Newsletter

Perjalanan Pasar Keuangan RI 2024: Diselimuti Awan Gelap

Robertus Andrianto, CNBC Indonesia
31 December 2024 06:15
Petugas menunjukkan uang pecahan dolar AS dan rupiah di gerai penukaran mata uang asing di tempat penukaran uang PT Ayu Masagung, Jakarta, Senin (18/11/2024). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Foto: Petugas menunjukkan uang pecahan dolar AS dan rupiah di gerai penukaran mata uang asing di tempat penukaran uang PT Ayu Masagung, Jakarta, Senin (18/11/2024). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Nilai tukar rupiah ditutup menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan akhir tahun ini, Senin (30/12/2024) di tengah berbagai tekanan sentimen negatif di pasar domestik.

Melansir data Refinitiv, pada penutupan perdagangan rupiah menguat hingga 0,62% ke level Rp16,130/US$. Sepanjang hari, nilai tukar rupiah berfluktuasi hingga sentuh level Rp16.115/US$ dan terjauh di posisi Rp16,170/US$.

Fluktuasi tidak hanya terjadi pada kemarin saja tapi sepanjang tahun.  Sepanjang 2024, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mengalami fluktuasi yang signifikan bagaikan roller coaster. Dalam waktu singkat rupiah menguat namun dalam sekejap juga rupiah dapat melemah.

Dalam perjalannya rupiah sempat mengalami posisi terkuat yakni pada 25 September 2024 di angka Rp15.095/US$. Sementara rupiah juga pernah anjlok hingga menyentuh level terburuknya di tahun ini yakni pada 21 Juni 2024 di angka Rp16.445/US$.

Sebelumnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dalam asumsi makro Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 yakni sebesar Rp15.000/US$. Jika dilihat hingga saat ini, posisi rupiah sudah melenceng sekitar Rp1.230/US$ atau telah ambles 8,2% dibandingkan target dari APBN itu sendiri.

Hal ini terjadi di tengah berbagai sentimen yang menyelimuti Tanah Air khususnya yang datang dari AS.

Di awal Januari 2024, rupiah terkoreksi akibat dipicu oleh faktor eksternal dan internal. Dari eksternal, faktor terkuat adalah masih kencangnya data ekonomi AS mulai dari inflasi hingga ketenagakerjaan yang di atas ekspektasi pasar.

Sebagai catatan, AS melaporkan ekonomi mereka tumbuh sebesar 3,3% (year on year/yoy) pada kuartal IV-2023. Angka tersebut jauh lebih tinggi dari ekspektasi 2% dari para ekonom yang disurvei oleh Dow Jones, yang menggarisbawahi berlanjutnya ketahanan ekonomi meskipun ada kenaikan suku bunga dari bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed).

Posisi rupiah semakin diperparah ketika April 2024 di saat menyentuh level Rp16.200/US$. Bahkan pada 16 April 2024 atau hari pertama dibukanya perdagangan/pasar setelah libur lebaran, tampak rupiah ambruk lebih dari 2%.

Penelusuran CNBC Indonesia Research pada pergerakan rupiah dalam lima tahun terakhir, depresiasi lebih dari 2% hanya terjadi sebanyak empat kali yakni 28 Februari 2020, 19 Maret 2020, 23 Maret 2020, dan 16 April 2024.

Atau dengan kata lain hingga saat ini, pelemahan rupiah lebih dari 2% terjadi sebanyak tiga kali pada 2020 dan satu kali terjadi pada 2024.

Pada saat itu, rupiah kembali tak berdaya melawan Greenback karena Inflasi AS di luar dugaan menanjak ke 3,5% (year on year/yoy)pada Maret 2024, dari 3,2% pada Februari 2024. Inflasi inti di luar makanan dan energi tercatat stagnan di angka 3,8%. Selain itu data tenaga kerja AS juga menunjukkan ada penambahan tenaga kerja hingga 303.000 untuk non-farm payrolls. Angka ini jauh di atas ekspektasi pasar yakni 200.000.

Lonjakan inflasi AS dan masih panasnya data tenaga kerja AS ini menimbulkan kekhawatiran jika The Fed akan menahan suku bunga lebih lama.

Kemudian pada Juli hingga September 2024, terpantau rupiah tampak sangat perkasa dengan apresiasi yang sangat signifikan yakni dari Rp16.445/US$ menjadi Rp15.095/US$ hanya dalam kurun waktu tiga bulan.

Kuatnya posisi rupiah ini terjadi di tengah muncul potensi resesi di AS yang sempat berhembus pada akhir pekan lalu. Hal ini berdampak pada ambruknya indeks dolar AS (DXY) dan menjadi angin segar bagi rupiah untuk kembali menguat hingga di bawah level psikologis Rp16.000/US$.

Probabilitas terjadinya resesi di AS semakin mencuat setelah indikator Sahm mengalami kenaikan.

Pada Juli 2024, tercatat indikator resesi Sahm menunjukkan angka 0,53 poin persentase yang artinya ada probabilitas untuk AS mengalami resesi. Alhasil, DXY mengalami penurunan yang sangat tajam dan membuat rupiah semakin kuat.

Selain itu, The Fed juga diproyeksikan akan memangkas suku bunga dengan cukup agresif yakni sebesar 50 basis poin (bps). Hal ini yang pada akhirnya membuat DXY semakin terpuruk bahkan sempat menyentuh level 102,67 pada 5 Agustus 2024 yang merupakan titik terendah sejak 15 Januari 2024 atau sekitar tujuh bulan terakhir.

Namun penguatan rupiah tampak belum sustain. Masuk bulan Oktober hingga akhir Desember ini, tampak rupiah terdepresiasi dipicu dari sentimen AS.

Kemenangan Presiden Terpilih AS, Donald Trump melawan Kamala Harris membuat DXY semakin melambung tinggi karena pasar menilai dengan kemenangan Trump maka inflasi akan semakin sulit ditekan khususnya karena barang impor ke AS yang akan dikenakan tarif lebih tinggi sehingga berujung pada keseluruhan harga barang di AS menjadi lebih mahal.

Ketika inflasi tak dapat ditekan ke level yang lebih rendah dan menemui target The Fed di angka 2%, maka The Fed tampak akan membiarkan suku bunga berada di level yang cukup tinggi di waktu yang lebih lama atau dengan kata lain bahwa pemangkasan suku bunga akan menjadi lebih sulit terjadi.

Bahkan rilis laporan The Fed dalam Summary of Economic Projections (SEP) Desember 2024 menunjukkan bahwa tahun depan diproyeksikan bahwa The Fed hanya memangkas suku bunga sebanyak 50 bps dari yang sebelumnya diperkirakan sebanyak 100 bps.

Hal ini semakin membuat DXY melambung tinggi dan membuat rupiah terus mengalami tekanan hari demi hari.

(ras/ras)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular