
Prabowo Pamer Swasembada Beras di PBB, Begini Faktanya!

Jakarta, CNBC Indonesia- Presiden Prabowo Subianto memanfaatkan panggung Sidang Umum PBB ke-80 untuk memamerkan capaian swasembada pangan Indonesia. Ia menegaskan bahwa Indonesia telah mencatat produksi beras dan cadangan pangan tertinggi sepanjang sejarah, bahkan mengekspor ke sejumlah negara termasuk Palestina.
Klaim ini menandai optimisme baru, bahwa Indonesia bisa bertransformasi dari negara pengimpor beras menjadi calon lumbung pangan dunia. Namun, bagaimana fakta produksi padi kita dalam perjalanan panjang sejarah?
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, produksi padi Indonesia pernah mengalami lonjakan signifikan pada era Revolusi Hijau 1980-an.
Dari hanya 29,65 juta ton pada 1980, produksi melonjak menjadi 37,46 juta ton pada 1984 capaian yang mengantarkan Indonesia pertama kali swasembada beras di era Presiden Soeharto. Tren meningkat terus hingga menembus puncak tertinggi sepanjang sejarah pada 2017 sebesar 81,15 juta ton.
Namun, koreksi metodologi BPS melalui Kerangka Sampel Area (KSA) pada 2018 membuat angka riil terlihat jauh lebih moderat, hanya 59,20 juta ton.
Dalam lima tahun terakhir, tren justru mengarah turun. Produksi padi yang sempat 55,60 juta ton pada 2019 terus merosot menjadi 53,14 juta ton pada 2024. Penurunan ini tidak lepas dari faktor alih fungsi lahan sekitar 167 ribu hektare hilang serta dampak perubahan iklim, termasuk El Niño yang memicu kekeringan panjang.
Artinya, meski Prabowo menyebut rekor produksi, di lapangan tantangan struktural masih nyata.
Meski begitu, stok nasional pada 2025 tercatat lebih dari 4 juta ton - level tertinggi dalam sejarah sehingga memberi ruang bagi pemerintah untuk mengekspor sebagian hasil ke luar negeri.
Di sisi pasar, harga beras dunia belakangan cenderung turun akibat pasokan melimpah di negara produsen utama seperti India dan Thailand.
Indonesia pun berada pada posisi yang menarik: di satu sisi menghadapi tantangan iklim dan kebutuhan menjaga produksi, di sisi lain memiliki cadangan cukup besar untuk menjaga stabilitas dalam negeri sekaligus berkontribusi pada perdagangan internasional.
Struktur industri beras di dalam negeri juga tengah mengalami perubahan. Kasus beras oplosan pada 2025 menyoroti perlunya tata kelola lebih transparan dan pengawasan lebih ketat.
Di balik itu muncul peluang baru: pergeseran belanja masyarakat ke pasar tradisional yang lebih dekat dengan petani dan penggilingan kecil. Dengan 95% penggilingan padi di Indonesia adalah skala kecil, penguatan rantai pasok lokal bisa menjadi kunci pemerataan manfaat.\
Pidato Prabowo di PBB menekankan investasi pada pertanian cerdas iklim dan rantai pasok yang tangguh.
Agenda ini krusial untuk memastikan bahwa capaian swasembada tidak hanya menjadi momen sesaat, melainkan fondasi bagi ketahanan pangan jangka panjang. Dengan demikian, Indonesia dapat menjaga stabilitas harga dalam negeri sekaligus meningkatkan peran di pasar global.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)