polling CNBC Indonesia

Suara Defisit Neraca Dagang Mulai Muncul, Rekor 48 Bulan Bakal Pupus?

Revo M, CNBC Indonesia
18 June 2024 16:24
Pelindo Terminal Petikemas
Foto: dok Pelindo Terminal Petikemas

Jakarta, CNBC Indonesia - Neraca perdagangan diproyeksi masih berada di zona surplus periode Mei 2024. Namun suara defisit di polling kali ini sudah mulai muncul di tengah dominasi proyeksi surplus.

Sebagai catatan, Badan Pusat Statistik (BPS) akan merilis data perdagangan internasional Indonesia periode Mei 2024 pada Rabu (19/6/2024).

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 10 lembaga memperkirakan surplus neraca perdagangan pada Mei 2024 akan mencapai US$2,65 miliar.

Surplus tersebut turun dibandingkan April 2024 yang mencapai US$3,56 miliar. Jika neraca perdagangan kembali mencetak surplus maka Indonesia sudah membukukan surplus selama 49 bulan beruntun sejak Mei 2020.

Konsensus juga menunjukkan bahwa ekspor masih akan tumbuh 1,34% (year on year/yoy) sementara impor turun 9,39% (yoy) pada Mei 2024.

Surplus neraca perdagangan kali ini diperkirakan masih akan terjadi di tengah harga komoditas andalan Indonesia yakni batu bara dan sawit (CPO) yang masih cukup terjaga.

Sepanjang Mei 2024, harga batu bara mengalami penurunan tipis 1,57% dari sekitar US$143/ton menjadi US$140,75/ton. Sedangkan pergerakan harga batu bara di Mei 2024 rata-rata berada di level US$142/ton.

Stabilnya harga batu bara belakangan ini terjadi di tengah gelombang panas di seluruh Asia yang telah meningkatkan permintaan regional, sehingga menopang harga batu bara secara global.

China masih menjadi penahan penurunan harga batu bara lebih dalam, karena permintaan akan batu bara di negara tersebut masih cukup tinggi. China merupakan konsumen terbesar batu bara di dunia.

Hal ini lantaran proyeksi ekonomi China diperkirakan menuju ke arah positif, membuat pertumbuhan yang lebih tinggi di China akan ikut mendongkrak aktivitas bisnis dan permintaan listrik yang pada akhirnya mengerek permintaan batu bara.

Sebelumnya pada akhir bulan lalu, International Monetary Fund (IMF) menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi China menjadi 5% pada 2024. Hal ini didukung dengan data ekonomi yang tampak membaik belakangan ini.

Proyeksi baru ini muncul setelah China meningkatkan upayanya untuk menopang pemulihan yang tidak merata di negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia tersebut, yang mengalami kesulitan dalam menghadapi krisis properti yang berkepanjangan dan dampak buruknya terhadap investor, konsumen, dan dunia usaha.

Sementara harga sawit cenderung mengalami kenaikan dari MYR 3.818/ton menjadi MYR 4.076/ton atau menguat 6,75% sepanjang Mei 2024 dengan rata-rata pergerakan harga di level MYR 3.892/ton.

Lebih lanjut, dalam siaran pers Kementerian Perdagangan untuk Harga Referensi (HR) CPO untuk penetapan Bea Keluar (BK) dan tarif Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BLU BPD-PKS), atau biasa disebut Pungutan Ekspor (PE), untuk periode Mei 2024 adalah sebesar US$877,28/MT. Nilai ini meningkat sebesar US$ 19,67atau 2,29% dari periode April 2024 yang tercatat sebesar US$857,62/MT.

Peningkatan HR CPO ini dipengaruhi oleh adanya peningkatan permintaan sebagai langkah antisipatif untuk Idulfitri, sedangkan produksi sawit di Malaysia dan Indonesia menurun akibat anomali cuaca serta perkembangan konflik antara Ukraina dan Rusia, serta Iran dan Israel yang berdampak pada fluktuasi harga minyak mentah (crude oil) dan minyak nabati lainnya.

Kendati kenaikan harga CPO cukup menguntungkan Indonesia yang merupakan eksportir komoditas tersebut, namun Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memprediksi ekspor minyak sawit mengalami penurunan tahun ini. Hal ini didorong oleh adanya potensi peningkatan konsumsi jika program biodiesel B40 diterapkan.

Untuk diketahui, laju ekspor minyak sawit tercatat mengalami penurunan sejak 2019 lalu. Di mana pada saat itu, volume ekspor mencapai 37,4 juta ton, yang kemudian turun menjadi 34 juta ton pada 2020.

Tren penurunan ini terus berlanjut pada 2021, di mana volume ekspor di 2021 hanya mencapai 33,6 juta ton, kemudian pada 2022 naik tipis menjadi 33,9 juta ton.

Di tengah optimisme ekspor yang melebihi impor pada Mei 2024 ini, CIMB Niaga Group memiliki perspektif yang berbeda dibandingkan kesembilan institusi lainnya.

CIMB Niaga Group memproyeksi akan terjadinya defisit sebesar US$0,65 miliar pada neraca perdagangan Mei 2024. Bahkan CIMB juga memperkirakan pada Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) 20 Juni nanti, BI akan kembali menahan suku bunganya di level 6,25%.

Jika hal tersebut benar terjadi, maka surplus neraca perdagangan Indonesia akan terhenti pada 48 bulan beruntun atau tak mampu melampaui tren surplus neraca perdagangan era Presiden Soeharto periode Maret 1987-Februari 1991 yang juga mencatatkan surplus 48 bulan beruntun.

CNBC INDONESIA RESEARCH

research@c

(rev/rev)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation