Newsletter

Siaga Satu: RI Tunggu BI, Dunia Cemas Menanti Simposium "Maut" The Fed

Elvan Widyatama, CNBC Indonesia
19 August 2025 06:20
Layar menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta.
Foto: Layar menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (15/8/2025). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Pasar keuangan Indonesia kembali dibuka hari ini, Selasa (19/8/2025), setelah libur panjang akhir pekan dalam rangka cuti bersama memperingati HUT ke-80 Republik Indonesia.

Pekan ini akan menjadi periode penuh agenda penting bagi pelaku pasar, dengan sejumlah rilis kebijakan dan data ekonomi dari dalam negeri maupun global. Dari domestik, perhatian utama tertuju pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia yang akan menentukan arah suku bunga.

Sementara itu, pasar global menantikan keputusan rapat FOMC, kebijakan suku bunga China, hingga pidato penting Jerome Powell di Jackson Hole yang diyakini bisa menjadi katalis besar pergerakan pasar.

Berikut rincian beberapa sentimen yang akan mempengaruhi gerak IHSG- Rupiah pekan ini:

Suku Bunga Bank Indonesia

Bank Indonesia (BI) akan mengumumkan kebijakan suku bunga RI pada Rabu (20/8/2025). BI diperkirakan akan menahan suku bunag setelah memangkasnya pada pertemuan terakhir.

Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia terakhir yakni pada 15-16 Juli 2025, BI memutuskan untuk memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 5,25%. Suku bunga Deposit Facility turun menjadi 4,5% dan suku bunga Lending Facility turun menjadi 6,0%.

Hal tersebut sekaligus mencatatkan pemangkasan suku bunga ketiga dalam tahun ini.

Ke depan, Bank Indonesia akan terus mencermati ruang penurunan BI-Rate guna mendorong pertumbuhan ekonomi, dengan tetap mempertahankan inflasi sesuai dengan sasarannya dan stabilitas nilai tukar sesuai dengan fundamentalnya.

Sementara itu, kebijakan makroprudensial akomodatif terus dioptimalkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, dengan berbagai strategi untuk mendorong pertumbuhan kredit dan meningkatkan fleksibilitas pengelolaan likuiditas oleh perbankan.

Kebijakan sistem pembayaran juga diarahkan untuk turut menopang pertumbuhan ekonomi melalui perluasan akseptasi pembayaran digital, serta penguatan infrastruktur dan konsolidasi struktur industri sistem pembayaran.

Kebijakan Suku Bunga China

Bank Rakyat China (PBoC) dijadwalkan mengumumkan kebijakan suku bunga periode Agustus 2025 pada Rabu (20/8/2025). Pasar menanti langkah otoritas moneter Beijing di tengah melambatnya konsumsi domestik dan pertumbuhan ekonomi yang mulai kehilangan momentum.

Pada keputusan sebelumnya, PBoC memilih menahan suku bunga pinjaman acuan (Loan Prime Rate/LPR) tetap di level 3,0% untuk tenor 1 tahun dan 3,5% untuk tenor 5 tahun. LPR satu tahun biasanya memengaruhi pinjaman korporasi dan sebagian besar kredit rumah tangga, sementara LPR lima tahun menjadi acuan utama suku bunga hipotek.

Langkah ini diambil setelah data menunjukkan pertumbuhan ekonomi Tiongkok pada kuartal II-2025 mencapai 5,2% secara tahunan (yoy), lebih rendah dibanding kuartal I yang tumbuh 5,4%, tetapi masih melampaui ekspektasi konsensus sebesar 5,1%.

Penjualan ritel juga mencatat perlambatan, hanya naik 4,8% (yoy) di Juni, turun dari 6,4% di bulan sebelumnya dan lebih rendah dari perkiraan 5,4%.

Pasar valuta asing merespons tenang, dengan yuan lepas pantai stabil di kisaran 7,179 per dolar AS. Menurut Frederic Neumann, Kepala Ekonom Asia HSBC, PBoC tampaknya belum melihat urgensi untuk memangkas suku bunga, mengingat pertumbuhan PDB masih berada di atas target. Ia menambahkan, ruang pelonggaran moneter juga terbatas karena suku bunga sudah relatif rendah, sehingga stimulus fiskal dianggap lebih efektif.

Meski begitu, peluang penurunan suku bunga tetap terbuka jika tekanan deflasi berlanjut atau dampak tarif AS terhadap ekspor Tiongkok semakin nyata dalam beberapa bulan ke depan.


Risalah Rapat FOMC

Pasar global pekan ini juga menantikan hasil risalah rapat Federal Open Market Committee (FOMC) atau yang dikenal FOMC iMniutes yang akan keluar pada Kamis (21/8/2025) dini hari waktu Indonesia. Risalah ini akan membeberkan secara detail rapat pandangan anggota The Fed pada rapat FOMC 31 Juli yang lalu.
Risalah ini diharapkan bisa memberi gambaran lebih jelas mengenai arah The Fed ke depan.

Selain FOMC, pasar juga akan disibukkan dengan rilis laporan keuangan dari sejumlah ritel besar AS seperti Walmart, Target, Home Depot, Lowe's, dan Ross Stores. Hasil kinerja perusahaan-perusahaan ini akan menjadi barometer penting bagi kondisi konsumsi domestik, khususnya di tengah kekhawatiran inflasi akibat tarif dan penurunan sentimen konsumen.

Faktor lain yang turut diperhatikan adalah data pasar perumahan, risalah rapat The Fed, serta laporan klaim pengangguran mingguan. Semua indikator tersebut berpotensi menjadi katalis pergerakan pasar keuangan sepanjang pekan ini.


Transaksi Berjalan

Bank Indonesia (BI) dijadwalkan merilis data transaksi berjalan kuartal II-2025 pada Jumat (22/8/2025). Publikasi ini akan menjadi perhatian pasar karena menjadi indikator penting stabilitas eksternal Indonesia.

Pada kuartal sebelumnya, transaksi berjalan mencatat defisit sebesar US$200 juta atau setara 0,1% dari PDB. Angka tersebut menurun dibandingkan defisit US$1,1 miliar (0,3% PDB) pada kuartal IV-2024, sekaligus jauh lebih rendah dibandingkan kuartal I-2024 yang tercatat defisit US$2,2 miliar (0,6% PDB).

BI menilai defisit transaksi berjalan masih berada pada level rendah meski terjadi perlambatan ekonomi global. Sementara itu, transaksi modal dan finansial pada kuartal I-2025 mencatat defisit US$300 juta, namun tetap dinilai terkendali di tengah tingginya ketidakpastian pasar keuangan global.

Dengan kondisi tersebut, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal I-2025 mencatat defisit US$800 juta. Meski demikian, cadangan devisa Indonesia tetap kuat, mencapai US$157,1 miliar pada akhir Maret 2025. Jumlah ini setara dengan pembiayaan 6,5 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, jauh di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.



Uang Beredar RI

Bank Indonesia (BI) dijadwalkan akan merilis data uang beredar (M2) periode Juli 2025 pada akhir pekan ini. Data tersebut akan menjadi perhatian pelaku pasar untuk melihat arah likuiditas perekonomian di tengah dinamika global dan kebijakan moneter domestik.

Pada periode sebelumnya, likuiditas perekonomian atau uang beredar dalam arti luas (M2) tercatat tumbuh 6,5% (yoy) pada Juni 2025, lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan Mei 2025 yang sebesar 4,9% (yoy). Dengan demikian, total M2 mencapai Rp9.597,7 triliun.

Kenaikan ini terutama ditopang oleh pertumbuhan uang beredar sempit (M1) sebesar 8,0% (yoy) serta uang kuasi yang meningkat 4,7% (yoy). Dari sisi pendorong, perkembangan M2 dipengaruhi oleh penyaluran kredit yang tumbuh 7,6% (yoy), meskipun lebih rendah dari bulan sebelumnya sebesar 8,1% (yoy). Selain itu, aktiva luar negeri bersih juga tumbuh 3,9%, relatif stabil dibandingkan Mei 2025.

Sementara itu, tagihan bersih kepada Pemerintah Pusat (Pempus) masih mengalami kontraksi, yakni turun 8,2% (yoy) pada Juni 2025, setelah sebelumnya terkontraksi lebih dalam hingga 25,7% (yoy) pada Mei 2025.

Pasar Menanti Sinyal Besar Powell di Jackson Hole

Perhatian pasar global pekan ini akan tertuju ke Jackson Hole Economic Symposium yang digelar di Wyoming, Amerika Serikat pada Jumat (22/8/2025). 

Acara tahunan yang diselenggarakan oleh The Kansas City Fed di Jackson Lake Lodge, Grand Teton National Park, ini  menjadi ajang penting bagi bank sentral AS untuk memberikan sinyal arah kebijakan moneter.

Simposium ini kerap identik dengan "maut"" karena bisa mengubah arah pasar secara drastis. Salah satunya adalah pada 2022 di mana simposium itu menjadi momen dramatis di pasar keuangan global. Saat itu, pidato Jerome Powell (Ketua The Fed) benar-benar bikin pasar "berdarah" karena lebih hawkish dari ekspektasi.

Pada 26 Agustus, pidato Powell hanya 8 menit, tapi efeknya luar biasa. Dia menegaskan The Fed akan terus menaikkan suku bunga lebih tinggi dan lebih lama ("higher for longer") demi menekan inflasi, meskipun berisiko melemahkan ekonomi.

Dampaknya  Dow Jones anjlok lebih dari 1.000 poin dalam satu hari, S&P 500 turun hampir 3,4%, dan Nasdaq jatuh lebih dari 4%. Dalam beberapa hari setelahnya, nilai pasar ekuitas global menguap lebih dari US$ 2 triliun (sekitar Rp30 ribu triliun).

Powell kembali menjadi sorotan utama tahun ini pada Jumat mendatang. Pidatonya diperkirakan menjadi pernyataan terpenting sepanjang 2025, bahkan kemungkinan besar menjadi pidato terakhirnya sebagai pimpinan The Fed. Setiap kata Powell dinantikan investor, karena dapat memberikan petunjuk mengenai kecepatan dan kedalaman siklus pemangkasan suku bunga yang akan ditempuh bank sentral AS.

Menjelang pidato tersebut, pasar menilai peluang The Fed menurunkan suku bunga sebesar 25 basis poin pada bulan depan mencapai sekitar 85%. Dengan bobotnya yang besar, arah kebijakan Powell di Jackson Hole diperkirakan menjadi katalis utama yang menggerakkan pasar keuangan global sepanjang pekan ini, termasuk pasar Indonesia.

Powell berada dalam tekanan besar untuk segera memangkas suku bunga guna meredakan perlambatan ekonomi. Namun, data ekonomi terbaru yang masih menunjukkan ketidakpastian menempatkan bank sentral AS pada posisi sulit. Investor kini menimbang apakah The Fed akan tetap berhati-hati atau memberi sinyal lebih jelas soal siklus pemangkasan suku bunga.

(evw/evw)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular