
Tanda 'Kiamat' Batu Bara Makin Jelas, Harga Emas Hitam Turun Hampir 1%

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara global melemah seiring dengan menurunnya penggunaan energi dari batu bara dibandingkan energi terbarukan di China, konsumen emas hitam terbesar di dunia.
Harga batu bara ICE Newcastle untuk kontrak Juli pada perdagangan Selasa (18/6/2024) ditutup di posisi US$134,9 per troy ons, turun 0,4% dari harga sebelumnya.
China menghasilkan listrik dalam jumlah besar dari pembangkit listrik tenaga angin dan surya, sebagai hasil dari penerapan kapasitas pembangkit tambahan selama dua tahun terakhir pada Mei 2024.
Pembangkitan tenaga angin meningkat menjadi 77 miliar kWh dari 74 miliar kWh pada Mei 2023 dan 59 miliar kWh pada Mei 2022, menurut data yang diterbitkan oleh Biro Statistik Nasional. Pada bulan yang sama, pembangkitan tenaga surya melonjak menjadi 36 miliar kWh dari 24 miliar kWh pada tahun lalu dan 21 miliar kWh pada 2022.
Peningkatan dari pembangkit listrik tenaga air (+33 miliar kWh), tenaga surya (+12 miliar kWh) dan angin (+3 miliar kWh) pada bulan lalu sudah lebih dari cukup untuk memenuhi pertumbuhan konsumsi sekaligus mengurangi kebutuhan tenaga panas (-17 miliar kWh).
Pembangkitan listrik tenaga panas, yang sebagian besar berasal dari pembangkit listrik tenaga batu bara, menurun menjadi 454 miliar kWh pada Mei 2024 dari rekor musiman sebesar 471 miliar kWh pada Mei 2023. Pembakaran batu bara yang lebih rendah berarti emisi karbon dioksida yang lebih rendah membantu kemajuan menuju target emisi pemerintah yang mencapai puncaknya sebelum tahun 2030.
Kemajuan jangka panjang menuju puncak emisi akan bergantung pada pertumbuhan energi angin, tenaga surya, dan nuklir, serta kebijakan untuk meningkatkan efisiensi energi dan mengurangi pertumbuhan beban.
Hujan lebat di musim semi di China telah memungkinkan negara tersebut untuk meningkatkan produksi pembangkit listrik tenaga air secara tajam dan mengurangi kebutuhan pembangkit listrik tenaga batu bara pada Mei.
Pembangkit listrik tenaga air melonjak menjadi 115 miliar kilowatt-jam (kWh) pada Mei 2024, naik dari 82 miliar kWh pada bulan yang sama tahun lalu, ketika kekeringan berkepanjangan menurunkan permukaan sungai.
Pembangkit listrik tenaga air merupakan yang tertinggi kedua sepanjang tahun dalam dekade terakhir dan tidak jauh di bawah rekor 122 miliar kWh setelah hujan lebat pada musim semi tahun 2022.
Inti dari sistem ini adalah serangkaian enam pembangkit listrik bertingkat yang sangat besar, membentang sepanjang 1.800 kilometer (1.118 mil) di sepanjang Sungai Yangtze, dengan 110 generator individual dan gabungan output maksimum sebesar 72 juta kilowatt (kW).
Stasiun-stasiun di Wudongde, Baihetan, Xiluodu, Xiangjiaba, Three Gorges dan Gezhouba dapat memenuhi kebutuhan listrik tahunan bagi 54 juta orang dan menghemat hingga 15 juta metrik ton batu bara jika dimanfaatkan sepenuhnya, menurut Xinhua.
Namun kekeringan yang berkepanjangan antara pertengahan tahun 2022 dan akhir tahun 2023 menyebabkan pembangkitan listrik berkurang tajam, termasuk di Baihetan yang baru selesai, proyek pembangkit listrik tenaga air terbesar kedua di dunia.
Namun, sejak awal bulan April, hujan musim semi di China bagian selatan lebih deras dari rata-rata, sehingga meningkatkan volume sungai dan memungkinkan lebih banyak pemanfaatan pembangkit listrik tenaga air.
Sistem ini bersiap menghadapi datangnya curah hujan yang lebih deras pada bulan Juli dan Agustus selama fase basah Monsun Asia Timur.
Jika curah hujan monsun rata-rata atau lebih tinggi, pembangkitan listrik kemungkinan akan mencapai rekor tertinggi pada musim panas ini, melampaui rekor tertinggi sebelumnya empat tahun lalu, mengingat peningkatan kapasitas secara besar-besaran sejak tahun 2020.
Pada tahun 2020, China telah memasang 370 juta kW pembangkit listrik tenaga air dan menghasilkan rekor 1,214 miliar kWh sepanjang tahun. Pada tahun 2024, kapasitas meningkat sebesar 14% menjadi 423 juta kW, sehingga berpotensi mencetak rekor baru.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(ras/ras)