
Dunia Gentar Karena Satu Bendungan di China: Baja & Besi Jadi Korban

Jakarta, CNBC Indonesia- China resmi memulai pembangunan bendungan tenaga air terbesar di dunia di Sungai Yarlung Zangbo, Tibet. Proyek senilai sedikitnya US$170 miliar ini digadang-gadang akan melampaui Bendungan Tiga Ngarai di Sungai Yangtze dan menjadi yang terbesar di dunia.
Infrastruktur strategis ini membutuhkan volume material konstruksi yang masif, terutama besi dan baja sehingga dampaknya terasa hingga ke bursa komoditas global.
Pembangunan dam diperkirakan akan membutuhkan berbagai jenis baja dan besi, di antaranya:
- Baja struktural, digunakan untuk rangka utama, dinding penahan, dan elemen konstruksi lainnya.
- Baja tulangan (rebar), dalam volume besar, dipakai untuk memperkuat struktur beton yang menjadi fondasi utama bendungan.
- Plat baja tebal dan pelat khusus, digunakan untuk konstruksi pipa air raksasa, pintu air, dan saluran utama air bendungan.
- Komponen mekanik dan hidroelektrik, termasuk baja tahan karat untuk sistem turbin dan jaringan saluran air tenaga air (hydropower).
Ketika kebutuhan baja di dalam negeri China naik, ekspor baja dari China cenderung menurun. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran di negara-negara importir utama seperti Indonesia, India, dan Afrika, yang selama ini bergantung pada baja murah dari China.
Dengan pasokan berkurang, harga melonjak dan negara-negara tersebut terpaksa mencari alternatif dari pemasok lain seperti Jepang, Korea Selatan, atau India, yang biayanya bisa lebih tinggi.
![]() Foto udara menunjukkan pemandangan Bendungan Tiga Ngarai di Kabupaten Zigui, Kota Yichang, Provinsi Hubei, China tengah. (Dok. Zheng Jiayu/Xinhua via The State Council Information Office The Peoples Republic of China) |
Pembangunan dam tersebut langsung memicu pergerakan signifikan di pasar modal dan harga komoditas, terutama yang terkait dengan konstruksi.
Begitu pengumuman pembangunan disampaikan, indeks konstruksi di bursa Shanghai melonjak ke level tertinggi dalam tujuh bulan.
Saham perusahaan penyedia peralatan terowongan, semen, hingga bahan peledak sipil mencapai batas kenaikan harian. Analis menilai proyek ini membawa sentimen positif sebagai stimulus ekonomi baru di tengah lemahnya permintaan properti.
Dampaknya terasa hingga pasar global.
Harga bijih besi di Singapura menembus US$104 per ton, level tertinggi dalam lima bulan. Kontrak berjangka baja tulangan di Shanghai menguat, disusul reli tembaga dan logam industri lain di London Metal Exchange.
Harga bijih besi (iron ore) dan rebar di bursa seperti Dalian Commodity Exchange atau SGX ikut terdorong naik. Dalam kasus pembangunan bendungan besar, harga iron ore bisa naik lebih dari 5% hanya dalam waktu satu minggu, karena ekspektasi lonjakan permintaan dari China.
Kenaikan ini mencerminkan ekspektasi permintaan tambahan untuk baja, semen, dan material konstruksi yang dibutuhkan pada lima bendungan kaskade yang menjadi inti megaproyek tersebut.
Kenaikan harga ini juga memutus tren pelemahan panjang di pasar baja. Sejak awal tahun, industri baja China mengalami tekanan akibat krisis properti yang menekan permintaan.
Pabrik-pabrik baja sempat memangkas produksi karena kelebihan kapasitas dan margin yang tertekan. Proyek bendungan ini memberikan harapan baru, karena akan memacu permintaan baja struktural dalam jumlah besar untuk pembangunan bendungan, terowongan, jaringan listrik, hingga infrastruktur pendukung.
Selain untuk kebutuhan domestik, lonjakan harga bijih besi juga berpotensi mengubah pola impor China. Negara ini selama ini menjadi pembeli utama bijih besi dari Australia dan Brasil.
Dengan adanya proyek konstruksi skala raksasa, volume pembelian dapat meningkat, sehingga memperketat pasokan global. Dampaknya, produsen bijih besi besar seperti BHP dan Vale bisa menikmati kenaikan pendapatan, sementara negara pengekspor lain ikut merasakan imbas harga yang lebih tinggi.
Bagi baja tulangan dan produk hilir lainnya, prospek jangka pendek terlihat lebih positif. Harga rebar di Shanghai sudah menyentuh level tertinggi sejak Maret, dan analis memperkirakan tren ini dapat berlanjut selama proyek berjalan.
Selain bendungan, pemerintah China juga masih mendorong proyek infrastruktur lain untuk menahan perlambatan ekonomi. Kombinasi permintaan baru ini membuat pasar baja mulai melihat peluang pemulihan margin setelah berbulan-bulan tertekan oleh overkapasitas dan kompetisi harga yang agresif.
Meski mendapat sambutan positif dari pasar, proyek ini menuai sorotan dari negara tetangga. India dan Bangladesh, yang bergantung pada aliran Sungai Brahmaputra di hilir, khawatir pembangunan bendungan akan memengaruhi pasokan air bagi jutaan penduduk.
Lembaga swadaya masyarakat juga memperingatkan potensi kerusakan ekosistem di dataran tinggi Tibet, kawasan dengan keanekaragaman hayati yang rapuh.
Pemerintah Beijing menegaskan pembangunan akan dilakukan dengan standar konservasi ketat dan tidak akan mengganggu aliran air di hilir. Bendungan ini diproyeksikan mulai beroperasi pada 2030-an dan akan menghasilkan sekitar 300 miliar kilowatt-jam listrik per tahun, setara dengan konsumsi energi Inggris selama setahun.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
