Newsletter

The Fed Diramal Pangkas Suku Bunga 2x, IHSG Bakal Pesta Pora?

Robertus Andrianto, CNBC Indonesia
Rabu, 05/06/2024 06:00 WIB
Foto: Ketua The Fed Jerome Powell. (AFP/SAUL LOEB)
  • Investor wait and see mencermati rilis dat-data tenaga kerja AS yang berpengaruh terhadap keputusan The Fed soal suku bunga
  • PMI Manufaktur AS yang lemah ditambah data tenaga kerja JOLTs yang lesu membuat pasar yakin suku bunga The Fed akan turun tahun ini
  • Pelaku pasar yakin suku bunga The Fed turun 2 kali tahun ini

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia berhasil mencatatkan penguatan selama dua hari beruntun. Akan tetapi penguatan tersebut masih terbatas karena investor masih menunggu rilis data-data penunjang kebijakan moneter bank sentral.

Investor terus mencermati bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve terkait kapan tren suku bunga tinggi dapat berakhir.

Data-data makro AS dan komentar-komentar para pejabat The Fed bisa menjadi petunjuk, yang telah dirangkum oleh Tim riset CNBC Indonesia di halaman tiga. Beserta agenda penting yang dapat menjadi sentimen penggerak pasar keuangan Indonesia di halaman empat.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melesat 0,9% ke posisi 7.099,31 pada perdagangan Selasa (4/6/2024). IHSG sempat melesat lebih dari 1% dan juga sempat menyentuh kembali level psikologis 7.100. Namun di akhir perdagangan, penguatan IHSG sedikit terpangkas dan tetap bertahan di level psikologis 7.000.

Nilai transaksi indeks pada akhir perdagangan kemarin mencapai sekitar Rp 12 triliun dengan melibatkan 17 miliar lembar saham yang diperdagangkan sebanyak 1,1 juta kali. Sebanyak 291 saham terapresiasi, 273 saham terdepresiasi, dan 214 saham cenderung stabil.

Secara sektoral, sektor konsumer non-primer menjadi penopang terbesar IHSG di akhir perdagangan kemarin, yakni mencapai 1,23%.

Saham emiten pertambangan mineral Grup Salim yakni PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN) menjadi penopang terbesar IHSG pada hari ini yakni mencapai 35,9 indeks poin.

IHSG kembali bergairahnya di tengah melandainya kembali imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) masih mencatatkan penurunan hingga Senin kemarin, membuat pasar kembali berselera untuk memburu aset berisiko.

Yield obligasi pemerintah AS (US Treasury) acuan tenor 10 tahun langsung turun 12 basis poin (bp) menjadi 4,39%. Penurunan yield Treasury disinyalir karena data aktivitas manufaktur AS yang melemah.

Data aktivitas manufaktur AS yang tergambarkan pada Purchasing Manager's Index (PMI) versi ISM periode Mei 2024 turun ke angka 48,7, dari sebelumnya di angka 49,2 pada April lalu. Hal ini menandakan bahwa aktivitas manufaktur Negeri Paman Sam makin berkontraksi.

PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika di atas 50, maka artinya dunia usaha sedang dalam fase ekspansi. Berlaku juga sebaliknya.

Sementara itu mata uang rupiah perkasa di hadapan dolar AS. Dilansir dari Refinitiv, rupiah ditutup menguat tipis 0,06% di angka Rp16.215/US$ pada hari ini, Selasa (4/6/2024).

Rupiah menguat di tengah deflasi sebesar 0,03% month-to-month secara bulanan pada periode Mei akibat turunnya harga pangan. Terutama beras yang mengalami deflasi 0,15% mom.

Secara tahunan tumbuh sebesar 2,84% atau lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia dari 13 institusi memperkirakan inflasi Mei 2024 diperkirakan menembus 2,94% year on year/yoy.

Inflasi yang lebih rendah ini dinilai cukup baik karena hal ini terpantau akan lebih menggerakkan perekonomian di tengah kemampuan konsumsi masyarakat yang belum begitu pulih dengan baik.

 


(ras/ras)
Pages