NEWSLETTER

Awas! "Badai" Baru Datang dari AS Saat RI Pesta Pemangkasan Suku Bunga

Tasya Natalia, CNBC Indonesia
22 May 2025 06:15
BI
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Luthfi Rahman

Perdagangan pasar keuangan Tanah Air pada hari ini diwarnai sentimen positif setelah Bank Indonesia memangkas suku bunga kemarin. Namun, lonjakan imbal hasil US Treasury di AS serta kekhawatiran global mengenai defisit pemerintah bisa menjadi "badai' baru yang menguncang rupiah, saham, hingga SBN,

Pelaku pasar juga masih akan memantau data dari internal terkait neraca transaksi berjalan dan data eksternal, terutama dari AS terkait data penambahan klaim pengangguran secara mingguan.

Berikut rincian sentimen yang mempengaruhi pasar hari ini :

Bank Indonesia Pangkas Suku Bunga

Bank Indonesia (BI) akhirnya memangkas suku bunga acuan atau BI rate sebesar 25 bps menjadi 5,50%. Suku bunga Deposit Facility juga turun menjadi sebesar 4,75% dan suku bunga Lending Facility turun menjadi 6,25%.

Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers, Rabu (21/5/2025) menjelaskan, keputusan tersebut konsisten dengan perkiraan inflasi 2025 dan 2026 yang rendah dan terkendali pada 2,5% plus minus 1%, mempertahankan niali tukar rupiah dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

"BI akan menjaga inflasi dalam sasaran dan nilai tukar rupiah sesuai fundamental mencermati kondisi terkini serta mendorong pertumbuhan ekonomi sesuai dinamika yang terjadi," kata Perry.

Perbankan, kata Perry akan didorong untuk menyalurkan kredit lebih tinggi agar ekonomi mampu tumbuh ke depannya.

Keputusan suku bunga yang diturunkan ini membawa harapan pergerakan pasar keuangan Tanah Air lebih bergairah, karena suku bunga turun bisa memicu likuiditas lebih banyak seiring sikap pelaku pasar yang lebih berani menempatkan dananya di aset yang lebih berisiko, seperti saham.

Banyak emiten yang juga akan diuntungkan dari pemangkasan suku bunga mulai dari sektor perbankan, properti, pembiayaan, consumer goods, hingga teknologi.

Meski begitu, ada kekhawatiran soal prospek rupiah ke depan lantaran the Fed diperkirakan tetap mempertahankan kebijakan suku bunga tinggi, setidaknya sampai September. Meski demikian, sejauh ini rupiah masih stabil di hadapan dolar AS seiring dengan dana asing yang kembali masuk dan keputusan Moody's menurunkan peringkat kredit AS membuat kekuatan the greenback melemah.

Menanti Data Neraca Transaksi Berjalan

Pelaku pasar pada hari ini juga menanti data lagi dari internal terkait neraca transaksi berjalan atau current account untuk periode kuartal pertama tahun ini.

Menurut tradingeconomics, neraca transaksi berjalan Indonesia per kuartal I/2025 akan mengalami defisit yang lebih lebar menjadi US$ 1,2 miliar, dibandingkan kuartal sebelumnya yang defisit US$ 1,15 miiar.

Data transaksi berjalan ini cukup penting diperhatikan karena memberikan cerminan daya saing internasional, kemampuan membayar utang luar negeri, dan mendukung gambaran lebih lanjut tentang kondisi ekonomi secara keseluruhan.

Sebagai catatan, defisit transaksi berjalan pada kuartal terakhir tahun lalu menandai defisit selama tujuh kuartal beruntun dan setara dengan 0,3% dari PDB.

Defisit pendapatan primer sedikit menurun menjadi US$ 9,01 miliar dari US$ 9,26 miliar setahun sebelumnya, sementara defisit neraca jasa melebar menjadi US$ 5,19 miliar dari US$ 4,77 miliar.

Sementara itu, surplus neraca perdagangan hampir tidak berubah di angka US$11,34 miliar, dibandingkan US$ 11,39 miliar pada tahun sebelumnya, dan surplus pendapatan sekunder naik menjadi US$ 1,72 miliar dari sebelumnya US$1,25 miliar.

Adapun sepanjang 2024, defisit transaksi berjalan melebar tajam menjadi US$ 8,86 miliar (0,6% dari PDB) dari US$ 2,04 miliar (0,1% dari PDB) pada 2023, akibat penurunan surplus perdagangan di tengah lemahnya permintaan luar negeri, sementara permintaan domestik tetap kuat. Namun, angka tersebut masih berada dalam kisaran proyeksi Bank Indonesia, yaitu antara 0,1% hingga 0,9%.

Menanti Data Klaim Pengangguran Mingguan

Beralih ke data eksternal, dari negeri Paman Sam pada besok malam akan data rilis penambahan data klaim pengangguran untuk pekan yang berakhir pada 17 Mei 2025.

Mengutip data dari laman penghimpun data, tradingeconomics, klaim pengangguran mingguan AS diprediksi bisa bertambah 230.000, lebih banyak dari minggu sebelumnya yang bertambah 229.000.

Jika klaim pengangguran naik, bagi pasar tenaga kerja ini memang akan buruk. Namun, ini bisa menjadi sinyal bagi prospek penurunan suku bunga the Fed, terutama setelah kuartal pertama tahun ini ekonomi AS mengalami kontraksi.

 

Imbal Hasil US Treasury Melonjak Karena Beban Utang Trump

Imbal hasil US Treasury terus melonjak karena aksi jual besar-besaran. Imbal hasil atau yield obligasi 30 tahun ditutup di 4,967% setelah sempat menyentuh 5,09% pada perdagangan kemarin, Ini adalah level tertinggi sejak Oktober 2023. Sementara itu, imbal hasil obligasi acuan 10 tahun naik ke 4,59%.

Tekanan jual besar-besaran di pasar obligasi pemerintah AS saat ini didorong oleh kombinasi masalah struktural dan kekhawatiran ekonomi makro.

Yield obligasi US Treasury terban karena investor khawatir bahwa RUU pajak baru di AS dapat memperburuk defisit anggaran negara. Risiko ini juga menjadi sorotan dalam penurunan peringkat kredit AS oleh Moody's pada akhir pekan lalu.

Investor yang sensitif terhadap harga seperti hedge fund dan reksa dana saat ini mendominasi pasar obligasi, menggantikan peran pembeli yang kurang sensitif terhadap harga seperti bank sentral. Hal ini membuat pergerakan harga obligasi menjadi jauh lebih volatile (berfluktuasi tajam).

Dari sisi ekonomi, RUU pajak dan pengeluaran yang diajukan Presiden Donald Trump terus bergerak maju. RUU ini diperkirakan akan menambah utang pemerintah sebesar $3,3 triliun hingga 2034.

"Kami cukup terkejut dengan pola front-loading utangnya. Yang paling mencolok adalah tidak ada pemotongan belanja pemerintah sama sekali."," kata Tony Rodriguez, Kepala Strategi Pendapatan Tetap di Nuveen, kepada Barron's.

Lebih banyak utang adalah mimpi buruk bagi investor obligasi, karena itu dapat mengancam kemampuan pemerintah untuk melunasi kewajibannya di masa depan.

Tarif impor juga menjadi sumber tekanan tambahan. Tarif ini diperkirakan akan menghambat pertumbuhan ekonomi AS, yang secara teori seharusnya mendorong investor untuk membeli obligasi (karena mencari keamanan), sehingga menurunkan yield. Namun, ekonomi yang melambat juga bisa menurunkan penerimaan pajak, yang pada akhirnya menambah beban utang pemerintah.

Penerimaan dari pajak impor yang dibayar oleh perusahaan-perusahaan AS hanya sedikit mengimbangi peningkatan utang ini.

Kurangnya minat terhadap US Treasury menjadi salah satu penyebab tingginya imbal hasi.

Lelang obligasi 20 tahun yang diadakan pukul 1 siang waktu ET berlangsung kurang menggembirakan, menjadi pemicu kenaikan yield ke level tertinggi sesi perdagangan.

Kekhawatiran utama adalah bahwa minat beli investor terhadap obligasi Treasury AS mulai mengering karena pasokan utang baru yang terus meningkat untuk membiayai kebutuhan negara.


(tsn/tsn)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular