
Bursa China-India Jadi Primadona, Investor Asing Kepincut Cuan

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham di China dan India disebut-sebut menjadi primadona bagi investor asing. Hal ini seiring dengan tren para pemilik modal masuk ke pasar yang tengah berkembang.
Tercatat sepanjang tahun 2024 bursa saham India, NSE mencatatkan lonjakan 12% di level 24.323,85 hingga perdagangan Jumat (5/7/2024).
Sementara itu, sepanjang 2024 bursa saham China, Shanghai Stock Exchange mengalami sedikit penurunan dengan melemah 0,84% di level 2.949,93 hingga perdagangan Jumat (5/7/2024).
Sekitar sepertiga dari 19 ahli strategi dan manajer dana yang berbasis di Asia yang disurvei secara informal oleh Bloomberg mengatakan bahwa mereka melihat saham China mengungguli sebagian besar saham lain selama enam bulan ke depan. Jumlah yang sama memilih India sebagai taruhan utama mereka, dan Jepang berada di urutan ketiga.
Pemangkasan suku bunga oleh The Federal Reserve (The Fed) yang diantisipasi terlihat bertindak sebagai pendorong bagi kedua pasar berkembang, yang masing-masing juga menawarkan narasi uniknya sendiri. Responden survei lebih menyukai saham China karena valuasinya yang rendah dan perubahan kebijakan yang diharapkan. Lalu sebagian lain lebih menyukai saham India karena optimisme pasca-pemilu dan relatif kebal terhadap ketegangan geopolitik.
Saham EM di kawasan tersebut sudah mulai menguat. MSCI EM Asia Index mengungguli pengukur MSCI Asia yang lebih luas paling banyak sejak 2009 pada kuartal terakhir. EM Asia juga merupakan kawasan yang paling banyak dibeli pada bulan Juni, menurut meja pialang utama Goldman Sachs Inc, sedanhkan ekuitas global dijual bersih pada laju tercepat dalam dua tahun.
Adapun ekuitas India telah memperpanjang relinya sejak partai berkuasa Perdana Menteri Narendra Modi memperoleh dukungan yang cukup dari sekutu utama untuk membentuk pemerintahan koalisi. Hal ini memberikan pemimpin tersebut masa jabatan ketiga berturut-turut.
Nilai pasar saham negara itu melampaui US$5 triliun untuk pertama kalinya pada bulan Juni karena Modi berkomitmen untuk melanjutkan kebijakan yang menarik kembali investor asing.
Survei terpisah tentang India menunjukkan bahwa reli ekuitas negara itu berpotensi untuk berakselerasi hingga akhir tahun karena investor tetap yakin akan pertumbuhan laba perusahaan dan anggaran federal yang akan datang dapat memberikan dorongan lebih lanjut untuk bidang-bidang seperti belanja konsumen dan infrastruktur.
"Kami percaya diskon valuasi dan perluasan pertumbuhan global menghadirkan peluang bagi EM, khususnya di Asia, untuk memimpin pada paruh kedua tahun ini," menurut prospek pertengahan tahun yang ditulis oleh Joseph Little, kepala strategi global di HSBC Asset Management.
Ray Sharma-Ong, kepala solusi investasi multi-aset untuk Asia Tenggara dari abrdn, lebih menyukai ekuitas India karena banyak katalis yang belum diperhitungkan, termasuk anggaran pemerintah. Ia juga melihat saham India "paling terlindungi dari ketegangan AS-China dan efek limpahan dari pemilihan presiden AS.
Di sisi lain, saham China telah berjuang setelah reli yang kuat pada awal tahun, dengan beberapa pengukur utama memasuki koreksi teknis dalam beberapa minggu terakhir. Akan tetapi, baik survei umum maupun survei terpisah yang berfokus pada China menemukan analis dan pengelola uang optimistis terhadap pasar saham terbesar kedua di dunia selama enam bulan ke depan karena dana global kembali dan laba perusahaan membaik.
HSBC Holdings optimis terhadap China, memperkirakan sentimen yang sangat negatif dalam ekuitas China akan perlahan berubah, menurut ahli strategi ekuitas Asia Herald van der Linde.
Dia menambahkan posisi untuk semester kedua mengingat perbaikan yang lambat dalam aktivitas China.
Survei yang luas tersebut juga menandai bahwa ketegangan geopolitik yang berasal dari pemilihan umum AS mendatang merupakan risiko utama bagi pasar Asia. Kebijakan yang lebih ketat dapat diberlakukan saat Presiden AS Joe Biden dan mantan Presiden Donald Trump berjuang untuk menunjukkan sikap mereka terhadap China.
"Dampak dari meningkatnya ketegangan antara China-AS atau China-Taiwan akan terasa di seluruh kawasan," ujar Hebe Chen, seorang analis di IG Markets. "Tidak ada pasar Asia yang kebal, terutama pasar dengan kinerja terbaik saat ini."
Lebih dari separuh responden mengatakan ekuitas Asia kemungkinan akan mengungguli ekuitas AS hingga akhir tahun 2024, dengan alasan pemangkasan suku bunga Fed dan valuasi yang murah. Namun, sebagian besar dari mereka melihat kenaikannya terbatas hingga 10% atau kurang.
"Asia berpotensi mengungguli siklus pemangkasan Fed," menurut Sharma-Ong. "Selain pemangkasan suku bunga kebijakan, kita mendapatkan pertumbuhan ekonomi dan potensi pendapatan yang lebih tinggi di Asia, valuasi ekuitas pada level yang lebih murah, dan mata uang pada carry yang lebih tinggi relatif terhadap dolar."
Sementara itu, pergerakan bursa saham Indonesia, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) cenderung bergerak melemah. Sepanjang tahun 2024, IHSG tercatat turun 0,27% di level 7.253,372 hingga perdagangan Jumat (5/7/2024).
Melemahnya IHSG didorong dari kaburnya dana asing dari dalam negeri. Selama tahun 2024, berdasarkan data setelmen hingga 27 Juni 2024, investor asing tercatat jual neto Rp36,46 triliun di pasar SBN, jual neto Rp9,78 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp123,21 triliun di SRBI.
Derasnya capital outflow di pasar keuangan Indonesia menjadi kekhawatiran banyak pihak. Pasalnya, kondisi tersebut ikut membuat rupiah ambruk. Presiden Joko Widodo (Jokowi) sampai memanggil Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Gubernur BI untuk menjelaskan pelemahan rupiah.
Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa BEI Irvan Susandy tak menampik bahwa saham-saham dengan nilai net sell asing terbesar turut membebani kinerja IHSG.
Adapun beberapa hal yang turut mendorong penurunan IHSG dan aksi jual asing, menurutnya adalah sikap hawkish The Fed yang menyebabkan kenaikan imbal hasil (yield) obligasi Amerika Serikat (AS) dan sekaligus memberikan tekanan kepada negara-negara emerging market, termasuk Indonesia.
Tidak sampai di situ, kekhawatiran yang sempat datang perihal underweight saham Indonesia oleh Morgan Stanley juga semakin memperburuk kondisi pasar keuangan domestik yang salah satunya dilandaskan akibat potensi defisit fiskal yang melebar disertai dengan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang semakin mendekati 50%.
Pasca berbagai kabar yang kurang baik tersebut, pada pekan lalu diadakan Konferensi Pers terkait Kondisi Fundamental Ekonomi Terkini dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 yang dihadiri oleh Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Anggota Bidang Keuangan Tim Gugus Tugas Sinkronisasi Pemerintahan Thomas Djiwandono atau Tommy Djiwandono mengadakan konferensi pers di kantor pusat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.
Dalam konferensi pers itu, baik pemerintah maupun tim Prabowo menegaskan jika pemerintahan Prabowo-Gibran Rakabuming Raka akan tetap menjalankan APBN 2025 secara prudent, termasuk dengan tetap menetapkan ambang defisit maksimal 3% PDB serta rasio utang terhadap PDB sebesar 60%.
Pernyataan ini menjawab kekhawatiran banyak pihak jika belanja pemerintahan Prabowo akan membuat defisit ke atas 3% dan rasio utang mendekati 60%.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(saw/saw)