Ketimpangan Level Dewa: Separuh Duit Saham Dunia Lari ke AS

Susi Setiawati, CNBC Indonesia
26 August 2025 16:10
Pasar Saham. (Dok. Pixabay)
Foto: Pasar Saham. (Dok. Pixabay)

Jakarta, CNBC Indonesia - Dari Wall Street hingga Shanghai, pasar saham modern telah menjadi urat nadi perekonomian global. Di sinilah modal dikumpulkan, inovasi didorong, dan kekayaan masyarakat dunia terbentuk. Namun, meski total nilai kapitalisasi pasar ekuitas global mencapai US$127 triliun atau sekitar Rp 2,07 juta triliun.

Kendati mengalir deras tetapi persebarannya tidak merata, hanya segelintir negara yang mendominasi peta finansial dunia.

Sebuah visualisasi terbaru dari seri Markets in a Minute yang bekerja sama dengan Terzo menyoroti bagaimana kapitalisasi pasar saham global tersebar di berbagai wilayah, berdasarkan data Securities Industry and Financial Markets Association (SIFMA). Angka ini mencerminkan nilai perusahaan domestik yang terdaftar publik, tanpa menyertakan ekuitas swasta maupun aset alternatif.

Berikut tabel distribusi yang menggambarkan bagaimana US$127 triliun ekuitas global terkonsentrasi di beberapa pusat keuangan utama:

Pasar saham Amerika Serikat (AS) jauh melampaui negara lain, mencakup hampir setengah dari total ekuitas global. Dari sisi pertumbuhan, AS juga mencatat lonjakan 7% pangsa global hanya dalam setahun yakni pada 2023 hingga 2024, kenaikan terbesar dibandingkan semua negara dan kawasan lain.

Secara historis, dominasi ini mengalami pasang surut. Pada awal 1970-an, AS pernah menguasai sekitar 70% pasar saham global. Namun, pada 1980-an, posisinya tergerus oleh menguatnya Jepang melalui asset price bubble. Krisis finansial global 2008-2009 kembali memangkas dominasi AS ke titik rendah.

Selama 15 tahun terakhir, pasar ekuitas AS bangkit, naik dari 30% menjadi 49% dari kapitalisasi global, didorong oleh pertumbuhan raksasa teknologi seperti Apple, Microsoft, Alphabet, hingga Tesla.

Kemudian China menempati posisi kedua, meski nilainya masih lima kali lebih kecil dibanding AS. Menariknya, pangsa pasar saham China justru lebih rendah dibanding kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dunia.

Ada beberapa faktor utama di balik fenomena ini, yakni pembatasan kepemilikan asing yang membatasi partisipasi investor global. Bahkan dominasi perusahaan milik negara (BUMN) yang sahamnya tidak sepenuhnya diperdagangkan bebas. Hingga kurangnya transparansi dan regulasi pasar yang membuat investor internasional lebih berhati-hati. Dengan kata lain, meskipun ekonominya masif, pasar modal China belum sepenuhnya mencerminkan skala perekonomiannya.

Dari Uni Eropa secara kolektif menyumbang hampir 9% ekuitas global. Namun tren beberapa tahun terakhir menunjukkan penurunan. Dari 2023 ke 2024, pangsanya merosot sekitar 2%, berbeda dengan Tiongkok yang stabil.

Beberapa faktor yang menekan pasar saham Eropa, mulai dari gejolak politik di beberapa negara anggota, pertumbuhan ekonomi yang lambat dibandingkan AS dan Asia, hingga arus keluar ekuitas, di mana banyak investor global mengalihkan dana ke pasar lain yang lebih prospektif.

Perusahaan-perusahaan besar Eropa masih memainkan peran penting terutama di sektor energi, farmasi, dan manufaktur, namun daya tarik kawasan ini melemah dalam kancah persaingan global.

Sementara dari Kawasan lain, Jepang yang pernah menjadi pusat dominasi pada era 1980-an, kini menempati posisi keempat.

Inggris, meski keluar dari Uni Eropa, masih mempertahankan posisi kuat melalui London Stock Exchange (LSE).

Pasar negara berkembang seperti India dan Brasil mulai mencatat pertumbuhan signifikan, meskipun secara total nilainya masih kecil dibanding AS maupun China.

Dengan melihat distribusi nilai pasar saham ini, investor dapat memahami pola konsentrasi modal dunia, di mana AS tetap menjadi pusat gravitasi, didorong oleh perusahaan teknologi dan inovasi.

Sementara Asia terutama China dan India menawarkan potensi jangka panjang, meski penuh risiko regulasi. Dan Eropa menghadapi tantangan struktural, namun masih relevan di sektor-sektor tertentu.

Bagi investor, informasi ini penting untuk diversifikasi portofolio, agar tidak terlalu terpapar pada satu kawasan. Kemudian untuk menimbang risiko geopolitik dan ekonomi, terutama di negara dengan regulasi ketat. Dan menentukan alokasi geografis, sesuai dengan profil risiko dan tujuan investasi jangka panjang.


Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(saw/saw)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation