NEWSLETTER

Cobaan Berat! Laju Kencang IHSG Dihadang 4 Kabar Buruk dari RI & AS

Susi Setiawati, CNBC Indonesia
Selasa, 03/09/2024 06:00 WIB
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
  • Pasar keuangan Indonesia ditutup beragam, IHSG terbang sementara rupiah loyo
  • Wall Street llibur memperingati Hari Buruh
  • Pergerakan inflasi, PMI manufaktur dan data ekonomi China bisa menjadi penggerak pasar keuangan Indonesia hari ini 

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar saham RI kembali mencetak rekor baru kemarin, Senin (2/9/2024). Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tercatat sempat menyentuh level tertinggi sepanjang masa pada perdagangan intraday hari kemarin di level 7.726,18 sebelum kembali ke level psikologis 7.600. Akan tetapi positifnya pergerakan IHSG tak senada dengan pergerakan rupiah yang justru melemah.

Pergerakan IHSG dan rupiah akan bergerak lebih volatile hari ini, dipengaruhi oleh rilis data ekonomi hingga agenda penting di sepanjang pekan ini. Selengkapnya mengenai sentimen dan proyeksi pasar hari ini dan satu pekan ke depan bisa dibaca pada halaman tiga artikel ini. Dan para investor juga dapat mengintip agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini baik dalam negeri dan luar negeri pada halaman empat.

IHSG pada perdagangan kemarin, Senin (2/8/2024), IHSG mencatatkan penguatan sebesar 0,31% di level 7.694,53. Penutupan harga IHSG tersebut merupakan level tertinggi sepanjang masa. Sebelum ditutup lebih rendah, IHSG sempat mencetak level tertinggi baru pada perdagangan intraday di level 7.726,18.

Tercatat nilai transaksi atau turnover IHSG berada di angka Rp12,05 triliun, lebih rendah dibandingkan perdagangan pada akhir pekan sebelumnya yang mencapai Rp26,74 triliun. Transaksi berasal dari volume saham sebanyak 17,65 miliar lembar, terdiri dari 351 saham naik, 243 turun dan 200 tidak berubah.

Salah satu pendorong penguatan IHSG adalah melesatnya sektor teknologi yang mencapai 3,82% yang didorong oleh naiknya saham-saham teknologi. Selain itu, kenaikan saham-saham konstruksi BUMN pun mendorong laju kenaikan sektor infrastruktur yang mendorong penguatan IHSG.

Akan tetapi gagalnya IHSG mencapai level 7.700 karena penurunan oleh beberapa sektor yakni dimana sektor siklikal anjlok 2,45%, properti melemah 0,02% dan basic-industry yang jatuh 0,47%.

Penurunan saham-saham segmen industri ritel tersebut didorong oleh hasil data-data ekonomi dalam negeri yang rilis pada hari Senin.

Pertama datang dari data PMI manufaktur Indonesia, S&P Global menunjukkan aktivitas manufaktur Indonesia jatuh dan terkontraksi ke 48,9 pada Agustus 2024. Artinya, PMI Manufaktur Indonesia sudah mengalami kontraksi selama dua bulan beruntun yakni pada Juli (49,3) dan Agustus.

PMI juga terus memburuk dan turun selama lima bulan terakhir. PMI anjlok dari 54,2 pada Maret 2024 dan terus anjlok hingga Agustus 2024.

Ambruknya PMI Manufaktur ini tentu memicu kekhawatiran karena manufaktur banyak menyumbang ekonomi dan menyerap tenaga kerja. Ambruknya manufaktur juga bisa mencoreng kinerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjelang turun jabatan Oktober mendatang.

S&P Global menjelaskan manufaktur Indonesia terkontraksi lebih lanjut karena menurunnya output dan pesanan baru dengan tingkat yang lebih tajam.

Perusahaan manufaktur Indonesia juga terus mengurangi jumlah tenaga kerja meski hanya marginal.

Selain itu, Indeks Harga Konsumen (IHK) Indonesia kembali mengalami deflasi 0,03% secara bulanan (month-to-month/mtm) pada Agustus 2024. Ini adalah deflasi keempat pada tahun ini.

Deflasi ini adalah yang ke empat secara beruntun.

Di lain sisi, secara historis IHSG cenderung lesu sepanjang September, karena adanya fenomena September Effect. Selama kurun waktu 2015-2023 atau sembilan tahun terakhir, IHSG hanya menguat dua kali sementara tujuh sisanya ambruk.

Namun, ada harapan jika IHSG akan mencatat kinerja positif pada September karena ada kemungkinan bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (The Fed) akan mulai memangkas suku bunga pada September.

Beralih ke rupiah, dilansir dari Refinitiv, pada perdagangan Senin (2/9/2024) rupiah ditutup melemah 0,45% terhadap dolar AS di posisi Rp15.520/US$1. Pelemahan tersebut menjadi pelemahan dua hari beruntun. Dan rupiah gagal bertahan di level psikologis Rp15.400.

Pelemahan rupiah juga tak jauh dari sentiment ambruknya PMI Manufaktur Indonesia dan deflasinya Indeks Harga Konsumen (IHK) Indonesia pada Agustus 2024.

Deflasinya IHK Indonesia dapat memicu kekhawatiran di pasar bahwa stabilitas inflasi yang terlalu rendah bisa mengindikasikan lemahnya daya beli konsumen, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.

Chief Economist Bank Permata, Joshua Pardede menilai catatan deflasi di Agustus yang diikuti dengan turunnya PMI Manufaktur Agustus yang anjlok ke level 48,9 poin menjadi indikasi adanya penurunan daya beli masyarakat.

Namun demikian, menurut analisis Head of Treasury & Financial Institution Bank Mega, Ralph Birger Poetiray, dari sisi domestik, aliran dana asing masih cukup deras masuk ke pasar keuangan domestik, seperti obligasi dan saham.

Berdasarkan data transaksi yang dirilis Bank Indonesia (BI) pada 26-29 Agustus 2024, tercatat net foreign buy senilai Rp6,21 triliun di pasar saham dan Rp3,89 triliun di pasar obligasi.

Sementara dari pasar obligasi Indonesia, pada perdagangan Senin (2/9/2024) imbal hasil obligasi tenor 10 tahun tercatat menguat 0,77% di level 6.69% dari perdagangan sebelumnya. Imbal hasil obligasi yang menguat menandakan bahwa para pelaku pasar sedang membuang surat berharga negara (SBN).

Begitupun sebaliknya, imbal hasil obligasi yang melemah menandakan bahwa para pelaku pasar sedang kembali mengumpulkan surat berharga negara (SBN). 


(saw/saw)
Pages