Newsletter

Bunga Dipangkas, Tapi RI Masih Gelisah: Kabar Besar Menanti Hari Ini!

Elvan Widyatama, CNBC Indonesia
21 August 2025 06:20
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo saat menyampaikan Hasil Rapat Dewan Gubernur Bulan Februari 2025.
Foto: Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo saat menyampaikan Hasil Rapat Dewan Gubernur Bulan Februari 2025. (CNBC Indonesia/Arrijal Rachman)

Perdagangan hari ini, Kamis (20/8/20250) akan dipengaruhi oleh beragam sentimen. Dari dalam negeri, keputusan Bank Indonesia memangkas suku bunga acuan menjadi katalis positif.

Namun, perhatian pasar juga akan tertuju ke rilis neraca transaksi berjalan dan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal II yang menjadi indikator stabilitas eksternal Indonesia. Data transaksi berjalan menjadi kabar terbesar dan terpenting hari ini.

Dari global, kebijakan Bank Sentral China yang menahan suku bunga menegaskan arah stimulus fiskal Beijing, sementara inflasi Inggris yang kembali panas menambah tekanan bagi Bank of England. Tak kalah penting, Jepang mencatat kejutan dengan defisit neraca dagang yang kembali muncul, dipicu pelemahan ekspor dan melambatnya permintaan dari AS maupun China.

Pelaku pasar juga akan mencermati risalah pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) bulan Juli yang rilis pada Rabu waktu AS atau Kamis dini hari waktu Indonesia.

Berikut rangkuman sentimen utama yang akan membentuk arah IHSG dan rupiah hingga obligasi:

Bank Indonesia Pangkas Suku Bunga

Bank Indonesia (BI) kembali memangkas suku bunga acuan atau BI-Rate sebesar 25 basis poin menjadi 5,00%. Suku bunga Deposit Facility juga turun menjadi sebesar 4,25% dan suku bunga Lending Facility turun menjadi 5,75%.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menjelaskan, pemangkasan ini dilakukan mempertimbangkan tetap rendahnya prakiraan inflasi 2025 dan 2026 dalam sasaran 2,5±1%, terjaganya stabilitas nilai tukar Rupiah, dan perlunya mendorong pertumbuhan ekonomi sesuai dengan kapasitas perekonomian.

"Ke depan, Bank Indonesia akan terus mencermati ruang penurunan suku bunga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi sejalan dengan rendahnya prakiraan inflasi dengan tetap mempertahankan stabilitas nilai tukar Rupiah," ucap Perry saat konferensi pers secara daring, Rabu (20/8/2025).

Perry menjelaskan, penurunan BI Rate kali ini yang turut diarahkan untuk perlunya mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan didasari atas pertimbangan masih besarnya tekanan ekonomi global akibat tingginya ketidakpastian di pasar keuangan dan aktivitas perdagangan global.

Sementara itu, di dalam negeri, ia tegaskan trennya tengah mengalami penguatan pertumbuhan ekonomi, tercermin dari ekonomi triwulan II 2025 tumbuh sebesar 5,12% (yoy), lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi triwulan I 2025 sebesar 4,87% (yoy).

"Dengan realisasi triwulan II 2025 tersebut, secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi tahun 2025 diprakirakan akan berada di atas titik tengah kisaran 4,6-5,4%," papar Perry.

BI sudah memangkas suku bunga sebesar 100 bps sepanjang tahun ini. Pemangkasan ini adalah yang paling agresif sejak Krisis Pandemi Covid-19.

BI memangkas suku bunga masing-masing 25 bps Januari, Mei, Juli, dan Agustus. Pemangkasan sebesar 100 bps dalam satu tahun apalagi hanya dalam delapan bulan jarang dilakukan BI.

Dalam 15 tahun terakhir (2011-2025), BI hanya pernah memangkas suku bunga sebesar 100 bps hingga Agustus (delapan bulan pertama), yakni pada 2016, 2020, dan tahun ini.

