Fed Pangkas Rate Sekali di 2024: Berkah Apa Bencana Buat Rupiah-IHSG?
- Pasar keuangan Indonesia masih tertekan dan berakhir di zona merah, IHSG dan rupiah kompak melemah
- Wall Street kembali ditutup beragam, indeks S&P kembali cetak rekor
- Keputusan suku bunga The Fed, data inflasi AS dan China akan menggerakkan sentimen pasar hari ini
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan RI berakhir di zona merah lagi pada perdagangan kemarin, Rabu (12/6/2024). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) koreksi tipis, rupiah tertekan lagi, sampai obligasi juga masih dibuang investor.
Pasar keuangan Indonesia diperkirakan masih akan tertekan setelah keputusan bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed). Sentimen selengkapnya yang potensi mempengaruhi pasar pada hari ini, Kamis (13/6/2024) silahkan dibaca pada halaman tiga artikel ini.
Dari pasar saham terlebih dahulu, IHSG pada perdagangan kemarin, Rabu (12/6/2024) terpantau koreksi lagi sebesar 5,59 poin atau 0,08% ke posisi 6.850,09.
Sudah dua hari beruntun IHSG berakhir di zona merah dan saat ini posisinya sudah semakin setara dengan level terendah sejak November 2023 lalu.
Transaksi indeks kemarin terbilang sudah mulai membaik dan akhirnya kembali menembus angka di atas Rp10 triliun. Pasalnya, dalam empat hari terakhir transaksi bursa cenderung sepi.
Nilai transaksi kemarin melibatkan 19,88 miliar lembar saham yang telah berpindah tangan sebanyak 894.969 kali. Adapun 418 saham tercatat koreksi, 141 saham menguat, sementara 224 saham tidak ada perubahan.
IHSG yang tergelincir kemarin juga terjadi seiring dengan aksi jual asing masih masif. Dalam sehari asing keluar bersih Rp746,96 miliar dari keseluruhan pasar, rinciannya di pasar regional net sell mencapai Rp805,31, sementara untuk pasar nego dan transaksi masih net buy sebanyak Rp58,35 miliar.
Saham perbankan besar masih menjadi top net sell kemarin, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) dibuang paling banyak, mencapai Rp246,6 miliar, kemudian PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) masing-masing Rp87,2 miliar dan Rp78,7 miliar.
Sebagai catatan, keluarnya asing dari BMRI membuat harga saham tergelincir lebih dari 3% dan menjadi pemberat IHSG paling signifikan, mencapai 18,25 poin.
Ada lagi dua emiten yang dibuang asing, tapi harga saham-nya masih bertahan positif, yakni PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) sebanyak Rp64 miliar dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) Rp63 miliar.
Flow asing yang masih keluar ini juga berimplikasi pada gerak nilai tukar rupiah yang ikut tertekan di hadapan dolar AS. Melansir data Refintiiv, mata uang Garuda melemah 0,03% di angka Rp16.290/US$ pada kemarin, Rabu (12/6/2024).
Depresiasi rupiah ini sejalan dengan penutupan perdagangan kemarin, Selasa (11/6/2024) yang melemah sebesar 0,06% dan menandai mata uang RI telah depresiasi tiga hari beruntun.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede mengungkapkan pelemahan rupiah saat ini terjadi karena faktor musiman, yakni penyelenggaraan ibadah haji dan pembayaran bunga utang pemerintah dalam mata uang dolar. Selain itu, kata dia, pelemahan Rupiah ini juga terjadi karena pelaku pasar tengah menanti pengumuman data inflasi AS yang akan dilakukan pekan ini.
"Ini minggu penting, artinya market menanti rilis inflasi AS bulan Mei yang diperkirakan secara tahunan akan flat, tapi secara bulanan cenderung lebih rendah," katanya.
Dia mengakui pasar memang agak cemas untuk urusan suku bunga acuan bank sentral AS (The Fed). Apalagi setelah AS mengumumkan data tenaga kerja yang lebih tinggi dari ekspektasi. Rilis data tenaga kerja itu, kata dia, membuat ekspektasi pasar terhadap pemangkasan Fed Fund Rate kembali turun dari yang tadinya 50 basis point pada akhir tahun 2024, menjadi hanya 25 basis poin.
"Dinamika ekspektasi arah suku bunga The Fed ini berdampak juga pada penguatan dolar indeks," kata dia.
Jika suku bunga The Fed berada di level yang cukup tinggi dalam waktu yang lama, maka tekanan terhadap mata uang Garuda akan terus terjadi.
Beralih ke pasar obligasi, pada perdagangan kemarin terpantau masih cukup berat tercermin dari yield obligasi acuan RI bertenor 10 tahun yang masih berada di level 7%, dan menandai kenaikan selama tiga hari beruntun.
Perlu dipahami bahwa kenaikan yield berbanding terbalik dengan harga yang malah semakin turun. Ini kemudian mencerminkan kondisi obligasi Indonesia yang masih dijual investor.
(tsn/tsn)