
6 Penguasa Ini Kabur Saat Negaranya Rusuh: Bangladesh - Afghanistan

Jakarta, CNBC Indonesia - Kekacauan politik yang terjadi di suatu negara menjadikan pemimpin di negara tersebut bertindak di luar dugaan. Bahkan beberapa pimpinan dunia justru mencoba keluar dari negara yang mereka pimpin.
Dilansir dari Firstpost, sepanjang sejarah, kekacauan politik dan sipil telah memaksa banyak pemimpin dunia untuk melarikan diri dari Tanah Air mereka.
Berikut ini daftar negara yang pemimpinnya keluar dari Tanah Air mereka.
1. Bangladesh
Bangladesh mengalami kegoncangan kekuasaan. Hal ini terjadi setelah demonstrasi berjilid-jilid yang dilakukan mahasiswa Negeri Bengali yang akhirnya mendorong Perdana Menteri (PM) Sheikh Hasina untuk kabur ke India.
Pemerintahan Sheikh Hasina sudah berakhir pada Selasa (6/8/2024) setelah 15 tahun tahun terakhir memimpin Bangladesh Sebagai Perdana Menteri (PM). Sebelumnya, wanita kelahiran 28 September 1947 itu sempat menduduki jabatan yang sama pada periode 1996-2001 sehingga total masa kepemimpinannya mencapai 20 tahun.
Berakhirnya era kepemimipinan Hasina terjadi setelah Presiden Bangladesh Mohammed Shahabuddin resmi membubarkan parlemen negara itu.
Pembubaran parlemen dilakukan setelah ultimatum yang dikeluarkan oleh koordinator protes mahasiswa yang memaksa pengunduran diri Hasina.
Berakhirnya era pemerintahan Hasina terjadi setelah gelombang aksi protes yang sangat mencekam akibat para mahasiswa menentang kuota PNS untuk keluarga veteran perang kemerdekaan Bangladesh 1971, yang dianggap oleh para kritikus sebagai cara untuk mencadangkan pekerjaan bagi sekutu partai yang berkuasa.
Sekitar 400 orang tewas dan ribuan lainnya terluka dalam kekerasan yang melanda negara itu sejak Juli. Diketahui, aksi protes ini telah berlangsung di Bangladesh selama sebulan lebih.
2. Sri Lanka
Presiden Sri Lanka, Gotabaya Rajapaksa, menghadapi protes dan ketidakstabilan publik yang intens dari November 2019 hingga Juli 2022 setelah krisis ekonomi yang parah dan membuat negara tersebut berada dalam keadaan terpuruk.
Menurut BBC, negara tersebut mengalami pemadaman listrik harian dan bahkan kekurangan barang-barang dasar seperti bahan bakar, makanan, dan obat-obatan.
Awalnya, Presiden Rajapaksa, bersama dengan Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe, berusaha mengatasi krisis tersebut. Namun, seiring dengan meningkatnya protes yang semakin keras dan kekerasan, ia terpaksa meninggalkan kediaman resminya. Perjalanannya membawanya ke Maladewa dan kemudian ke Singapura, di mana ia akhirnya mengundurkan diri dari jabatannya.
3. Afghanistan
Ashraf Ghani yang menjabat sebagai Presiden Afghanistan dari September 2014 hingga Agustus 2021 menghadapi tekanan dan ancaman yang semakin meningkat terhadap pemerintahannya khususnya pada 2021.
Serangan Taliban meningakt pada pertengahan 2021 atau mendekati ditariknya pasukan Amerika Serikat (AS) pada 11 September 2021. Namun, jauh sebelum tanggal tersebut, Kabul dikuasi Taliban.
Pada 15 Agustus 2021, Taliban memasuki Kabul dan situasinya berubah menjadi kekacauan dan kepanikan. Kelompok Taliban mendeklarasikan sebagai penguasa Afghanistan pada 15 Agustus 2021 setelah Presiden Ashraf Ghani memilih kabur ke Tajikistan dan meninggalkan pemerintahan yang runtuh.
Ghani melarikan diri dari Afghanistan. Dalam wawancara dengan BBC, mantan presiden tersebut mengungkapkan bahwa dia hanya diberi "waktu tidak lebih dari dua menit" untuk bersiap melarikan diri dari ibu kota. Ia awalnya melarikan diri ke Tajikistan sebelum pindah ke Abu Dhabi di Uni Emirat Arab, di mana ia diberikan suaka.
4. Sudan
Sadiq al-Mahdi, yang menjabat sebagai Perdana Menteri Sudan dari 1966 hingga 1967 dan terpilih lagi pada dari 1986 hingga 1989. Dia melarikan diri dari negara tersebut selama periode tantangan politik dan ekonomi yang signifikan.
Pemerintahannya menghadapi konflik internal, termasuk perselisihan antara berbagai faksi politik dan kerusuhan sipil yang terus berlangsung.
Pada masa jabatan keduanya, ia membentuk pemerintahan koalisi yang terdiri dari Partai Umma-nya dan Front Islam Nasional yang dipimpin oleh saudara iparnya. Namun, koalisi ini terbukti tidak stabil, dan pada Juni 1989, al-Mahdi digulingkan dalam kudeta militer yang dipimpin oleh Brigadir Omar al-Bashir.
Setelah kudeta, al-Mahdi tinggal dalam pengasingan di beberapa negara dan memimpin oposisi dari luar negeri, sebelum kembali ke negara tersebut pada tahun 2018.
5. Haiti
Jean-Bertrand Aristide, presiden Haiti yang pertama kali terpilih secara demokratis, menghadapi pengasingan selama karir politiknya yang penuh gejolak. Awalnya terpilih pada tahun 1991, Aristide digulingkan dalam kudeta militer pada tahun yang sama dan melarikan diri ke Amerika Serikat (AS). Ia kembali pada tahun 1994 setelah intervensi yang dipimpin oleh AS mengembalikannya ke tampuk kekuasaan.
Masa jabatan kedua Aristide, yang dimulai pada tahun 2001, ditandai dengan ketidakstabilan karena negara menghadapi krisis politik, sosial, dan ekonomi. Pada Februari 2004, di tengah pemberontakan yang kekerasan, ia melarikan diri dari Haiti lagi, awalnya ke Republik Afrika Tengah dan kemudian ke Afrika Selatan. Setelah tujuh tahun dalam pengasingan, Aristide kembali ke Haiti pada tahun 2011.
6. Pakistan
Pervez merupakan merebut kekuasaan kepala negara dalam kudeta tahun 1999 dan diangkat sebagai Kepala Eksekutif Pakistan. Kemudian, mantan jenderal bintang empat itu menjabat sebagai Presiden Pakistan dari tahun 2001 hingga 2008.
ekuatan melemah pada 2007. Hal ini diakibatkan keputusannya pada 3 Oktober yang membekukan konstitusi dan menetapkan keadaan darurat yang membuatnya mendapatkan jabatan baru sebagai Kepala Militer. Ia juga bahkan mencopot Ketua Mahkamah Agung Iftikhar Muhammad Chaudhry,
Beberapa pihak menilai hal ini dilakukan Musharraf karena kepentingan pemilihan Presiden. Diketahui, Pakistan saat itu akan melaksanakan pemilihan presiden pada 6 Oktober.
Ini kemudian memicu protes besar di seluruh wilayah Negeri Ali Jinnah itu. Tak hanya di dalam negeri, sederet negara besar dunia juga mengecam manuver yang dilakukan Musharraf.
Kegentingan politik pun berlanjut pada 2008. Karena status darurat yang diterapkannya, Musharraf memutuskan untuk menggelar pemilihan presiden pada tanggal 8 Januari 2007.
Tetapi situasi politik Pakistan justru mendapatkan guncangan. Pasalnya, di Desember 2007, Mantan Perdana Menteri (PM) Benazir Bhutto mendapatkan serangan bom dan tembakan hingga dirinya meninggal.
Ini pun mengakibatkan beberapa lembaga negara Pakistan mengadakan pemilu pada tanggal 18 Februari 2008. Dan di pemilihan itu, Musharraf kehilangan jabatannya.
Setelah tidak menjabat lagi, beberapa pihak pun mencoba untuk membawa Musharraf ke pengadilan atas tudingan prosedur yang tidak benar dalam menerapkan status darurat. Akibat hal ini, Musharraf pergi ke pengasingan di London pada 2008.
Di 2013, Musharraf kembali ke Pakistan. ini membuatnya kemudian ditangkap oleh otoritas berwenang. Pada 2014, ia diizinkan keluar untuk pengobatan.
Pada 2016, nama Musharraf dihapuskan dari daftar cekal dan pindah ke Dubai. Ia beralasan kepindahannya ini dikarenakan alasan kesehatan.
Di tahun 2019, Sebuah pengadilan khusus di Pakistan telah menghukum mati Musharraf atas tuduhan pengkhianatan tingkat tinggi dan menumbangkan konstitusi.
meninggal dunia di pengasingannya di Dubai, 5 Februari 2023
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)