Kebijakan agresif ini bermuara pada satu hal yakni urgensi untuk mendongkrak pertumbuhan. Ekonomi Indonesia memang tumbuh 5,12% (yoy) pada kuartal II-2025, tertinggi dua tahun. Namun, sejumlah indicator menunjukkan ekonomi Indonesia masih lesu.

Transaksi Berjalan

Bank Indonesia pada hari ini, Kamis (21/8/2025) akan mengumumkan neraca transaksi berjalan atau current account untuk periode kuartal II-2025.

Publikasi ini akan menjadi perhatian pasar karena menjadi indikator penting bagi stabilitas eksternal Indonesia.

Secara Historis, transaksi berjalan pada kuartal II biasanya mencatat defisit tajam karena ada pembayaran dividen.

Pada kuartal sebelumnya, transaksi berjalan mencatat defisit sebesar US$200 juta atau setara 0,1% dari PDB. Angka tersebut menurun dibandingkan defisit US$1,1 miliar atau 0,3% dari PDB pada kuartal IV-2024, sekaligus jauh lebih rendah dibandingkan kuartal I-2024 yang tercatat defisit US$2,2 miliar (0,6% PDB).

Sementara itu, Investasi lainnya mencatat defisit dipengaruhi oleh penurunan penarikan pinjaman pemerintah dan swasta serta peningkatan investasi swasta pada beberapa instrumen finansial luar negeri.

Di sisi lain, defisit neraca jasa meningkat dipengaruhi penurunan surplus jasa perjalanan (travel) sejalan dengan penurunan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia. Defisit neraca pendapatan primer juga meningkat dipengaruhi oleh kenaikan pembayaran imbal hasil investasi portofolio.

Lalu, neraca perdagangan barang tercatat tetap surplus. Bahkan surplus meningkat, terutama disumbang oleh kenaikan surplus neraca perdagangan nonmigas. Ekspor nonmigas menurun sejalan dengan perlambatan ekonomi global dan harga komoditas.

Dengan kondisi tersebut, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal I-2025 mencatat defisit US$800 juta. 

BI memperkirakan secara keseluruhan NPI pada 2025 tetap baik ditopang defisit transaksi berjalan yang rendah dalam kisaran defisit 0,5% sampai dengan 1,3% dari PDB dan surplus transaksi modal dan finansial yang berlanjut, di tengah ketidakpastian global yang masih tinggi.

China Pertahankan Suku Bunga

Bank Sentral China (PBOC), kembali mempertahankan suku bunga pinjaman acuannya (loan prime rate/LPR) pada Rabu (20/8/2025). Keputusan ini sesuai ekspektasi pasar, di tengah sinyal bahwa Beijing lebih memilih mengandalkan stimulus fiskal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi ketimbang pelonggaran moneter lebih lanjut.

PBOC menahan LPR tenor satu tahun di level 3,0% dan LPR tenor lima tahun di 3,5%, yang menjadi acuan suku bunga kredit perumahan. Keduanya masih berada di level terendah sepanjang sejarah setelah serangkaian pemangkasan dalam tiga tahun terakhir. "China secara bertahap menurunkan LPR dalam beberapa tahun terakhir, tetapi dampaknya terhadap pemulihan ekonomi masih terbatas," tulis laporan resmi PBOC.

Meski LPR berada di rekor terendah, perekonomian China belum menunjukkan pemulihan signifikan. Inflasi masih cenderung rendah (disinflasi) dan pasar properti terus melemah. Namun, analis menilai peluang pemangkasan tambahan pada tahun ini semakin kecil, seiring meredanya tekanan perdagangan setelah AS dan China sepakat memperpanjang gencatan tarif selama tiga bulan.

Ke depan, pasar memperkirakan PBOC akan tetap menahan suku bunga di level saat ini, sembari Beijing lebih agresif menggelontorkan stimulus fiskal untuk menopang pertumbuhan. "Kebijakan fiskal kemungkinan akan memainkan peran yang lebih besar, sementara pelonggaran moneter tetap ditahan di level terendah sepanjang masa," ujar seorang analis yang dikutip Reuters.

Inflasi Inggris

Inflasi Inggris kembali melampaui ekspektasi pasar. Office for National Statistics (ONS) melaporkan inflasi indeks harga konsumen (CPI) pada Juli 2025 naik ke 3,8% (year-on-year/yoy), lebih tinggi dari proyeksi sebesar 3,7% dan melanjutkan tren kenaikan dari 3,6% pada periode Juni. Inflasi inti juga naik ke 3,8% (yoy), sementara inflasi jasa melonjak ke 5% dari 4,7% bulan sebelumnya.

Kepala Ekonom ONS, Grant Fitzner, menjelaskan lonjakan tarif penerbangan menjadi pendorong utama. "Kenaikan tajam biaya tiket pesawat merupakan yang terbesar sejak 2001, kemungkinan dipengaruhi oleh waktu libur sekolah tahun ini," ujarnya dikutip dari CNBC International.

Ia menambahkan harga bensin, diesel, serta makanan seperti kopi, jus jeruk segar, daging, dan cokelat turut mendorong inflasi.

Menteri Keuangan Inggris Rachel Reeves menegaskan pemerintahnya tetap fokus menstabilkan ekonomi.

"Kami sudah jauh dari inflasi dua digit yang terjadi di bawah pemerintahan sebelumnya, tetapi masih banyak yang perlu dilakukan untuk meringankan biaya hidup," katanya dalam pernyataan tertulis.

Kenaikan inflasi ini memperkecil peluang Bank of England (BoE) melakukan pemangkasan suku bunga tambahan tahun ini, seiring meningkatnya tekanan dari biaya energi, pangan, dan sektor jasa.

Jepang Cetak Rekor Defisit Neraca Dagang

Jepang mencatat kejutan dengan kembali membukukan defisit neraca dagang sebesar JPY 117,5 miliar setara US$800 juta pada Juli 2025 . Data pemerintah yang dikutip dari investing.com, menunjukkan angka ini berbanding terbalik dengan ekspektasi surplus JPY 196,2 miliar, sekaligus memutus tren surplus pada Juni yang sebesar JPY 152,1 miliar.

Pelemahan ekspor menjadi faktor utama. Ekspor Jepang turun 2,6% secara tahunan, lebih dalam dari perkiraan penurunan 2,1%. Ini merupakan kontraksi bulan ketiga berturut-turut, terutama akibat tarif baru Amerika Serikat yang menekan sektor otomotif dan baja dua komoditas unggulan Jepang.

Kondisi makin diperparah oleh permintaan yang melambat dari China sebagai mitra dagang terbesar Jepang di luar AS. Konsumsi dan aktivitas manufaktur di Negeri Tirai Bambu tersebut ikut melemah seiring dampak lanjutan dari kebijakan tarif AS yang memicu perlambatan ekonomi.

Sementara itu, impor Jepang anjlok 7,5% yoy setelah sempat tumbuh tipis 0,3% pada Juni 2025. Meski kontraksi impor lebih ringan dari prediksi penurunan 10,4%, hal ini menunjukkan pelemahan permintaan domestik yang cukup signifikan.

Kondisi ini menambah tekanan bagi pemerintah Jepang yang tengah berupaya menjaga momentum pemulihan ekonomi di tengah gejolak perdagangan global dan ketidakpastian kebijakan AS di bawah Presiden Donald Trump.

Risalah Rapat FOMC

Risalah menunjukkan adanya perbedaan pandangan di antara para bankir sentral. Keputusan untuk menahan suku bunga acuan di 4,25-4,50% tetap tidak berubah diambil meski ditentang oleh dua gubernur Fed yang justru menginginkan pemangkasan.

"Para peserta umumnya menyoroti adanya risiko di kedua sisi mandat ganda Komite, dengan menekankan risiko kenaikan inflasi di satu sisi dan risiko pelemahan ketenagakerjaan di sisi lain," tulis risalah tersebut.

Pejabat The Fed dalam rapat Juli mengungkapkan kekhawatiran tentang kondisi pasar tenaga kerja dan inflasi, meski sebagian besar sepakat bahwa terlalu dini untuk menurunkan suku bunga, menurut risalah yang dirilis Rabu.

Ringkasan rapat itu menunjukkan adanya perbedaan opini, di mana keputusan untuk menahan suku bunga tetap diambil meski ada keberatan dari dua gubernur Fed yang mendorong agar pemangkasan segera dilakukan.

Para pembuat kebijakan juga mencatat meningkatnya ancaman terhadap perekonomian yang perlu dipantau, meski mayoritas setuju bahwa sikap kebijakan saat ini masih tepat.

"Para peserta umumnya menyoroti adanya risiko di kedua sisi mandat ganda Komite, menekankan risiko kenaikan inflasi dan risiko penurunan lapangan kerja," demikian tertulis dalam risalah.

Sementara mayoritas menilai risiko kenaikan inflasi lebih besar ada beberapa yang melihat bahwa risiko penurunan lapangan kerja lebih signifikan.

Gubernur Christopher Waller dan Michelle Bowman menolak keputusan untuk menahan suku bunga dan justru ingin FOMC mulai memangkas suku bunga acuan. Fed funds rate, yang mengatur biaya pinjaman antarbank semalam namun juga menjadi acuan bagi berbagai suku bunga konsumen, telah ditargetkan di kisaran 4,25%-4,5% sejak Desember.

Ini adalah pertama kalinya dalam lebih dari 30 tahun ada lebih dari satu gubernur yang menyatakan dissenting vote terhadap keputusan suku bunga.

Tarif bea impor Presiden Donald Trump juga menjadi bagian penting dalam diskusi.

"Untuk risiko kenaikan inflasi, para peserta menunjuk pada efek tarif yang masih belum pasti serta kemungkinan ekspektasi inflasi bisa terlepas dari jangkar," tulis risalah. Dokumen itu juga mencatat "ketidakpastian yang besar terkait waktu, besaran, dan ketahanan dampak dari kenaikan tarif tahun ini."

Dalam latar belakang politik yang semakin panas, rapat tersebut memperlihatkan pejabat Fed dengan opini yang bervariasi mengenai arah ekonomi dan kebijakan. Penilaian staf menunjukkan pertumbuhan ekonomi "lesu" pada paruh pertama tahun ini, meski tingkat pengangguran tetap rendah.

Beberapa peserta menyatakan ketidakpastian atas dampak tarif terhadap inflasi, sementara yang lain khawatir kondisi ketenagakerjaan mulai rapuh dan membutuhkan dorongan kebijakan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.

"Para peserta mencatat bahwa Komite mungkin akan menghadapi dilema sulit jika inflasi tinggi terbukti lebih persisten sementara prospek pasar tenaga kerja melemah," tulis ringkasan itu. Keputusan suku bunga akan bergantung pada "jarak masing-masing variabel dari target Komite serta horizon waktu yang berbeda di mana kesenjangan itu diperkirakan bisa ditutup."

Risalah tersebut dirilis dua hari sebelum acara utama pekan ini yakni pidato Ketua Fed Jerome Powell pada Jumat pagi di simposium tahunan bank sentral di Jackson Hole, Wyoming.

Powell diperkirakan akan menggunakan pidato itu untuk memberikan sinyal arah kebijakan suku bunga dalam jangka pendek sekaligus pandangan jangka panjang mengenai kebijakan moneter.

Trump sendiri terus memberikan tekanan politik keras agar Fed menurunkan suku bunga. Presiden bahkan mencerca Powell dengan sebutan "bodoh", "pecundang," dan hinaan lain, serta mengkritik Dewan Gubernur.

Berdasarkan alat FedWatch milik CME, kontrak berjangka Fed funds saat ini memperkirakan lebih dari 80% kemungkinan bank sentral memangkas suku bunga pada pertemuan kebijakan berikutnya di bulan September.

(evw/evw)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular