
Sederet Kebijakan Pendidikan Nadiem Makarim yang Picu Kontroversi

Jakarta, CNBC Indonesia - Nama Nadiem Makarim sedang menjadi perbincangan publik. Mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi periode 2019-2024 itu resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung dalam kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook pada Kamis (4/9/2025). Ia menjadi tersangka kelima dalam perkara yang menyeret sejumlah pejabat dan pihak swasta terkait proyek digitalisasi pendidikan 2019-2022.
Penetapan ini menambah panjang daftar kontroversi yang membayangi kiprah Nadiem sejak dipercaya Presiden Joko Widodo masuk dalam Kabinet Indonesia Maju pada 23 Oktober 2019. Awalnya ia menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, lalu pada 2021 kembali dilantik dengan nomenklatur baru, Kemendikbudristek, setelah dileburnya Kementerian Riset dan Teknologi. Nadiem bertahan hingga akhir masa jabatan Jokowi pada Oktober 2024.
Selama lima tahun menjabat, Nadiem meluncurkan sederet kebijakan besar di bawah payung Merdeka Belajar. Namun, banyak di antaranya menimbulkan kontroversi, bahkan penolakan luas.
Berikut catatan kebijakan yang dinilai banyak menimbulkan kontroversi.
1. Kurikulum Merdeka
Nadiem pada periode pandemi covid-19 meluncurkan berbagai terobosan lewat program Merdeka Belajar. Salah satu yang menonjol adalah hadirnya Kurikulum Merdeka, yang digadang-gadang sebagai jawaban atas tantangan pendidikan Indonesia pada era sekarang.
Kurikulum Merdeka pada dasarnya adalah visi progresif untuk memerdekakan siswa dari beban kurikulum yang kaku dan memberi ruang bagi kreativitas guru. Dari sisi idealisme, langkah ini sesuai dengan tuntutan zaman dimana pendidikan harus melatih keterampilan sesuai dengan kebutuhan saat ini, bukan sekadar hafalan.
Namun, keberhasilan kurikulum ini tidak hanya ditentukan oleh desain kebijakan, tetapi juga kapasitas implementasi di lapangan.
Ketidaksiapan infrastruktur, kesenjangan antarwilayah, serta kompetensi guru-guru yang ada, menjadi tantangan besar bagi kelancaran kurikulum ini. Alih-alih menjadi solusi, jika tidak didampingi dengan penguatan kapasitas dan pemerataan sumber daya, Kurikulum Merdeka dinilai justru memperlebar ketidaksetaraan pendidikan di Indonesia.
2. Pramuka Sukarela
Beberapa tahun setelah meluncurkan kurikulum baru, Nadiem kembali mengeluarkan kebijakan yang memicu perdebatan panjang: menjadikan Pramuka tidak lagi wajib. Perubahan ini dituangkan dalam Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024. Sekolah tetap harus menyediakan kegiatan Pramuka, tetapi siswa tidak diwajibkan untuk mengikutinya.
Meski terdengar sederhana, dampaknya besar. Pramuka selama ini dianggap sebagai salah satu wadah pembinaan karakter, kedisiplinan, dan kepemimpinan. Dengan status baru yang sukarela, banyak pihak khawatir partisipasi siswa akan turun drastis.
Dengan dihilangkannya kewajiban Pramuka, kegiatan Pramuka dikhawatirkan hanya akan menjadi formalitas, tidak lagi memiliki posisi penting dalam sistem pendidikan nasional.
3. Skripsi Tidak Wajib
Tak lama berselang, muncul gebrakan lain yang tak kalah menghebohkan. Pada 2023, Nadiem menerbitkan Permendikbudristek Nomor 53 yang menghapus skripsi sebagai syarat mutlak kelulusan mahasiswa sarjana dan D4. Tugas akhir boleh diganti dengan proyek, prototipe, atau karya lain sesuai karakter program studi.
Bagi mahasiswa, kabar ini awalnya terdengar melegakan. Namun di dunia akademik, kebijakan tersebut langsung memicu kontroversi. Skripsi yang selama ini telah dipandang sebagai tradisi akademik yang penting, karena melatih mahasiswa meneliti, berpikir kritis, dan menulis ilmiah. Karena aturan baru tersebut, banyak pihak khawatir standar akademik lulusan menjadi tidak jelas apalagi setiap kampus bebas menafsirkan bentuk tugas akhir yang berbeda-beda.
4. Kenaikan UKT
Isu paling panas di tahun 2024 datang dari kebijakan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di sejumlah perguruan tinggi negeri. Rencana ini sontak memicu gelombang protes mahasiswa di berbagai daerah. Demonstrasi berlangsung masif, dengan spanduk dan orasi yang menggema di kampus-kampus besar. Kritik muncul karena kenaikan biaya dinilai terlalu membebani keluarga, terutama di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih.
Sorotan publik bukan hanya pada besaran kenaikan, tetapi juga transparansi. Mahasiswa mempertanyakan kejelasan perhitungan UKT, sementara orang tua merasa terbebani tanpa adanya peningkatan fasilitas yang sepadan. Isu ini cepat menjadi sensitif, hingga memaksa Presiden Joko Widodo turun tangan.
Akhirnya, Mendikbudristek Nadiem Makarim memutuskan membatalkan kenaikan UKT pada tahun tersebut. Keputusan ini diambil setelah ia bertemu dengan para rektor dan mendengar aspirasi dari berbagai pihak. Dalam keterangannya seusai menemui Presiden di Istana Kepresidenan pada 27 Mei 2024, Nadiem menegaskan bahwa tidak ada mahasiswa yang akan terdampak kebijakan kenaikan UKT tahun itu.
Pemerintah berjanji akan mengevaluasi ulang seluruh permintaan peningkatan UKT dari perguruan tinggi negeri satu per satu untuk tahun berikutnya. Menurut Nadiem, setiap rencana kenaikan harus dilakukan dengan asas keadilan dan kewajaran. Meskipun dibatalkan, kasus ini tetap meninggalkan catatan serius mengenai lemahnya tata kelola pendanaan pendidikan tinggi di Indonesia.
5. Pembubaran BSNP
Di tengah berbagai polemik lain, Nadiem juga mengambil langkah besar dengan membubarkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) pada 2021.
Lembaga yang sejak lama berperan sebagai badan independen standardisasi pendidikan ini digantikan oleh Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) yang langsung berada di bawah Mendikbudristek. Kebijakan tersebut dituangkan dalam Permendikbudristek Nomor 28/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja.
Langkah ini mendapat sorotan karena mengubah wajah tata kelola standar pendidikan nasional. Jika sebelumnya BSNP bersifat mandiri, kini seluruh kewenangan standardisasi berada langsung di bawah kementerian. Artinya, lembaga penentu kurikulum dan asesmen tidak lagi independen, melainkan bertanggung jawab penuh kepada menteri.
Pihak Kemendikbudristek berdalih pembubaran BSNP tidak bertentangan dengan UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), karena undang-undang tersebut hanya menyebut keberadaan badan standardisasi tanpa menuliskan nomenklatur BSNP secara eksplisit.
Dengan argumentasi itu, kementerian menegaskan perubahan dilakukan untuk menghilangkan tumpang tindih kewenangan serta mengefisienkan struktur organisasi.
Namun, di sisi lain, banyak kalangan menilai pembubaran ini berpotensi melemahkan fungsi check and balance dalam penetapan standar pendidikan nasional. Kritik mengemuka bahwa hilangnya independensi akan membuka ruang lebih besar bagi intervensi politik dalam penyusunan kurikulum maupun asesmen, yang seharusnya dijaga dengan objektivitas tinggi.
6. Pengadaan Chromebook
Program digitalisasi pendidikan menjadi salah satu fokus Nadiem Makarim sejak awal masa jabatannya. Antara 2019 hingga 2022, Kemendikbudristek meluncurkan proyek besar pengadaan laptop Chromebook untuk sekolah-sekolah, termasuk di wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T).
Langkah ini digadang sebagai upaya mempercepat transformasi digital pembelajaran, terutama setelah pandemi Covid-19 memperlihatkan pentingnya teknologi di ruang kelas.
Namun, niat tersebut justru berbalik arah. Pada Kamis, 4 September 2025, Kejaksaan Agung resmi menetapkan Nadiem sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan Chromebook. Ia menjadi tersangka kelima dalam rangkaian perkara yang menjerat sejumlah pejabat dan pihak swasta.
Menurut Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Nurcahyo Jungkung Madyo, Nadiem berperan meloloskan pengadaan Chromebook dari Google Indonesia meski sebelumnya tawaran serupa sudah pernah ditolak oleh Mendikbud era sebelumnya, Muhadjir Effendy. Proses pengadaan yang mestinya transparan diduga disusupi kepentingan tertentu, hingga akhirnya menimbulkan kerugian negara dalam jumlah besar.
Kasus ini menambah daftar panjang kontroversi kebijakan pendidikan era Nadiem. Chromebook yang awalnya digembar-gemborkan sebagai solusi digitalisasi justru dipersoalkan karena spesifikasi rendah, distribusi tak merata, dan tidak relevan untuk sekolah di daerah dengan keterbatasan internet. Kini, proyek tersebut bukan hanya gagal menjawab kebutuhan pendidikan, tetapi juga menyeret sang menteri ke kursi tersangka korupsi.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(evw)