"Awan Gelap" IHSG & Rupiah Belum Berakhir, Masih Banyak Kabar Buruk
- Pasar keuangan Indonesia beregrak beragam pada perdagangan kemarin, IHSG melemah sementara rupiah menguat
- Wall Street kembali ditutup beragam, Dow Jones melemah sementara Nasdaq dan S&P 500 menguat
- Data dari AS, restrukturisasi bank, hingga rupiah yang masih lemah diperkirakan akan menjadi sentimen pasar hari ini
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak beragam pada perdagangan kemarin, Selasa (25/6/2024). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun sedangkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat sementara Surat Berharga Negara (SBN) kembali dilirik investor.
Pasar keuangan diperkirakan masih bergerak cukup volatil pada hari ini, Rabu (26/6/2024) dengan terdapat beberapa sentimen yang telah rilis kemarin dan agenda hari ini. Selengkapnya mengenai proyeksi dan sentimen pasar pekan ini bisa dibaca pada halaman 3 artikel ini
IHSG pada perdagangan kemarin, Selasa (25/6/2024) ditutup di zona merah dan telah mematahkan tren penguatan selama tiga hari beruntun. Pada akhir perdagangan kemarin, IHSG berakhir di 6.882,7 atau melemah 0,09% dalam sehari.
Ada sebanyak 23,47 juta lembar saham yang berpindah tangan hingga 731,348 kali, sehingga total transaksi kemarin mencapai Rp27,18 triliun. Adapun 241 saham menguat, 308 saham turun, sementara sisanya 234 saham cenderung stagnan.
Nilai transaksi kemarin terpantau cukup besar, namun ini didominasi oleh transaksi nego yang terjadi di saham PT Amman Mineral International Tbk (AMMN) sebanyak Rp17,52 triliun. Total transaksi ini melibatkan 103.414.217 lot saham di harga Rp 1.695/saham.
Lebih lanjut, pelemahan IHSG kemarin ditekan oleh saham PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) sebesar 6,87 poin, PT MD Pictures Tbk (FILM) 2,29 poin, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) 2,19 poin, dan PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk 2,18 poin.
Sementara dari pasar mata uang, rupiah kembali menguat terhadap dolar AS pada penutupan kemarin sebesar 0,12% ke angka Rp16.370/US$. Apresiasi rupiah ini sejalan dengan penguatan rupiah yang terjadi di awal pekan ini sebesar 0,33%.
Penguatan rupiah terjadi setelah diselenggarakan Konferensi Pers terkait Kondisi Fundamental Ekonomi Terkini dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.
Baik pemerintah maupun tim Prabowo menegaskan jika pemerintahan Prabowo-Gibran Rakabuming Raka akan tetap menjalankan APBN 2025 secara prudent, termasuk dengan tetap menetapkan ambang defisit maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) serta rasio utang terhadap PDB sebesar 60%.
Pernyataan ini menjawab kekhawatiran banyak pihak jika belanja pemerintahan Prabowo akan membuat defisit ke atas 3% dan rasio utang mendekati 60%.
Sementara itu, ekonomi Indonesia diperkirakan masih akan tumbuh stabil di atas 5% hingga 2025.
Menurut laporan Bank Dunia berjudul Indonesia Economic Prospects, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia diperkirakan mencapai rata-rata 5,1% per tahun pada 2024 hingga 2026.
Namun demikian, Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani mengatakan pengelolaan APBN tahun depan tergolong cukup berat, mengingat selain akan adanya program Makan Bergizi Gratis (MBG) dengan anggaran Rp71 triliun, juga terdapat utang jatuh tempo dengan jumlah cukup besar yakni Rp800,33 triliun yang terdiri dari SBN Rp 705,5 triliun dan pinjaman Rp 94,83 triliun.
"Nah ini kan yang masih banyak menjadi pertanyaan orang. Saya rasa memang pengelolaan APBN tahun depan itu agak berat, karena kan utang jatuh temponya cukup besar," tutur Aviliani.
Selanjutnya, beralih pada imbal hasil SBN yang bertenor 10 tahun terpantau mengalami penurunan dari 7,097% menjadi 7,067%.
Penurunan imbal hasil ini merupakan yang terendah sejak 13 Juni 2024 atau sekitar dia minggu terakhir.
Perlu diketahui, hubungan yield dan harga pada SBN ini berbanding terbalik, artinya ketika yield turun berarti harga obligasi naik, hal ini menunjukkan minat investor mulai kembali lagi ke SBN.
(rev/rev)