirnya akan mendapat keputusan apakah The Fed akan memangkas suku bunga atau memilih  untuk kembali mempertahankannya.

Dengan begitu besarnya pengaruh The Fed, pasar keuangan dunia dan Indonesia diperkirakan akan sedikit bergejolak menunggu keputusan The Fed.

Dari dalam negeri, pasar akan menanti keputusan Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) tentang suku bunga acuan nya, bersamaan dengan keputusan bank sentral Amerika Serikat (The Fed) yang turut akan mengumumkan kebijakan moneter nya pada pekan ini.

Berikut ini adalah rangkuman beberapa sentimen dan pengumuman penting yang diperkirakan akan mempengaruhi arah pergerakan pasar keuangan tanah air hari ini hingga sepekan ke depan.

The Fed dan Awal Pemangkasan Suku Bunga Yang Dinanti

Pekan ini, pelaku pasar keuangan global sangat menantikan keputusan penting dari bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve (The Fed), dalam pertemuan Rabu (17/9/2025) atau Kamis dini hari waktu Indonesia.

Investor memperkirakan The Fed akan mulai memangkas suku bunga acuan untuk pertama kalinya sejak Desember 2024. 

Berdasarkan alat pantau CME Group FedWatch, para pelaku pasar menilai terdapat peluang sebesar 93% bahwa The Fed akan memangkas suku bunga federal funds rate sebesar 25 basis poin, sehingga turun ke kisaran 4,00% hingga 4,25%. Meski demikian, sebagian kecil pelaku pasar masih memperkirakan adanya kemungkinan pemangkasan lebih agresif hingga 50 basis poin.

Selain keputusan suku bunga, rapat kali ini juga akan menghasilkan rilis proyeksi ekonomi terbaru. Laporan tersebut berisi pandangan anggota komite mengenai arah perekonomian dalam jangka pendek maupun panjang, termasuk prospek pertumbuhan, inflasi, serta kondisi pasar tenaga kerja.

Dinamika politik menambah ketidakpastian menjelang pertemuan, karena masih ada perdebatan mengenai keikutsertaan Gubernur Lisa Cook yang sedang menunggu putusan pengadilan, serta calon anggota baru Stephen Miran yang belum mendapat persetujuan Senat. Kedua keputusan ini bisa saja diumumkan pada saat-saat terakhir sebelum rapat dimulai.

The Fed dihadapkan pada dua mandat utama, yaitu menjaga stabilitas inflasi dan mendukung terciptanya lapangan kerja. Dalam beberapa bulan terakhir, pasar tenaga kerja AS menunjukkan tanda-tanda pelemahan.

Pertumbuhan lapangan kerja melambat, sementara tingkat pengangguran mulai merangkak naik. Di sisi lain, inflasi masih bertahan di atas target tahunan 2% dan bahkan menunjukkan tren kenaikan dalam tiga bulan terakhir. Kondisi ini menjadi dilema tersendiri bagi pejabat The Fed.

Faktor politik juga menambah tekanan. Presiden Donald Trump terus mendesak The Fed untuk memangkas suku bunga lebih dalam, bahkan kerap kali melontarkan kritik tajam terhadap Ketua Jerome Powell maupun sejumlah anggota komite. Desakan ini dinilai berpotensi menambah ketidakpastian, meski The Fed berupaya menjaga independensinya.

Pada pertemuan terakhir, The Fed memilih mempertahankan suku bunga untuk kelima kalinya secara beruntun. Namun, untuk pertama kalinya tahun ini, dua anggota komite menyatakan perbedaan pandangan dengan memilih opsi pemangkasan 25 basis poin.

Saat itu, The Fed berargumen bahwa suku bunga perlu dipertahankan pada level tinggi untuk meredam inflasi yang membandel, seraya mengingatkan bahwa kebijakan tarif impor yang diberlakukan pemerintah Trump bisa memperburuk tekanan harga.

Kini, pasar menanti apakah pekan depan The Fed benar-benar akan mengakhiri sikap berhati-hatinya dan memulai siklus pemangkasan suku bunga, sebuah keputusan yang akan sangat menentukan pergerakan pasar keuangan baik global maupun Tanah Air.

Rapat Dewan Gubernur BI

Tak kalah dengan The Fed, Bank Indonesia (BI) juga akan mengumumkan lebih dulu tentang kebijakan suku bunga RI pada Rabu (17/9/2025). Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI terakhir pada 19-20 Agustus 2025, BI memutuskan untuk kembali memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 5,0%. Suku bunga Deposit Facility juga turun menjadi sebesar 4,25% dan suku bunga Lending Facility turun menjadi 5,75%.

Hal tersebut sekaligus mencatatkan pemangkasan suku bunga keempat dalam tahun ini.

Dengan total penurunan mencapai 100 basis poin sejak awal 2025. Kebijakan ini ditempuh sejalan dengan proyeksi inflasi yang tetap terjaga di rentang2,5% plus minus 1% pada 2025, stabilitas nilai tukar rupiah yang terjaga, serta upaya memperkuat pertumbuhan ekonomi sesuai dengan kapasitas nasional.

BI diperkirakan masih akan menjaga ruang pelonggaran kebijakan suku bunga untuk mendukung momentum pemulihan ekonomi, sambil tetap memastikan inflasi berada dalam sasaran dan menjaga stabilitas kurs sesuai fundamentalnya.

Selain instrumen suku bunga, kebijakan makroprudensial akomodatif juga terus dioptimalkan untuk mendorong pertumbuhan kredit dan memberi fleksibilitas lebih besar bagi perbankan dalam mengelola likuiditas. Di sisi lain, sistem pembayaran diarahkan untuk memperkuat peran dalam menopang pertumbuhan ekonomi melalui perluasan penggunaan transaksi digital, penguatan infrastruktur, dan konsolidasi industri pembayaran.

Rilis SULNI

Pada hari ini, Senin (15/9/2025), Bank Indonesia (BI) akan merilis Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) untuk periode Juli 2025. Data ini menjadi perhatian utama pelaku pasar karena berfungsi sebagai tolok ukur kesehatan eksternal perekonomian Indonesia.

Jika pertumbuhan utang luar negeri (ULN), khususnya dari sektor swasta, melonjak signifikan, kekhawatiran terhadap defisit transaksi berjalan dan tekanan terhadap nilai tukar rupiah berpotensi kembali mengemuka. Sebaliknya, data yang stabil dapat memperkuat kepercayaan investor terhadap fundamental ekonomi nasional.

Pada rilis sebelumnya, posisi ULN Indonesia pada triwulan II 2025 tercatat sebesar US$433,3 miliar. Angka ini tumbuh 6,1% secara tahunan (yoy), sedikit melambat dibandingkan dengan pertumbuhan pada triwulan I 2025 yang mencapai 6,4% yoy. Sementara itu, per Mei 2025, posisi ULN tercatat sebesar US$435,6 miliar. Perlambatan ini terutama dipengaruhi oleh kinerja utang swasta yang melanjutkan tren kontraksi dari periode sebelumnya.

Menanti Penjualan Ritel China

Hari ini, Senin (15/9/2025) juga pengumuman penting China yang akan merilis data penjualan ritel periode Agustus. Data ini akan menentukan bagaimana kondisi perekonomian China, setelah sebelumnya pada Juli pertumbuhan penjualan ritel China melambat di hampir semua sektor utama.

Pada Juli lalu, penjualan ritel hanya naik 3,7% yoy, jauh di bawah perkiraan sebesar 4,6% yoy, serta melambat dari 4,8% yoy pada Juni. Produksi industri juga mencatatkan kenaikan 5,7% yoy, level terlemah sejak November tahun lalu, sekaligus di bawah ekspektasi 5,9%.

Sementara itu, investasi aset tetap pada periode Januari-Juli 2025 hanya tumbuh 1,6%, lebih rendah dari proyeksi ekonom sebesar 2,7% dan melambat dari capaian 2,8% pada semester I. Dalam komponen tersebut, kontraksi di sektor properti semakin dalam dengan penurunan 12% sepanjang tujuh bulan pertama tahun ini

Biro Statistik Nasional China menyebutkan lemahnya kinerja tersebut dipengaruhi oleh kombinasi faktor eksternal dan internal, mulai dari ketidakpastian global hingga cuaca ekstrem. Suhu panas, hujan deras, dan banjir menyebabkan banyak pabrik serta proyek konstruksi terpaksa menghentikan operasionalnya.

Selain itu, kebijakan pemerintah untuk membatasi kelebihan kapasitas juga memberi dampak signifikan. Tahun ini Beijing memperketat pengawasan terhadap produksi berlebih di sektor-sektor seperti baja dan batu bara dalam upaya meredam persaingan harga yang tidak sehat, yang selama ini menekan profitabilitas perusahaan dan memperburuk tren deflasi.

Dengan latar belakang tersebut, investor global kini mencermati apakah perlambatan konsumsi domestik China akan terus berlanjut pada Agustus, mengingat data Juli menunjukkan bahwa pemulihan ekonomi masih jauh dari kata solid.

Rilis Penjualan Ritel & Pembangunan Rumah Baru AS

Dari Washington, perhatian investor pekan ini juga tertuju pada data penjualan ritel Amerika Serikat yang akan dirilis pada Selasa (16/9/2025). Data tersebut diproyeksikan naik 0,5% secara bulanan dan menjadi indikator daya tahan konsumsi rumah tangga, motor utama ekonomi AS. Jika hasilnya lebih tinggi dari perkiraan, pasar bisa menilai The Federal Reserve akan menunda pemangkasan suku bunga lebih lama, yang berpotensi menguatkan dolar AS sekaligus menekan rupiah.

Sehari setelahnya, akan ada rilis data pembangunan rumah baru AS yang akan ikut memengaruhi sentimen pasar. Hasil yang lebih kuat akan memperkuat keyakinan bahwa ekonomi AS masih solid, yang bisa menambah tekanan pada aset berisiko di negara berkembang.

(evw/evw)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular