polling CNBC Indonesia

'Bolongnya Neraka' Ternyata Bisa Jadi Berkah Bagi Indonesia

Revo M, CNBC Indonesia
14 May 2024 17:50
Pekerja melakukan aktivitas bongkar muat kontainer di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (4/3/2022). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Pekerja melakukan aktivitas bongkar muat kontainer di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (4/3/2022). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Surplus neraca perdagangan diproyeksi masih berada di zona surplus periode April 2024. Kendati surplus, namun neraca perdagangan kali ini diperkirakan akan lebih rendah dibandingkan Maret 2024.

Badan Pusat Statistik (BPS) akan merilis data perdagangan internasional Indonesia periode April 2024 pada Rabu (15/5/2024).

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 12 lembaga memperkirakan surplus neraca perdagangan pada April 2024 akan mencapai US$3,24 miliar.

Surplus tersebut turun dibandingkan Maret 2024 yang mencapai US$4,47 miliar. Jika neraca perdagangan kembali mencetak surplus maka Indonesia sudah membukukan surplus selama 48 bulan beruntun.

Konsensus juga menunjukkan bahwa ekspor akan tumbuh 4,36% (year on year/yoy) sementara impor naik 10,23% (yoy) pada April 2024. Ekspor dan impor diperkirakan masih mengalami pertumbuhan di tengah gejolak ekonomi dan ketidakstabilan global.

Ekspor diperkirakan akan mengalami kenaikan di tengah harga komoditas yang sepanjang April mengalami apresiasi untuk batu bara sementara sawit (CPO) cenderung mengalami penurunan.

Sepanjang April 2024, harga batu bara mengalami kenaikan 8,33% dari sekitar US$132/ton menjadi US$143/ton.

Lonjakan harga batu bara tersebut terjadi akibat suhu dan perubahan iklim yang drastis.

Sejumlah negara Asia tengah dilanda suhu panas yang luar biasa. Ramai-ramai tetangga RI kini diserang "neraka bolong". Ini mengindikasikan cuaca panas ekstrem yang terjadi saat ini akibat meningkatnya suhu bumi.

Kondisi ini meningkatkan permintaan batu bara di Asia karena tingginya penggunaan listrik untuk pendingin ruangan. Kekeringan dan suhu panas juga akan membuat sumber daya air berkurang sehingga pembangkit tenaga listrik akan berkurang kapasitasnya.

Setidaknya hal itu terjadi di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Mulai dari India, Bangladesh lalu Filipina, Thailand, Kamboja, Myanmar, dan Vietnam.

Hal ini berdampak positif bagi permintaan ekspor batu bara dari Indonesia mengalami peningkatan signifikan pada kuartal I-2024.

Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) menjelaskan selama kuartal I 2024, terdapat peningkatan permintaan batu bara RI dari negara tetangga dan Asia. Peningkatan permintaan batu bara ini terefleksi dari peningkatan jumlah ekspor ke Vietnam, India dan China.

"Vietnam meningkatkan impor batu bara, gas bahkan listrik untuk memastikan tidak terjadi shortage energi seperti tahun sebelumnya. Hal ini terjadi karena kekeringan yang membuat performa PLTA di bawah kapasitas," kata Deputi Executive Director APBI, Gita Mahyarani kepada CNBC Indonesia, Selasa (7/5/2024).

Sementara harga sawit cenderung mengalami penurunan dari MYR 4.194/ton menjadi MYR 3.818/ton atau turun 8,97% sepanjang April 2024.

Sentimen negatif berasal dari meningkatnya spekulasi akan produksi, melemahnya ekspor, dan penurunan harga minyak kedelai di Chicago Board of Trade (CBOT). Asosiasi Penggilingan Minyak Sawit Semenanjung Selatan memperkirakan produksi minyak sawit pada 1-25 April 2024 naik 4,11% dibandingkan bulan sebelumnya.

Sementara itu, data surveyor kargo dari Intertek Testing Services dan Amspec Agri Malaysia menunjukkan pengiriman minyak sawit Malaysia menyusut antara 9% dan 11,5% pada bulan April 2024.

Di Indonesia, pengiriman minyak sawit pada bulan Februari 2024 tercatat turun 25% karena pembeli beralih ke produk substitusi yang lebih murah. Di sisi lain, penurunan harga CPO tertahan oleh impor minyak sawit India yang meningkat 41% pada bulan Maret 2024 lalu

Menanggapi ambruknya harga sawit diikuti dengan pelemahan rupiah yang terjadi pasca lebaran 2024, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono menyebut pelemahan rupiah memang akan membuat harga di dalam negeri menjadi naik, sehingga menguntungkan untuk ekspor. Namun demikian, jika pelemahan itu berlangsung lama maka biaya produksi pun akan ikut naik, karena pupuk sebagian besarnya masih didapat dari impor.

Menggeliatnya ekonomi di sejumlah negara mitra dagang juga ikut menopang surplus April. Negara mitra dagang utama Indonesia mulai menunjukkan peningkatan aktivitas manufaktur yang pada akhirnya berdampak pada permintaan impor.

Surplus 48 Bulan Beruntun Sandingi Era Soeharto?

Bila neraca perdagangan berlanjut pada April 2024 maka Indonesia akan membukukan surplus selama 48 bulan beruntun. Catatan surplus menjadi pencapaian Presiden Joko Widodo (Jokowi) karena menjadi yang terpanjang di Era Reformasi dan salah satu yang terbaik dalam sejarah Indonesia.

Pencapaian ini juga terbilang luar biasa mengingat neraca dagang Indonesia pada 2018 hingga 2019 lebih kerap diwarnai defisit. Pada periode Juli 2018-Januari 2020, neraca dagang mencatat defisit 13 kali defisit dan lima kali.

Setelah melewati pencapaian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yakni surplus selama 42 bulan, Jokowi diproyeksi juga telah melewati salah satu pencapaian terbaik di era Soeharto yakni surplus selama 46 bulan beruntun pada Februari 2024.

Patut dicermati yakni rekor surplus Soeharto sempat juga tercipta pada Maret 1987 hingga Februari 1991 atau 48 bulan beruntun.

Jika surplus neraca perdagangan kali ini kembali terjadi, maka prestasi Jokowi semakin bertambah dengan mampu menyandingi surplus di era Soeharto.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation