80 Tahun Indonesia Merdeka

Produksi Padi Sepanjang Sejarah: Berapa Juta Ton Era Soeharto-Prabowo?

Emanuella Bungasmara Ega Tirta, CNBC Indonesia
14 August 2025 14:20
Padi siap panen. (Dok. Kementan)
Foto: Padi siap panen. (Dok. Kementan)

Jakarta, CNBC Indonesia- Perjalanan produksi padi Indonesia dalam empat dekade terakhir mencerminkan dinamika besar sektor pertanian nasional: kemajuan teknologi, program swasembada, hingga tantangan perubahan iklim.

Data gabungan Kementerian Pertanian (1980-2019) dan Badan Pusat Statistik (2020-2024) menunjukkan tren yang semula terus menanjak, namun mulai stagnan, bahkan menurun di era terkini. Dinamika terus berubah dari era Presiden Soeharto hingga Prabowo Subianto.

Pada awal 1980-an, program intensifikasi pertanian yang dikenal dengan Revolusi Hijau mendorong lonjakan signifikan. Produksi padi nasional tahun 1980 masih berada di kisaran 29,65 juta ton gabah kering giling (GKG), namun hanya setahun kemudian melonjak 10,5% menjadi 32,77 juta ton. Tren positif berlanjut di dekade tersebut, dengan laju pertumbuhan yang relatif konsisten.

Tahun 1984 menjadi tonggak sejarah produksi mencapai 37,46 juta ton, mengantarkan Indonesia pada predikat swasembada beras pertama kali di era Orde Baru.

 

Memasuki 1990-an, tren pertumbuhan produksi mulai lebih moderat. Periode ini masih diwarnai peningkatan produktivitas berkat perluasan irigasi dan varietas unggul, namun variabilitas cuaca dan gejolak ekonomi 1997-1998 membuat produksi cenderung berfluktuasi.

Pada 1998, produksi sempat turun menjadi 49,20 juta ton dari puncak 51,04 juta ton di 1996, seiring musim kemarau panjang akibat El Niño yang memukul panen.



Awal 2000-an memberi napas baru. Produksi bergerak dari 51,98 juta ton pada 2000 ke 60,32 juta ton pada 2008, didorong program Revitalisasi Pertanian dan subsidi input. Puncak tertinggi terjadi pada 2017 dengan 81,15 juta ton-hasil dari kombinasi luas panen besar, curah hujan mendukung, serta dorongan mekanisasi. Namun capaian ini tidak berkelanjutan.

Tahun 2018 menjadi titik balik. Implementasi metode Kerangka Sampel Area (KSA) oleh BPS menghasilkan data yang lebih akurat, sekaligus mengoreksi angka produksi yang selama ini dinilai terlalu tinggi. Produksi 2018 tercatat 59,20 juta ton-turun tajam dari klaim tahun sebelumnya.

Koreksi ini memperlihatkan realitas kapasitas produksi yang lebih moderat dan rawan tekanan cuaca.

Lima tahun terakhir menunjukkan tren stagnasi, bahkan penurunan. Produksi 2019 sebesar 55,60 juta ton terus turun hingga 53,14 juta ton pada 2024. Dalam setahun terakhir saja, produksi susut 1,55% atau setara 838 ribu ton GKG. Laporan BPS menyebut penyebabnya adalah berkurangnya luas panen sebesar 167,57 ribu hektare (-1,64%), di tengah pola curah hujan yang bergeser dan meningkatnya intensitas banjir serta kekeringan.

Dari sisi distribusi wilayah, tiga provinsi besar Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat tetap menjadi penyangga utama produksi.

Namun ketiganya justru mencatat penurunan luas panen terbesar pada 2024, dengan akumulasi kehilangan lahan lebih dari 194 ribu hektare dibanding tahun sebelumnya. Kondisi ini memicu kekhawatiran, mengingat kontribusi ketiganya terhadap pasokan nasional mencapai lebih dari 30%.

Jika dibandingkan proyeksi Kementerian Pertanian pada 2020, capaian produksi 2024 jauh di bawah target optimistis yang memprediksi kisaran 55,7-57,3 juta ton. Hal ini menandakan bahwa ancaman perubahan iklim, alih fungsi lahan, dan inefisiensi distribusi input mulai menekan kapasitas riil produksi nasional.

 Tanpa langkah strategis, risiko defisit beras semakin nyata, mengingat konsumsi per kapita yang masih stabil di kisaran 111,58 kg/tahun. Dengan populasi 280 juta jiwa, kebutuhan beras nasional per tahun mencapai lebih dari 31 juta ton separuh lebih dari total produksi GKG setelah dikonversi.

CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]

(emb/emb)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation