Newsletter

Waspada! Amerika Buat Dunia Cemas: IHSG Bisa Longsor ke Bawah 7.000?

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
Jumat, 31/05/2024 06:01 WIB
Foto: Infografis/ Nah Lho! 2 Negara Ini Diramal Kena Krisis Ekonomi di 2024/ Ilham Restu
  • Pasar keuangan Tanah Air terpantau kembali merana pada perdagangan Kamis kemarin, karena naiknya yield Treasury AS dan indeks dolar
  • Wall Street kembali babak belur di tengah wait and see investor menunggu data inflasi
  • Pasar keuangan Indonesia diperkirakan masih loyo menjelang akhir pekan karena investor menunggu data-data dari AS

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Tanah Air kembali ditutup merana pada perdagangan Kamis (30/5/2024) kemarin, terbebani oleh naiknya imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) serta kencangnya arus modal asing yang keluar.

Pasar keuangan Indonesia diperkirakan masih tertekan pada hari ini karena investor menunggu data-data dari Amerika Serikat (AS). Selengkapnya mengenai sent8imen hari ini bisa dibaca pada halaman 3.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan kemarin kembali ditutup ambruk 1,49% ke posisi 7.034,14. Bahkan, IHSG sempat menyentuh level psikologis 6.900, di mana terakhir kali IHSG menyentuh level psikologis ini pada November 2023.

Nilai transaksi IHSG pada kemarin mencapai sekitar Rp 14 triliun dengan melibatkan 19miliar saham yang berpindah tangan sebanyak 1,2 juta kali. Sebanyak185saham bertambah,349 saham terkoreksi, dan 242 saham cenderung stagnan.

Aksi jual (net sell) investor asing pada perdagangan kemarin masih cukup tinggi yakni mencapai Rp Rp 1,11 triliun di pasar reguler.

Secara sektoral, sektor bahan baku menjadi penekan terbesar IHSG pada akhir perdagangan kemarin, yakni mencapai 2,1%.

Sedangkan di bursa Asia-Pasifik kemarin, secara mayoritas kembali melemah. Hanya Straits Times Singapura dan SET Thailand yang berhasil menguat kemarin.

Berikut pergerakan IHSG dan bursa Asia-Pasifik pada perdagangan Kamis kemarin.

Sedangkan untuk mata uang rupiah pada perdagangan kemarin kembali ditutup terdepresiasi di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).

Berdasarkan data Refinitiv, rupiah mengakhiri perdagangan kemarin di posisi Rp 16.255/US$ di pasar spot, melemah 0,62%. Rupiah diketahui sudah terkoreksi selama empat hari beruntun.

Sementara di Asia, mata uangnya terpantau beragam kemarin. Selain rupiah, ada dolar Hong Kong, won Korea Selatan, peso Filipina, dan dolar Taiwan yang juga melemah di hadapan The Greenback kemarin. Namun sayangnya, rupiah kembali menjadi yang terburuk di Asia.

Berikut pergerakan rupiah dan mata uang Asia pada perdagangan Kamis kemarin.

Adapun di pasar surat berharga negara (SBN), pada perdagangan kemarin masih melanjutkan pelemahan, terlihat dari yield yang terus mencatatkan kenaikan.

Melansir data dari Refinitiv, imbal hasil (yield) SBN tenor 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara terpantau kembali naik 1,5 basis poin (bp) menjadi 6,947%. Yield SBN 10 tahun semakin mendekati level 7%.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%. Ketika yield naik, maka tandanya investor sedang melepas SBN.

Melonjaknya yield obligasi pemerintah AS (US Treasury) menjadi sentimen negatif bagi pasar keuangan, bahkan pasar saham global.

Kenaikan yield Treasury ini terjadi karena investor mempertimbangkan keadaan perekonomian Negeri Paman Sam dan mencerna lelang obligasi lima tahun yang buruk.

Sementara itu, kuatnya dolar AS membuat mata uang di Asia cenderung kembali bertumbangan, meski pada akhirnya cenderung bervariasi.

Indeks dolar AS (DXY) mengalami penguatan sebesar 0,52% ke angka 105,16 atau lebih tinggi dibandingkan penutupan perdagangan kemarin yang stagnan 0%.

Kuatnya ekonomi AS menjadi pendorong penguatan DXY hingga akhirnya menekan mata uang lainnya. Hal ini terjadi setelah indeks kepercayaan konsumen Negeri Paman Sam kembali membaik.

Indeks kepercayaan konsumen (IKK) AS naik pada Mei menjadi 102, dari 97,5 pada bulan sebelumnya.

Keyakinan konsumen yang meningkat menunjukkan daya beli masyarakat AS masih kuat di tengah kekhawatiran inflasi dan era suku bunga tinggi. Hal ini bisa memicu kebijakan hawkish bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) berlanjut.

Adapun inflasi AS saat ini berada di angka 3,4% (year-on-year/yoy). Angka ini memang lebih rendah dibandingkan kenaikan pada Maret 2024 yang berada di angka 3,5% yoy.

Namun demikian, inflasi AS ini masih jauh di atas target The Fed yakni di angka 2%. Oleh karena itu, kebijakan higher for longer masih akan menjadi keputusan The Fed setidaknya dalam jangka waktu dekat.


(chd/chd)
Pages