CNBC Indonesia Research

Jika Trump Jadi Presiden AS Lagi, Ini Dampaknya ke Indonesia!

Revo M, CNBC Indonesia
17 July 2024 11:05
Calon presiden dari Partai Republik dan mantan Presiden AS Donald Trump mengacungkan tinjunya pada Hari 1 Konvensi Nasional Partai Republik (RNC) di Fiserv Forum di Milwaukee, Wisconsin, AS, 15 Juli 2024. (REUTERS/Andrew Kelly)
Foto: Calon presiden dari Partai Republik dan mantan Presiden AS Donald Trump mengacungkan tinjunya pada Hari 1 Konvensi Nasional Partai Republik (RNC) di Fiserv Forum di Milwaukee, Wisconsin, AS, 15 Juli 2024. (REUTERS/Andrew Kelly)

Jakarta, CNBC Indonesia - Calon presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump semakin terbuka peluangnya untuk menjadi Presiden AS tahun ini. Hal ini berdampak pula terhadap Indonesia khususnya perihal kebijakan suku bunga Bank Indonesia (BI).

Sebelumnya, pada 13 Juli 2024 Trump tertembak dan terkena peluru di bagian atas telinga kanan saat melakukan kampanyenya di Pennsylvania.

Akibat insiden tersebut, satu peserta kampanye dilaporkan tewas dan dua peserta lainnya luka-luka. Sementara penembak Trump dikonfirmasi tewas saat upaya penangkapan.

Meski terluka, Trump kembali menjalani kampanye sebagai bintang Konvensi Nasional Partai Republik di Milwaukee.

Lebih lanjut, survei yang dilansir dari Polymarket menunjukkan bahwa Trump unggul telah melawan Joe Biden dengan angka 70% berbanding 19%.

PolymarketFoto: Presidential Forecast 2024
Sumber: Polymarket

Jika Trump terpilih menjadi Presiden AS menggantikan Biden, maka kebijakan-kebijakan yang diambil akan menjadi perhatian pelaku pasar, pebisnis, hingga investor.

Di antaranya yang patut dicermati yakni inflasi dan suku bunga atas hasil dari berbagai kebijakan Trump nantinya.

Pada era Trump, inflasi berada di level yang cukup rendah. Rata-rata tingkat inflasi tahunan di bawah kepemimpinan Trump adalah 1,9%. Inflasi tetap rendah selama kepresidenannya.

Ketika pandemi Covid-19 melanda pada tahun 2020, membawa resesi singkat namun parah, pemerintahan Trump menyatakan keadaan darurat dan mengeluarkan langkah-langkah stimulus seperti Undang-Undang Bantuan, Pemulihan, dan Keamanan Ekonomi Coronavirus senilai US$2 triliun (CARES Act) atau sekitar Rp32,35 kuadriliun dalam upaya untuk memberikan bantuan kepada individu dan bisnis.

Kebijakan ekonomi yang diikuti oleh pemerintahan Trump sekarang dikenal sebagai Trumponomics.

Di tengah inflasi yang rendah, suku bunga bank sentral AS (The Fed) pun tampak berada di level yang cukup rendah setelah kenaikan yang signifikan terjadi sejak 2016 hingga 2018.

Suku bunga The Fed yang nyaris 0% terjadi di saat pandemi Covid-19 menyelimuti global.

Dikutip dari CNBC International, The Fed mengungkapkan bahwa pandemi Covid-19 telah merugikan komunitas dan mengganggu aktivitas ekonomi di banyak negara, termasuk AS.

Suku bunga yang rendah tersebut digunakan sebagai patokan baik untuk pinjaman jangka pendek bagi lembaga keuangan maupun sebagai acuan untuk banyak suku bunga konsumen.

Pemangkasan suku bunga ini dilakukan untuk kembali menggerakkan ekonomi global termasuk AS sehingga dapat keluar dari keterpurukan.

Begitu pula dengan Indonesia. Pada saat itu, BI menurunkan suku bunganya dari titik tertingginya yakni 6% menjadi 3,75% pada November 2020.

Pada momen tersebut, Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan bahwa hal tersebut konsisten dengan inflasi yang tetap rendah dan stabilitas eksternal yang terjaga, serta upaya untuk mendukung pemulihan ekonomi.

BI juga berkomitmen untuk terus memperkuat sinergi kebijakan dan mendukung berbagai kebijakan lanjutan untuk membangun optimisme pemulihan ekonomi nasional.

Proyeksi BI Rate

Sepanjang empat tahun kepemimpinan Trump, selisih antara suku bunga The Fed dengan BI rate cukup jauh yakni antara 262 basis poin (bps) hingga 437 bps.

Sedangkan rata-rata selisih suku bunga tersebut yakni di angka 355 bps atau 3,55%. Selisih yang lebar ini cukup sulit untuk terulang kembali dalam beberapa bulan mendatang mengingat saat ini saja selisih/delta antara keduanya yakni hanya 75 bps atau 0,75%.

Kendati demikian, korelasi antara The Fed dan BI dapat dikatakan cukup positif yang berarti jika The Fed menaikkan suku bunga, maka BI pun akan mengikutinya. Sementara jika The Fed menurunkan suku bunga, maka BI juga akan memangkas suku bunganya.

Global Market Economis Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto juga membenarkan hal ini. Myrdal menyampaikan bahwa di tengah inflasi AS yang kian melandai sehingga ada probabilitas terjadinya pemangkasan suku bunga The Fed.

Ia juga menegaskan bahwa BI akan sejalan dengan The Fed. "Jika The Fed menurunkan suku bunga sampai dua kali, ada kemungkinan BI rate juga turun dua kali," papar Myrdal kepada CNBC Indonesia.

Namun yang perlu dicermati adalah jika kebijakan fiskal AS sangat longgar, maka inflasi akan sulit diturunkan.

"Kalau kebijakan fiskal sangat longgar (friendly) yang memicu konsumsi dan ada lonjakan inflasi lagi, maka respon The Fed juga akan berbeda," ujar Myrdal.

Untuk diketahui, saat ini inflasi AS berada di level 3% year on year/yoy untuk periode Juni 2024.

Tren pelandaian inflasi AS ini telah terjadi secara beruntun sejak titik tertingginya pada Maret 2024 yang tumbuh 3,5% yoy.

Sementara inflasi inti AS secara konsisten melandai dengan cukup signifikan bahkan sejak Oktober 2022 hingga Juni 2024 atau sekitar atau 21 bulan beruntun.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation