Investor Kudu Waspada! Pasar Rawan Ambruk Usai Iran Serang Israel
- Pasar keuangan penuh ketidakpastian setelah Iran menyerang Israel dengan tembakan rudal
- Wall Street kompak turun 1% lebih setelah serangan Iran ke Israel
- Investor global diperkirakan akan semakin gencar menaruh modalnya di pasar saham China
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan beda arah kala Indonesia mengalami deflasi selama lima bulan beruntun yang diikuti oleh kinerja manufaktur yang berada di zona kontraksi. Pasar saham mampu menguat hingga 1% lebih, sedangkan nilai tukar rupiah keok dari dolar Amerika Serikat (AS).
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil ditutup cerah bergairah pada akhir perdagangan Selasa (1/10/2024), membalikkan koreksinya yang sudah terjadi selama tiga hari beruntun.
Hingga akhir perdagangan, IHSG melonjak 1,52% ke posisi 7.642,13. IHSG pun berhasil kembali ke level psikologis 7.600.
Nilai transaksi indeks pada hari ini mencapai sekitar Rp 41 triliun dengan melibatkan 25 miliar saham yang berpindah tangan sebanyak 1,2 juta kali. Sebanyak 310 saham terapresiasi, 258 saham terdepresiasi dan 228 saham stagnan.
Hampir seluruh sektor berbalik arah ke zona hijau pada hari ini. Hanya sektor kesehatan yang masih lesu, itu pun juga cenderung tipis yakni 0,02%.
Adapun sektor energi menjadi yang paling kencang penguatannya dan menjadi penopang terbesar IHSG hari ini yakni mencapai 2,5%.
Laju penguatan IHSG merupakan yang terbaik dibandingkan indeks negara lainnya di kawasan Asia Tenggara. Performa IHSG juga tidak kalah mentereng jika dibandingkan dengan kinerja indeks Asia-Pasifik.
Di sisi lain, nilai tukar rupiah terkoreksi di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) pada awal Oktober 2024. Rupiah hampir sentuh level Rp15.200/US$ an lagi.
Melansir Refinitiv, mata uang Garuda ditutup di angka Rp15.195/US$ pada perdagangan Selasa (1/10/2024), melemah 0,4% dari penutupan sebelumnya (30/09/2024).
Beda arah kedua pasar uang terjadi saat Indonesia kembali mengalami deflasi pada September lalu. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan IHK RI secara bulanan (month-to-month/mtm) kembali mengalami deflasi sebesar 0,12%. Dengan ini, maka RI sudah mengalami deflasi bulanan selama lima bulan beruntun.
Sedangkan secara tahunan (year-on-year/yoy), IHK RI pada bulan lalu masih mengalami inflasi sebesar 1,84%. Tetapi, inflasi tahunan RI pada bulan lalu mengalami penurunan dari sebelumnya pada Agustus lalu sebesar 2,12%.
"Indonesia deflasi 0,12% pada September 2024," Plt. Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti dalam konferensi pers, Selasa (1/10/2024).
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 12 institusi memperkirakan IHK September 2024 diperkirakan turun atau mengalami deflasi 0,035% (mtm).
Sembilan dari 12 instansi memperkirakan secara bulanan masih akan tercatat deflasi yang tak jauh berbeda dengan periode sebelumnya yang terpantau deflasi 0,03%.
Sedangkan IHK tahunan diperkirakan melandai di bawah level 2% atau tepatnya 1,975% (yoy). Angka ini lebih rendah dibandingkan inflasi Agustus 2024 yang sebesar 2,12% (yoy).
Deflasi ini menjadi catatan terburuk bagi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Pasalnya, Indonesia sudah mencatat deflasi selama empat bulan beruntun yakni dari Mei hingga September 2024.
Tak hanya itu saja, sektor manufaktur Indonesia kembali lesu pada bulan lalu. S&P Global melaporkan Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur Indonesia pada bulan lalu kembali terkontraksi ke 49,2.
Artinya, PMI Manufaktur Indonesia sudah mengalami kontraksi selama tiga bulan beruntun yakni pada Juli (49,3), Agustus (48,9) dan September (49,2). PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika di atas 50, maka artinya dunia usaha sedang dalam fase ekspansi. Sementara di bawah itu artinya kontraksi.
PMI yang tercatat 49,2 pada September 2024 memang lebih besar dibandingkan pada Agustus. Namun, kondisi tersebut tidak melepaskan fakta jika kondisi manufaktur RI kini sangat buruk.
S&P Global menjelaskan kenaikan PMI ditopang oleh meningkatnya pesanan baru. Pesanan naik didukung oleh perbaikan kondisi permintaan dan ekspansi basis pelanggan.
Kendati demikian, pertumbuhan pesanan menjadi yang paling lambat selama periode enam bulan terakhir, terutama, permintaan asing. Permintaan baru untuk ekspor baru melandai selama dua bulan berturut-turut di tengah laporan upaya mengurangi stok di beberapa klien.
(ras/ras)