Hari Ini OJK-BI-Sri Mulyani Buka Suara Soal Ekonomi RI, Ada Soal IHSG?
- Pasar keuangan Indonesia bergerak beragam, IHSG hancur lebur tetapi rupiah malah menguat tajam
- Wall Street terbang sehari setelah pengumuman The Fed
- Keputusan suku bunga The Fed, rapat KSSK, kenaikan harga batu bara hingga ambruknya saham perbankan diperkirakan akan menjadi penggerak pasar hari ini
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditutup beragam kemarin Kamis (2/5/2024). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ambruk sementara nilai tukar rupiah mengalami apresiasi begitu pula Surat Berharga Negara (SBN) kembali diborong investor.
Pasar keuangan diperkirakan masih bergerak cukup volatil pada hari ini, Jumat (3/5/2024) dengan terdapat beberapa agenda dan data yang akan keluar. Selengkapnya mengenai proyeksi dan sentimen pasar pekan ini bisa dibaca pada halaman 3 artikel ini
IHSG pada perdagangan kemarin (2/5/2024) IHSG ditutup ambruk 1,61% ke posisi 7.117,42. IHSG bahkan sempat ambles hingga 2% lebih dan menyentuh level psikologis 7.000.
Nilai transaksi IHSG pada akhir perdagangan kemarin mencapai Rp16,78 triliun dengan volume transaksi mencapai 19,28 miliar lembar saham dan sudah ditransaksikan sebanyak 1,29 juta kali.
Beberapa sektor menjadi penekan IHSG di akhir perdagangan kemarin, yakni sektor finansial yang ambles sebesar 3,75% serta sektor industri yang anjlok 2,12%.
Beberapa saham juga terpantau menjadi penekan (laggard) IHSG pada akhir perdagangan. Berikut daftarnya.
Big 4 saham perbankan menjadi pengerek IHSG lebih dari 1%. Bank Mandiri (BMRI) turun 52,35 indeks poin, Bank Rakyat Indonesia (BBRI) turun 21,01 indeks poin, Bank Central Asia (BBCA) turun 17,15 indeks poin, dan Bank Negara Indonesia (BBNI) turun 15,24 indeks poin.
IHSG kembali merana hingga ambruk lebih dari 1% disinyalir karena merespon keputusan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang kembali menahan suku bunga pada Kamis dini hari waktu Indonesia.
Suku bunga The Fed bertahan di level tinggi, 5,25-5,50% untuk keenam kalinya secara beruntun.
The Fed menegaskan tidak akan ada kenaikan suku bunga pada tahun ini. Namun, mereka juga mengatakan belum ada kemajuan berarti dalam penurunan inflasi sehingga akan menunggu lebih banyak data pendukung sebelum memangkas suku bunga acuan.
Untuk diketahui, The Fed dalam rapat Federal Open Market Committee (FOMC) mengerek suku bunga sebesar 525 bps sejak Maret 2022 hingga Juli 2023. Mereka kemudian menahan suku bunga di level 5,25-5,50% pada September, November, Desember 2023, Januari 2024, Maret 2024, dan Mei 2024.
Akibat hal ini, pasar melihat prospek penurunan suku bunga ini semakin jauh dari perkiraan awal. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terhadap aset berisiko, sehingga investor cenderung beralih ke aset yang lebih konservatif atau aset safe haven.
Sedangkan dari sisi domestik, pergerakan pasar keuangan domestik dipengaruhi oleh angka inflasi Indonesia yang masih berada di bawah ekspektasi. Namun, angka inflasi masih cenderung stabil dan terkendali.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi April 2024 mencapai 0,25% secara bulanan (month to month). Sementara itu, inflasi tahunannya mencapai 3,0% (yoy) dan secara tahun kalender sebesar 1,19% (ytd). Tingkat inflasi bulanan pada April ini lebih rendah dari bulan sebelumnya dan dari posisi April 2023.
Adapun, konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 10 institusi memperkirakan inflasi April 2024 akan mencapai 0,33% dibandingkan bulan sebelumnya (month to month/mtm).
Hasil polling juga memperkirakan inflasi (year on year/yoy) akan berada di angka 3,08% pada April. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan Maret 2024.
Sebagai catatan, inflasi pada Maret 2024 tercatat 3,05% (yoy) dan 0,52% (mtm) sementara inflasi inti mencapai 1,77% (yoy).
Sementara dari pasar mata uang, rupiah menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada penutupan kemarin 0,46% ke angka Rp16.180/US$. Posisi ini mematahkan tren pelemahan rupiah yang terjadi empat hari beruntun.
Salah satu pendorong penguatan rupiah yakni indeks dolar AS (DXY) yang mengalami penurunan. Pada pukul 15:05 WIB kemarin, DXY melemah 0,12% menjadi 105,633. Angka ini semakin menjauhi level 106.
Jika ini semakin berlanjut turun, ada kemungkinan bisa menjadi pendongkrak untuk rupiah menguat dan memicu asing kembali masuk ke pasar keuangan RI.
Selanjutnya, beralih pada imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) yang bertenor 10 tahun terpantau mengalami penurunan 1,57% menjadi 7,154% pada penutupan perdagangan kemarin.
Penurunan imbal hasil ini mematahkan tren kenaikan yang terjadi dalam lima hari beruntun sejak 24 April 2024.
Perlu diketahui, hubungan yield dan harga pada SBN ini berbanding terbalik, artinya ketika yield turun berarti harga obligasi naik, hal ini menunjukkan minat investor mulai kembali lagi ke SBN.
(rev/rev)