Newsletter

The Fed Tolak Agresif Turunkan Suku Bunga, Pasar RI Baik-Baik Saja?

Robertus Andrianto, CNBC Indonesia
05 December 2024 06:01
Karyawan berada di dekat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (12/8/2024).
Foto: Karyawan berada di dekat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (12/8/2024). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
  • Powell mengatakan bahwa The Fed akan lebih hati-hati dalam menurunkan suku bunga
  • Ekonomi Indonesia diperkirakan tumbuh 5,15% pada 2025
  • DXY terus berada di levl tertinggi jadi ancaman untuk rupiah

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan kompak menguat pada perdagangan kemarin Rabu (4/12/2024)  di tengah masuknya kembali dana investor asing ke pasar.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melejit 1,82% ke posisi 7.326,76. IHSG pun akhirnya berhasil kembali ke level psikologis 7.300 pada akhir perdagangan.

Nilai transaksi indeks mencapai sekitar Rp 10,9 triliun dengan melibatkan 22,1 miliar saham yang berpindah tangan sebanyak 1,3 juta kali. Sebanyak 379 saham naik, 210 saham turun, dan 205 saham stagnan.

Secara sektoral, sektor bahan baku menjadi yang paling kencang penguatannya dan menjadi penopang terbesar IHSG di akhir perdagangan mencapai 3,39%.

Sementara dari sisi saham, dua emiten konglomerasi Prajogo Pangestu yakni PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) dan PT Chandra Asri Pacific Tbk (TPIA) menjadi penopang terbesar IHSG yakni masing-masing mencapai 26,2 dan 22,6 indeks poin.

Selain itu, tiga saham bank himbara raksasa juga menjadi penopang IHSG di hari ini yakni PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) sebesar 16 indeks poin, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) sebesar 8,9 indeks poin, dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) sebesar 6,2 indeks poin.

IHSG kembali sumringah di tengah masuknya kembali dana investor asing ke pasar saham RI mulai kemarin. Data pasar menunjukkan asing mencatatkan pembelian bersih (net buy) atau foreign inflow sebesar Rp 2,08 triliun kemarin, dengan rincian sebesar Rp 797 miliar di pasar reguler dan sebesar Rp 1,28 triliun di pasar tunai dan negosiasi.

Bahkan, besarnya modal asing masuk tersebut merupakan yang terbesar sejak 19 September 2024.

Hal ini merupakan inflow pertama yang baik untuk pasar reguler maupun secara keseluruhan setelah outflow terjadi secara berturut-turut sejak 6 November 2024.

Sementara itu, rupiah berhasil menguat di hadapan dolar Amerika Serikat (AS), setelah alami pelemahan sejak awal Desember 2024.

Melansir data Refinitiv, pada penutupan perdagangan hari ini (4/12/2024) rupiah menguat tipis hingga 0,06% berada di level Rp15.925/US$. Sepanjang hari, nilai tukar rupiah berfluktuasi di rentang Rp15.970/US$ hingga Rp15.920/US$.

Penguatan rupiah ini dipengaruhi oleh penantian pasar terhadap pidato Jerome Powell, Ketua Bank Sentral AS (The Fed), yang dijadwalkan pada Kamis (5/12/2024) pukul 1.45 WIB.

Sebelumnya, dalam notulen pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) bulan November, pejabat The Fed mengindikasikan bahwa inflasi di AS mulai melambat, sementara pasar tenaga kerja tetap kuat.

Kondisi ini membuka kemungkinan bagi pelonggaran kebijakan moneter lebih lanjut, meskipun hal tersebut akan dilakukan secara bertahap.

Meskipun inflasi masih sedikit di atas target 2%, The Fed terlihat cukup optimis dengan laju inflasi yang melambat dan situasi lapangan kerja yang masih stabil, yang memberikan keyakinan pasar bahwa pemotongan suku bunga lebih lanjut mungkin akan terjadi dalam waktu dekat.

Pasar saham AS mencetak rekor baru pada hari Rabu, dengan S&P 500 dan Nasdaq Composite naik ke level tertinggi sepanjang masa, didorong oleh kenaikan saham teknologi setelah laporan yang kuat dari Salesforce dan Marvell Technology.

Indeks pasar luas S&P 500 naik 0,61% dan ditutup pada 6.086,49, sementara Nasdaq yang berfokus pada teknologi naik 1,3% menjadi 19.735,12. Dow Jones Industrial Average juga naik 308,51 poin, atau 0,69%, menjadi 45.014,04. Ketiga indeks utama ini mencapai rekor tertinggi selama sesi perdagangan dan ditutup dengan rekor baru, dengan Dow menembus angka 45.000 untuk pertama kalinya.

Salesforce melonjak hampir 11% setelah melaporkan pendapatan kuartal ketiga fiskal yang melampaui perkiraan. Sementara itu, produsen chip Marvell Technology juga melampaui ekspektasi pendapatan dan memberikan panduan kuat untuk kuartal keempat, melonjak 23% - kinerja harian terbaiknya sejak 26 Mei 2023.

Kenaikan ini mendorong Technology Select Sector SPDR Fund (XLK) ke level tertinggi sepanjang masa sejak Juli, dengan kenaikan 1,8% pada hari itu.

Nancy Tengler, CEO Laffer Tengler Investments, mengatakan kepada CNBC, "Orang-orang mengatakan perdagangan teknologi sudah berakhir. Jika Anda melihat kinerja sektor ini, saham-saham teknologi memang tertinggal sejak Juli, tetapi itu tidak berarti mereka tidak bisa bangkit kembali. Pasar yang lebih luas adalah hal yang baik, tetapi itu bukan berarti teknologi tidak bisa mengungguli."

Pergerakan pada hari Rabu ini terjadi saat investor menantikan data ketenagakerjaan AS yang akan dirilis Jumat. Ekonom yang disurvei oleh Dow Jones memperkirakan ekonomi AS menambahkan 214.000 pekerjaan pada bulan November.

Namun, laporan dari ADP yang dirilis Rabu menunjukkan bahwa pertumbuhan payroll sektor swasta lebih rendah dari perkiraan. Perusahaan hanya menambahkan 146.000 pekerjaan pada bulan tersebut, dibandingkan estimasi 163.000 pekerjaan.

Data ini dapat memberi wawasan kepada investor tentang langkah kebijakan selanjutnya dari Federal Reserve. Pasar hampir tidak bereaksi setelah Ketua The Fed, Jerome Powell, menyatakan bahwa ekonomi cukup kuat untuk memungkinkan bank sentral bergerak lebih hati-hati terkait pemotongan suku bunga.

"Pasar tenaga kerja membaik, dan risiko penurunan tampaknya lebih kecil. Pertumbuhan lebih kuat dari yang kami duga, dan inflasi sedikit lebih tinggi. Jadi kabar baiknya adalah kita bisa lebih berhati-hati saat mencoba mencari titik netral," katanya dalam diskusi di New York.

Pasar keuangan RI pada perdaganganhari ini dipengaruhi oleh sentimen domestik dan luar negeri. Terutama pidato dari keta bnak sentral AS The Federal reserve atau The Fed Jerome Powell.

Powell Akan Lebih Hati-Hati Soal Suku Bung

Powell menyatakan bahwa perekonomian AS saat ini lebih kuat dibandingkan yang diperkirakan bank sentral pada bulan September ketika mulai menurunkan suku bunga. Ia juga memberikan sinyal bahwa ia mendukung langkah yang lebih hati-hati dalam pemotongan suku bunga ke depan.

"Ekonomi AS berada dalam kondisi yang sangat baik dan tidak ada alasan untuk itu tidak berlanjut. Risiko penurunan di pasar tenaga kerja tampaknya lebih kecil, pertumbuhan jelas lebih kuat dari yang kami duga, dan inflasi sedikit lebih tinggi," kata Powell dalam acara New York Times. "Kabar baiknya adalah kita bisa lebih berhati-hati saat mencoba menemukan posisi netral."

Powell juga menjelaskan bahwa pemotongan suku bunga setengah poin pada bulan September dirancang untuk "mengirimkan sinyal kuat bahwa kami akan mendukung pasar tenaga kerja jika terus melemah." Namun, dalam beberapa bulan setelahnya, data revisi menunjukkan bahwa ekonomi lebih kuat dari perkiraan semula.

Sebelumnya pada hari Rabu, dua pejabat Fed lainnya, Presiden Fed St. Louis Alberto Musalem dan Presiden Fed Richmond Thomas Barkin, menyatakan bahwa mereka masih menunggu data sebelum memutuskan apakah suku bunga perlu diturunkan lagi.

Indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi (PCE), yang menjadi ukuran utama inflasi, telah berjalan stagnan di kisaran 2,6%-2,8% sejak Mei, jauh di atas target 2% bank sentral. Meskipun para pejabat Fed optimis bahwa tekanan harga akan mereda, mereka tetap ingin melihat bukti konkret sebelum melanjutkan pemotongan suku bunga lebih jauh.

Sementara itu, data ekonomi lainnya menunjukkan hasil yang campur aduk. Penjualan otomotif di November mencapai level tertinggi dalam lebih dari tiga tahun, menunjukkan konsumsi tetap kuat. Namun, survei bisnis utama menunjukkan beberapa pendinginan di sektor jasa, dengan kekhawatiran tentang tarif impor baru yang dapat meningkatkan harga. Powell menekankan bahwa keputusan kebijakan Fed saat ini sepenuhnya didasarkan pada kondisi ekonomi saat ini, bukan pada kebijakan yang mungkin diterapkan di masa depan.

Ekonomi RI DIproyeksi Tumbuh 5,15% pad a 2025

Permata Institute for Economic Research (PIER) melalui laporan Economic Outlook 2025 bertajuk "Economic Forces at Play: Balancing Domestic Drivers and Global Uncertainty" memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 5,15% pada 2025.

Chief Economist Permata Bank Josua Pardede menjelaskan, proyeksi optimis ini memberikan dasar kuat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, memaksimalkan potensi konsumsi rumah tangga, memperkuat diversifikasi ekspor, serta menarik investasi asing langsung.

Laporan tersebut juga memaparkan kondisi di tingkat domestik, di mana inflasi Indonesia diproyeksikan masih berada dalam target Bank Indonesia, yakni 3,12%. Meskipun, kenaikan tarif PPN dan cukai menjadi 12% pada plastik, rokok, serta minuman manis akan memberikan tekanan terhadap inflasi.

Kemudian nilai tukar rupiah diperkirakan menguat di rentang Rp15.200-Rp15.700/USD. Hal ini didukung oleh aliran investasi langsung dan portofolio yang masuk.

Selain itu, imbal hasil obligasi diproyeksikan menurun karena kebijakan suku bunga yang lebih rendah dari Bank Indonesia dan The Fed.

Indeks Dolar Terus Kuat

Indeks dolar Amerika Serikat (AS) DXY terus berada di level yang cukup tinggi pasca Presiden Terpilih Donald Trump menang dalam pemilu AS melawan Kamala Harris.

Dilansir dari Refinitiv, DXY pada penutupan perdagangan kemarin (3/12/2024) ditutup di angka 106,36. Angka ini telah melonjak 2,84% sejak 5 November 2024 atau sekitar satu bulan yang lalu.

Sementara sepanjang bulan ini hingga 3 Desember 2024, DXY telah naik sebesar 0,59%.

Menangnya Trump dalam pemilu AS tampak menimbulkan kekhawatiran pelaku pasar akan kebijakan Trump yang dinilai Amerika sentris dengan menaikkan tarif perdagangan dari luar negeri termasuk China.

Pada akhirnya membuat inflasi di AS berpotensi kembali mengalami kenaikan dan bank sentral AS (The Fed) semakin sulit untuk memangkas suku bunga acuannya.

Dilansir dari baystreet.ca, suku bunga yang tinggi meningkatkan daya tarik utang AS dan dolar AS. Dalam skenario terbaik, The Fed akan memangkas suku bunga baik bulan ini atau Januari. Setelah itu, mereka akan mempertahankan suku bunga jika ekonomi AS menghangat. Fed harus mencegah inflasi melebihi 2,5%.

Seiring dengan menguatnya DXY, tampak rupiah mengalami depresiasi. Pada 5 November 2024, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berada di angka Rp15.730/US$ dan pada 3 Desember 2024 berada di posisi Rp15.935/US$ atau melemah 1,3% dalam kurun waktu satu bulan.

Dengan terpilihnya Trump, inflasi yang menjadi momok menakutkan banyak banyak negara dunia dimungkinkan sulit turun.

Lambatnya penurunan inflasi akan berdampak kepada suku bunga acuan atau Fed Fund Rate. Terbaru BI memperkirakan FFR hanya dipangkas 50 bps pada 2025.

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

1. PMI Caixin Jasa China (pukul 8.45 WIB)

2. ISM Jasa AS (22.00 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.


(ras/ras) Next Article Akhir Tren Suku Bunga Tinggi di Depan Mata, Saatnya Investor Berpesta?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular