
Neraca Perdagangan Surplus 4 Tahun Beruntun, Rakyat Dapat Apa?

Jakarta, CNBC Indonesia - Neraca perdagangan Indonesia surplus selama empat tahun beruntun atau tepatnya 48 bulan berturut-turut dari Mei 2020 hingga April 2024. Nilai dari hasil surplus itu mencapai US$ 157,21 miliar, lebih tinggi dari posisi cadangan devisa (cadev) April 2024 senilai US$ 136,2 miliar.
Sejumlah kalangan ekonom pun mengungkapkan dampak langsung surplusnya neraca perdagangan itu bagi perekonomian Indonesia. Di antaranya terkait dengan dampak pasokan dolar di dalam negeri hingga terjaganya kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Global Markets Economist Maybank Indonesia Myrdal Gunarto mengatakan surplus neraca perdagangan yang terjaga sangat terasa dalam perhitungan pertumbuhan ekonomi. Sebab, komponen ekspor mampu tumbuh positif sedangkan impor sebagai faktor pengurang mampu ditekan.
"Setidaknya bisa memberikan dukungan buat ekonomi Indonesia tetap bisa tumbuh 5% seperti yang kita lihat pada kuartal I lalu," kata Myrdal kepada CNBC Indonesia, Kamis (16/5/2024).
Komponen ekspor menyumbang 21,37% dalam struktur pertumbuhan ekonomi Indonesia. Angka itu memang masih jauh lebih rendah dari konsumsi rumah tangga yang mencapai 54,93%, dan investasi atau pembentukan modal tetap bruto (PMTB) 29,31%.
Meski demikian, Myrdal menekankan, dengan terjaganya surplus itu membuat perekonomian Indonesia stabil hingga mampu terus tumbuh di kisaran atas 5% sampai awal tahun ini. Padahal, tekanan ekonomi global tengah kencang dengan potensi perlambatan ekonomi.
Bank Indonesia memperkirakan, dengan banyaknya peperangan di berbagai belahan dunia saat ini, seperti di Timur Tengah, Ukraina-Rusia, hingga potensi konflik Taiwan-China, pertumbuhan ekonomi global hanya akan mencapai 3% tahun ini, turun dari 2023 sebesar 3,1%.
"Walaupun memang mayoritas ditopang belanja domestik, tapi ya selama performa ekspornya bisa mengimbangi performa impor sehingga trade balancenya surplus ya tentunya ini bisa memberikan kontribusi ke perekonomian kita," ucap Myrdal.
Namun, di balik surplus empat tahun itu, juga ada permasalahan struktural yang mencerminkan kinerja ekspor Indonesia tidak efektif dalam mendukung pertumbuhan ekonomi lebih cepat, guna memberikan kemakmuran bagi masyarakat.
Hal ini diungkapkan oleh ekonom yang merupakan Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal. Ia mengatakan, di balik surplus neraca perdagangan selama empat tahun terakhir, komponen pendukungnya terbilang tidak sehat, sebab surplusnya terjaga lebih disebabkan cepatnya penurunan impor, sedangkan ekspor turun lebih lambat.
Pada April 2024 saja, ekspor Indonesia nilainya hanya sebesar US$ 19,62 miliar, padahal pada April 2022 masih senilai US$27,32 miliar. Sedangkan impor telah merosot lebih dalam menjadi sebesar US$ 16,06 miliar dari posisi April 2022 sebesar US$ 19,76 miliar. Faisal mengatakan, ini menandakan aktivitas ekonomi di dalam negeri sebetulnya terus menerus melambat.
"Itu bukan karena peningkatan ekspor, ekspor turun. Tapi kenapa surplus, karena impor turunnya lebih tajam. Ini artinya baik kegiatan produksi untuk berorientasi ekspor maupun juga kegiatan produksi domestik ini sama-sama mengalami pelemahan," tutur Faisal.
Tidak signifikannya kinerja ekspor itu juga disebabkan struktur ekspornya yang mayoritas masih ditopang oleh barang-barang komoditas bernilai tambah rendah. Badan Pusat Statistik (BPS) pun mencatat, selama surplus 4 tahun terakhir komoditas penopang ekspornya hanyalah batu bara dan minyak mentah kelapa sawit.
Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede menambahkan, nilai ekspor komoditas itu juga sangat dipengaruhi harga. Maka ketika harga jual seperti CPO sedang buruk di tataran internasional, akan membuat kinerja ekspor Indonesia ikut merosot. Terbalik dengan produk-produk hasil olahan industri manufaktur yang lebih tahan gejolak harga.
"Penurunan ekspor ini kan juga disebabkan oleh harga CPO yang anjlok secara signifikan di bulan April 2024 karena normalisasi permintaan global setelah bulan puasa di bulan Maret 2024," ucap Josua.
Ketika neraca perdagangan surplusnya terus tertekan dan tidak mampu mengimbang defisit neraca jasa yang tidak pernah sekalipun surplus. Josua memperkirakan, defisit transaksi berjalan ke depan akan kembali melebar, membuat pasokan dolar di dalam negeri akan semakin menyempit di tengah kebutuhan stabilisasi nilai tukar rupiah akibat penguatan dolar.
"Karena surplus perdagangan menurun dari US$ 12,11 miliar pada Januari Maret 2023 menjadi US$ 7,41 miliar pada Januari-Maret 2024, kami memperkirakan neraca transaksi berjalan akan mencatat defisit 0,40% dari PDB pada kuartal I-2024, dibandingkan dengan surplus 0,90% dari PDB pada kuartal I-2023. Hal ini juga menunjukkan pelebaran dari defisit -0,38% dari PDB pada kuartal IV-2023," tegasnya.
Bila tidak ada perbaikan dalam struktur ekspor Indonesia dalam mendukung tren surplus neraca perdagangan ini, Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P Sasmita menambahkan, ke depan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan semakin tertekan, ditambah dengan tren pasokan dolar hasil ekspornya yang juga akan semakin tertekan.
"Angka pertumbuhan ekonomi di kuartal II nanti akan tertekan, dan sumber devisa semakin berkurang, sementara kebutuhan terhadap dolar semakin tinggi karena di sisi lain BI harus menggunakan devisa untuk operasi pasar terbuka di pasar sekunder. Karena itu rupiah semakin melemah, di mana level terkuat Rupiah atau level supportnya berubah ke level 16.000 an per dolar," tegas Ronny.
Meski demikian, perlu diingat bahwa tren surplus beruntun 48 bulan beruntun ini bukan baru-baru ini saja terjadi. Mengutip data BPS, surplus neraca perdagangan terlama yang pernah dialami Indonesia ialah 152 bulan berturut-turut, yakni pada Juni 1995 hingga April 2008. Lalu, selama 18 bulan beruntun pada Januari 2016-Juni 2017.
Karena itu, masih ada peluang bagi pemerintah untuk terus mempertahankan surplus neraca perdagangan Indonesia ini, dengan cara memperbaiki struktur ekspornya melalui dorongan geliat industri manufaktur yang berorientasi ekspor, tidak hanya fokus pada industri-industri eksportir barang-barang komoditas ekstraktif seperti batu bara dan CPO.
"Tapi ya kita harapkan ke depannya mayoritas ekspor kita didominasi oleh ekspor yang memiliki value added dan juga memang pemerintah dengan fokus pada program seperti hilirisasi tentu ini harapannya kita bisa terdongkrak dari sisi ekonomi secara keseluruhan, tidak hanya dari sisi sektor ekspornya saja," ucap Global Markets Economist Maybank Indonesia Myrdal Gunarto .
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Breaking News: Neraca Dagang RI Surplus US$ 870 Juta di Februari 2024
