
Raja Asia! Cuma Rupiah & Ringgit Sanggup Tendang Dolar, Yen Cs Cemas

Jakarta, CNBC Indonesia - Perdagangan mata uang Asia pada hari ini bergerak variatif terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Sejumlah mata uang mencatatkan penguatan cukup solid, sementara sebagian lainnya justru melemah.
Melansir dari Refinitiv, ringgit Malaysia menjadi mata uang dengan penguatan terbesar di Asia setelah naik 0,59% ke posisi MYR 4,20/US$. Disusul rupiah yang terapresiasi 0,52% ke level Rp16.250/US$.
Sementara itu, yuan China dan dong Vietnam tercatat stagnan alias tidak mengalami perubahan, masing-masing bertahan di level CNY 7,1651/US$ dan VND 26.300/US$.
Di sisi lain, beberapa mata uang Asia justru tertekan. Dolar Singapura melemah 0,16%, diikuti dolar Taiwan minus 0,21%, baht Thailand turun 0,25%, serta rupee India terkoreksi tipis 0,02%.
Pelemahan lebih dalam terjadi pada won Korea Selatan yang merosot 0,30%, yen Jepang turun 0,33%, dan peso Filipina menjadi yang terlemah setelah melemah 0,39% ke posisi PHP 56,622/US$.
Pergerakan Indeks Dolar AS (DXY)
Pergerakan mata uang Asia terjadi seiring pelemahan indeks dolar AS (DXY) pada penutupan perdagangan Jumat (22/8/2025). DXY merosot 0,92% ke level 97,71 setelah pidato Ketua The Fed Jerome Powell di Simposium Jackson Hole yang memberi sinyal dovish dengan membuka peluang pemangkasan suku bunga pada pertemuan September mendatang.
Meskipun pada perdagangan hari ini, Senin (25/8/2025) per pukul 09.38 WIB, DXY tengah menguat 0,23% ke posisi 97,94.
Menurut data LSEG, pelaku pasar kini memperkirakan peluang sebesar 80% bahwa The Fed akan memangkas suku bunga 25 basis poin pada 17 September, dengan total potensi pemangkasan mencapai 48 basis poin hingga akhir 2025. Ekspektasi ini menghidupkan kembali minat investor pada aset berisiko, termasuk mata uang emerging market seperti rupiah dan mata uang negara-negara Asia lainnya.
Dalam pidatonya, Powell menegaskan bahwa kebijakan moneter saat ini masih berada di wilayah restriktif, namun keseimbangan risiko ekonomi mulai bergeser.
"Kebijakan saat ini berada di wilayah restriktif, dan prospek dasar serta pergeseran keseimbangan risiko mungkin memerlukan penyesuaian sikap kebijakan kami," ujar Powell, dikutip dari situs resmi The Fed.
Powell juga menyoroti meningkatnya risiko pelemahan pasar tenaga kerja.
"Risiko penurunan lapangan kerja sedang meningkat, dan jika risiko itu terwujud, bisa terjadi dengan cepat," katanya.
Di sisi lain, ia mengingatkan bahwa tarif impor dan kebijakan perdagangan berpotensi kembali menimbulkan tekanan inflasi, sementara perubahan besar dalam pajak dan imigrasi turut memengaruhi arah kebijakan ke depan.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(evw/evw)