
Tiba-tiba Rupiah Perkasa! Dolar Kini Rp15.900, Ini 5 Penyebabnya

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada pertengahan perdagangan hari ini, Kamis (16/5/2024).
Dilansir dari Refinitiv, rupiah mengalami apresiasi sebesar 0,53% per pukul 11:12 WIB. Posisi ini memperpanjang tren penguatan rupiah sejak kemarin, Rabu (15/5/2024).
Lebih lanjut, posisi rupiah saat ini juga merupakan yang terkuat sejak 5 April 2024 atau sekitar satu bulan terakhir.
Kuatnya nilai tukar rupiah tak lepas dari anjloknya indeks dolar AS (DXY) yang terjadi khususnya kemarin yang turun sebesar 0,64% dan pada intra-day hari ini kembali mengalami depresiasi 0,13%.
Berikut ini beberapa alasan baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang menyebabkan rupiah mengalami penguatan.
Neraca Perdagangan di Atas Ekspektasi Pasar
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan Indonesia kembali mencetak surplus transaksi berjalan sebesar US$3,56 miliar. Ini adalah surplus ke-48 sejak Mei 2020.
Surplus ini dipicu oleh nilai ekspor Indonesia yang masih lebih tinggi dari pada impor. Nilai ekspor padaApril 2024 mencapai US$19,62 miliar. Sementara itu, impor tercatat sebesar US$16,06 miliar.
Surplus ini lebih tinggi dibandingkan dengan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia. Dari 12 lembaga, surplus neraca perdagangan pada April 2024 diperkirakan akan mencapai US$3,24 miliar.
Dengan demikian, Indonesia telah mengalami surplus selama 4 tahun lamanya. Ini adalah posisi surplus terpanjang kedua Indonesia dalam sejarah. Surplus terpanjang sebelumnya terjadi pada 1995-2008 atau tepatnya 152 bulan beruntun.
Sejumlah kalangan ekonom pun mengungkapkan dampak langsung surplusnya neraca perdagangan itu bagi perekonomian Indonesia. Di antaranya terkait dengan dampak pasokan dolar di dalam negeri hingga terjaganya kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia.
BI Rate Naik 25 bps
Pada pertemuan Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) April 2024, memutuskan bahwa suku bunga acuan mengalami kenaikan 25 basis poin (bps) ke angka 6,25%.
Hal ini dilakukan untuk menjaga nilai tukar rupiah yang sempat menyentuh angka Rp16.200/US$.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan kenaikan BI rate ini dilakukan agar stabilisasi mata uang Garuda dapat terjadi.
"Kenaikan suku bunga ini untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah dari kemungkinan memburuknya risiko global serta sebagai langkah preemptive dan forward looking untuk pastikan inflasi sesuai sasaran 2,5 plus minus 1% 2024 2025 sejalan dengan stance kebijakan prostabilitas," ungkap Perry dalam konferensi pers, Rabu (24/4/2024).
Cadangan Devisa untuk Intervensi
BI mengungkapkan bahwa penurunan Cadangan Devisa (cadev) pada April 2024 sebesar US$4,2 miliar menjadi US$136,2 miliar dilakukan untuk intervensi karena terjadi pelemahan terhadap rupiah.
Perry juga mengatakan bahwa salah satu alasan depresiasi rupiah yakni karena cepatnya perubahan situasi global yang mendorong aliran modal keluar (capital outflow) dari dalam negeri.
Kendati cadev menurun, namun posisi cadev masih setara dengan pembiayaan 6,1 bulan impor atau 6,0 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Perry menambahkan cadev sewajarnya alami peningkatan drastis ketika neraca perdagangan surplus besar dalam dua tahun terakhir. Sebaliknya ketika surplus mulai menyempit, maka pasokan terhadap cadev mulai terbatas.
"Gak usah insecure seperti itu, ya memang wajarnya gitu," ungkapnya.
SBN Diborong Asing
Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun terpantau dibeli oleh asing dalam dua pekan terakhir.
Asing mulai masuk dalam dua pekan beruntun dengannet buymencapai Rp 7,1 triliun. Hal ini berbanding terbalik dengan lima pekan sebelumnya di mana asing mencatatnet selldengan nilai mencapai Rp 40,04 triliun.
Selama tahun 2024, berdasarkan data setelmen sampai dengan 7 Mei 2024, investor asing jual neto Rp46,61 triliun di pasar SBN, beli neto Rp3,83 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp31,43 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Hal ini juga tercermin dari imbal hasil SBN tenor 10 tahun yang menurun dari 7,239% pada 29 April 2024 menjadi 6,932% pada 15 Mei 2024. Bahkan pada 16 Mei 2024, imbal hasil SBN kembali menurun menjadi 6,832% di tengah perdagangan hari ini.
Data Inflasi dan Ketenagakerjaan AS Mendingin
Inflasi konsumen AS terpantau lebih rendah menjadi 3,4% year on year/yoy pada April 2024 dibandingkan dengan periode Maret 2024 yang berada di angka 3,5% yoy.
Secara bulanan, inflasi AS ada di angka 0,3% pada April 2024, atau melandai dibandingkan Maret yang tercatat 0,4%.
Inflasi inti di luar harga energi dan pangan melandai ke 3,6% (yoy) pada April 2024, dari 3,8% (yoy) pada Maret 2024. Secara bulanan, inflasi inti melandai ke 0,3% pada April 2024 dari 0,4% pada Maret 2024.
Perlambatan inflasi dan stagnasi penjualan ritel menandakan perlambatan dalam permintaan domestik, yang sejalan dengan tujuan bank sentral AS (The Fed) untuk mencapai "soft-landing" bagi ekonomi.
Di samping itu, data ketenagakerjaan AS dalam hal lapangan kerja jauh lebih lambat pada bulan April, tercatat 175.000 pekerjaan yang ditambahkan pada April, lebih rendah dibandingkan dengan 315.000 pada Maret.
Tingkat pengangguran juga meningkat menjadi 3,9% pada April, naik dari 3,8% pada bulan sebelumnya, namun ini masih merupakan bulan ke-27 berturut-turut tingkat pengangguran berada di bawah 4%. Pertumbuhan pendapatan rata-rata per jam yang penting melambat menjadi 0,2% pada bulan tersebut.
Selain itu, Non-Farm Payroll (NFP) periode April 2024 terpantau turun ke 167.000, lebih dalam dari perkiraan pasar sebesar 190.000 dan bulan sebelumnya sebesar 243.000 pekerjaan.
Hal ini pada akhirnya membuka peluang kembali untuk bank sentral AS (The Fed) memangkas suku bunganya sebanyak dua kali dengan total 50 bps yang diperkirakan akan terjadi pada September dan Desember 2024.
Jika hal ini terjadi, maka tekanan terhadap rupiah akan semakin minim atau dengan kata lain, rupiah akan mengalami penguatan ke depannya.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)