
Waspada! Amerika Buat Dunia Cemas: IHSG Bisa Longsor ke Bawah 7.000?

Pasar keuangan RI pada perdagangan kemarin kembali merana, di mana IHSG sempat terkoreksi ke bawah level psikologis 7.000 dan rupiah kini berada kembali di level psikologis 16.200.
Ambruknya Wall Street, masih tingginya imbal hasil US Treasury, serta derasnya outflow bisa membuat bursa saham, pasar mata uang dan obligasi tertekan pada hari ini.
IHSG Rawan Jatuh ke Bawah 7.000?
Untuk IHSG, saham PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) kembali menjadi beban IHSG pada Kamis kemarin. Saham BREN sendiri sudah diketahui menyentuh auto reject bawah (ARB) selama dua hari beruntun.
Hal ini karena perdagangan saham BREN memakai sistem full call auction (FCA), karena saham BREN sendiri sudah mendapatkan notasi khusus X dan otomatis masuk ke dalam papan pemantauan khusus.
Menurut Isvan Helmy, Head of Institutional Research Sinarmas Sekuritas mengatakan bahwa IHSG diperkirakan akan berbalik arah ke zona hijau pada hari ini, setelah selama dua hari beruntun ambruk.
Namun, Isvan mengatakan rebound IHSG hanya bersifat sementara, karena tekanan jual asing masih cukup deras di saham-saham perbankan mengingat ada potensi revisi guidance credit cost dari beberapa bank raksasa pada kinerja keuangan kuartal II-2024 nanti.
"Hitungan kami IHSG bisa mencapai bottom di 6,800 dalam beberapa bulan kedepan, based on 12,2 kali P/E atau 2 standar devisasi di bawah rata-rata P/E 10 tahun," ujar Isvan kepada CNBC Indonesia.
Sementara menurut CEO Yugen Bertumbuh Sekuritas, William Surya Wijaya mengatakan bahwa potensi IHSG untuk koreksi hingga ke bawah 7.000 atau tepatnya level psikologis 6.800-6.900 kecil kemungkinan karena risiko sudah terbatas.
"Potensi IHSG ke bawah 7.000-an sudah cukup kecil karena risiko sudah mulai terbatas," ujar William kepada CNBC Indonesia.
Meski begitu, volatilitas IHSG masih cukup tinggi setidaknya hingga hari ini. Terlebih, yield Treasury AS masih tinggii.
Volatilitas yang cenderung tinggi karen investor masih menanti rilis data ekonomi penting yang akan dirilis pada hari ini, terutama data inflasi AS dan Eropa.
Investor asing juga masih memilih keluar dari pasar saham. Dalam sepekan, net sell menembus Rp 5,26 triliun. Dengan imbal hasil US Treasury yang masih tinggi maka ada ancaman outflow masih terus terjadi.
Sebagai catatan, IHSG pada perdagangan kemarin sempat menyentuh level psikologis 6.900, di mana terakhir kali IHSG menyentuh level psikologis ini pada November 2023
Inflasi PCE AS
Hari ini AS akan mengumumkan data konsumsi pribadi warga AS atau PCE. Data inflasi PCE AS periode April 2024 sudah sangat ditunggu-tunggu oleh pelaku pasar global sejak awal pekan ini, karena data ini dapat mempengaruhi ekspektasi arah kebijakan suku bunga The Fed.
Pasar memperkirakan inflasi PCE AS secara tahunan melandai menjadi 2,6%, sedangkan secara bulanan juga cenderung turun menjadi 0,2%. Adapun PCE inti diperkirakan juga turun menjadi di 0,2%.
Jika inflasi PCE benar-benar melandai atau sesuai ekspektasi pasar, maka ada kemungkinan The Fed dapat mengubah sikapnya, meski mereka masih melihat data inflasi utama berikutnya.
Namun sebaliknya, jika inflasi PCE kembali naik, maka pasar akan cenderung pesimis jika suku bunga dapat dipangkas pada tahun ini.
Berdasarkan perangkat CME FedWatch, perkiraan pasar akan pemangkasan suku bunga akan dilakukan pada September mencapai 45,9%, meningkat sedikit dari perdagangan Rabu kemarin yang mencapai 42,1%. Namun, perkiraan Kamis kemarin masih lebih rendah dari pekan lalu yang mencapai 46,4%.
