
Bendungan Terbesar Abad Ini, China vs India Bisa Perang Rebutan Air

Jakarta, CNBC Indonesia- China resmi memulai pembangunan bendungan tenaga air terbesar di dunia di Sungai Yarlung Tsangpo, Tibet. Proyek senilai sekitar US$167 miliar ini dijuluki "proyek abad ini" oleh Perdana Menteri Li Qiang karena mampu menghasilkan 300 miliar kWh listrik per tahun tiga kali lebih besar dari Bendungan Tiga Ngarai di Sungai Yangtze.
Namun ternyata, ambisi energi bersih Beijing ini menimbulkan ketegangan geopolitik baru. India, negara yang alirannya bergantung pada sungai yang sama, khawatir China dapat mengendalikan pasokan air Brahmaputra, yang vital bagi jutaan orang di timur laut India.
India Takut "Senjata Air"
Sungai Brahmaputra yang di Tibet disebut Yarlung Tsangpo adalah jalur air penting yang mengalir dari gletser Angsi, melintasi Himalaya, hingga ke India dan Bangladesh. Bendungan raksasa ini dibangun tepat di wilayah ngarai terdalam di dunia disebut tiga kali lebih dalam dari Grand Canyon di Amerika Serikat.
Politisi India, terutama di negara bagian Arunachal Pradesh yang berbatasan langsung dengan Tibet, menyebut proyek ini sebagai "ancaman besar". Mereka khawatir China dapat menahan aliran air pada musim kering atau justru melepas "bom air" saat konflik militer, memicu banjir besar di India.
Sejumlah pakar geopolitik bahkan menyebut langkah ini memberi China "cengkeraman pada ekonomi India" jika ketegangan kedua negara meningkat. Potensi ini mengingatkan pada sengketa lama antara India dan Pakistan terkait Sungai Indus, yang beberapa kali memicu krisis politik dan militer.
![]() The approximate site of the planned dam project. Yale Environment 360 |
Dari Energi Bersih ke Krisis Regional
Secara teknis, bendungan ini mencakup lima stasiun listrik berantai yang memanfaatkan penurunan ketinggian sungai hingga 2.000 meter dalam jarak 50 km. Air akan dialirkan melalui terowongan sepanjang 12 mil ke turbin di dasar ngarai, lalu kembali dilepas ke sungai dekat perbatasan India.
China mengklaim proyek ini aman, tak akan menahan volume air besar, dan justru mampu mengurangi risiko banjir di hilir. Namun ilmuwan India memperingatkan dampak lain, perubahan pola aliran musiman. Volume air di musim kemarau bisa menyusut drastis, sedangkan pada musim hujan bisa terjadi pelepasan air mendadak yang memperparah banjir.
Selain itu, bendungan ini berpotensi mengganggu sedimentasi alami sungai. Saat ini, 45% sedimen Brahmaputra berasal dari erosi ngarai Tibet. Jika aliran melewati terowongan, pasokan sedimen ke dataran rendah India dan delta Bangladesh akan berkurang, mempercepat erosi pantai dan meningkatkan kerentanan terhadap kenaikan permukaan laut.
Melansir dari Yale Environment 360 Secara geologis, lokasi bendungan berada di zona tumbukan dua lempeng tektonik aktif.
Wilayah ini pernah diguncang gempa darat terkuat dalam sejarah, yakni gempa Assam-Tibet berkekuatan 8,6 pada 1950, hanya 300 mil dari lokasi proyek. Pakar geomorfologi memperingatkan, kombinasi bendungan raksasa dan aktivitas seismik bisa meningkatkan risiko bencana jika struktur gagal menahan tekanan air.
Dari sisi hidrologi, pengalihan aliran sungai melalui terowongan berpotensi mengubah dinamika transportasi sedimen dan nutrien yang selama ini menopang ekosistem delta Brahmaputra.
![]() Sungai Brahmaputra |
Penurunan suplai sedimen dapat mempercepat abrasi pesisir dan merusak keseimbangan ekologis di delta terluas dunia, yang sudah rentan akibat kenaikan muka laut. Dampak ini bersifat jangka panjang, tapi akan sulit dipulihkan jika terjadi perubahan signifikan pada pola aliran alami.
Tak hanya itu, pembangunan masif di Yarlung Tsangpo Grand Canyon akan mengancam kawasan yang dianggap "bank genetik" Asia.
Dalam radius beberapa kilometer, ngarai ini menampung perubahan elevasi ekstrem hingga 6.000 meter, menciptakan habitat beragam mulai dari hutan hujan tropis hingga padang alpine. Ilmuwan telah mengidentifikasi lebih dari 4.500 spesies tanaman, termasuk pohon tertinggi di Asia, serta keanekaragaman predator kucing terbesar di dunia seperti macan tutul salju dan harimau Bengal. Gangguan konstruksi skala raksasa dikhawatirkan merusak jaringan ekosistem yang unik ini.
India Siapkan Balasan
Sebagai respons, India menghidupkan kembali rencana lama untuk membangun Bendungan Siang Upper Multipurpose Project (SUMP) di Arunachal Pradesh. Dengan kapasitas 11.000 MW, proyek ini akan menjadi bendungan terbesar India. Pemerintah Delhi menyebutnya sebagai langkah strategis untuk "menjaga aliran alami" dan mengantisipasi risiko banjir dari Tibet.
Namun, langkah balasan ini juga menuai kontroversi di dalam negeri. Aktivis lingkungan memperingatkan bendungan India akan menenggelamkan puluhan desa dan menciptakan dampak ekologis setara dengan proyek China.
Tensi Air Asia Selatan Memanas
Pembangunan bendungan raksasa ini muncul di tengah rapuhnya diplomasi air Asia Selatan. India baru saja menangguhkan perjanjian 65 tahun berbagi air Sungai Indus dengan Pakistan. Sementara itu, Perjanjian Air Gangga dengan Bangladesh akan segera berakhir tahun depan di tengah tudingan pelanggaran oleh India.
Kini, ketidakpastian juga menghantui Brahmaputra karena tak ada perjanjian internasional yang mengatur aliran sungai ini. Para analis memperingatkan, melemahnya diplomasi air bisa memperluas konflik di kawasan, dari Himalaya hingga Teluk Benggala.
"Menjadikan air sebagai senjata adalah strategi berbahaya yang bisa berbalik arah," kata Mehebub Sahana, ahli geografi lingkungan di University of Manchester. "Ketegangan ini bukan hanya mengancam kawasan, tapi juga keamanan iklim global."
Alam Tibet Jadi Taruhan
Selain dampak geopolitik, proyek ini juga mengancam ekosistem Yarlung Tsangpo Grand Canyon, salah satu hotspot keanekaragaman hayati terkaya di Asia. Kawasan ini memiliki hutan primer terbesar dan tertinggi di Asia, rumah bagi ribuan spesies, termasuk harimau Bengal, macan tutul salju, dan beruang cokelat Tibet.
China berjanji akan menjaga konservasi saat konstruksi berlangsung. Namun ilmuwan lokal menilai langkah ini mendesak karena aktivitas proyek dalam skala raksasa tak terhindarkan akan mengganggu ekologi kawasan suci bagi masyarakat adat setempat.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)