Imbal Hasil US Treasury Turun Tapi Masih dalam Level Tinggi
Imbal hasil US Treasury tenor 10 tahun ditutup di posisi 4,55% pada perdagangan kemarin. Imbal hasil sudah melandai dari posisi sebelumnya yakni 4,62% atau posisi tertinggi sejak akhir April 2024. Kendati melandai, imbal hasil masih terbilang tinggi dibandingkan periode awal bulan hingga 24 Mei 2024 yang berada di level 4,4%.
Imbal hasil yang melonjak ini bisa memicu semakin derasnya capital outflow dari saham dan SBN sehingga membuat rupiah dan bursa tertekan. Investor dikhawatirkan lari ke pasar AS demi mencari cuan yang lebih tinggi dar US Treasury.
Inflasi Eropa
Selain AS, inflasi Eropa periode April 2024 juga akan dicermati oleh pelaku pasar pada hari ini, untuk mengkonfirmasi potensi penurunan suku bunga Eropa yang telah diperkirakan oleh para pelaku pasar untuk pekan depan.
Konsensus pasar Trading Economics memperkirakan inflasi awal Eropa pada bulan lalu cenderung naik sedikit menjadi 2,5% secara tahunan (year-on-year/yoy) dan turun menjadi 0,1% secara bulanan (month-to-month/mtm). Sedangkan inflasi inti Eropa pada bulan lalu diprediksi stabil di 2,7%.
Sebelumnya, anggota dewan pemerintahan bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) yang juga menjabat sebagai kepala bank sentral Finlandia (Suomen Pankki), menekankan inflasi di kawasan euro turun secara "berkelanjutan."
Dia menambahkan bahwa pada Juni mendatang waktunya sudah tiba untuk melonggarkan kebijakan moneter dan mulai menurunkan suku bunga.
Sementara itu, Kepala Ekonom ECB, Philip Lane mengatakan dalam sebuah wawancara dengan Financial Times bahwa jika ada kejutan besar, pada saat ini kita melihat cukup banyak hal yang bisa menghilangkan pembatasan tingkat atas.
Jika data inflasi Eropa terus menunjukkan tanda-tanda mendingin hingga benar-benar menyentuh target ECB, bukan tidak mungkin bank sentral Benua Biru akan memulai terlebih dahulu memangkas suku bunga acuannya dalam waktu dekat.
PMI Manufaktur China
Data PMI manufaktur China periode Mei 2024 akan dirilis. Konsensus pasar dalam Trading Economics memperkirakan PMI manufaktur pada bulan ini cenderung naik sedikit menjadi 50,5.
Diketahui menurut data dari NBS, PMI manufaktur resmi China meningkat pada April lalu mencapai 50,4, menandakan bahwa sektor manufaktur China masih berada di ambang batas 50 poin yang memisahkan pertumbuhan dan kontraksi.
Beberapa indikator utama perekonomian China, khususnya belanja konsumen dan sektor real estate, masih dalam tahap pemulihan, dan pemerintah China telah menerapkan serangkaian kebijakan dan langkah-langkah keuangan yang dampaknya akan terlihat dalam beberapa bulan mendatang.
Bahkan, Dana Moneter Internasional (IMF) menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi China menjadi 5% pada 2024. Hal ini didukung dengan data ekonomi yang tampak membaik belakangan ini.
IMF merevisi pertumbuhan ekonomi China dan menaikkannya dari 4,6% menjadi 5% pada 2024 dan 4,5% pada 2025, didorong oleh data Produk Domestik Bruto kuartal I yang kuat dan langkah-langkah kebijakan terkini. Inflasi inti diperkirakan akan meningkat namun tetap rendah karena output masih berada di bawah potensinya.
Proyeksi baru ini muncul setelah China meningkatkan upayanya untuk menopang pemulihan yang tidak merata di negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia tersebut, yang mengalami kesulitan dalam menghadapi krisis properti yang berkepanjangan dan dampak buruknya terhadap investor, konsumen, dan dunia usaha.
"Peningkatan yang kami lakukan tahun ini terutama mencerminkan fakta bahwa pertumbuhan PDB kuartal pertama lebih kuat dari perkiraan, dan ada beberapa langkah kebijakan tambahan yang baru-baru ini diumumkan," kata Deputi Pertama Direktur Pelaksana IMF Gita Gopinath di Beijing, dikutip dari CNBC International.
Kendati prospek pertumbuhan di 2024 cukup baik, namun pada 2029, IMF memprediksi pertumbuhan di China akan melambat menjadi 3,3% karena populasi yang menua dan ekspansi produktivitas yang lebih lambat.
(chd/chd)