
Ada Tantangan & Peluang 2024, Tugas "Juru Selamat" Treasuri Kian Berat

Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun 2024 memberikan banyak tantangan sekaligus peluang bagi industri perbankan tanah air. Peran treasuri perbankan pun akan semakin menantang.
Memasuki triwulan kedua 2024, perekonomian global masih diliputi oleh ketidakpastian kebijakan bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed). Ketidakpastian ini bisa berdampak kepada likuiditas serta suku bunga perbankan.
Di sisi lain, lahirnya sejumlah instrumen baru dalam pendalaman pasar keuangan serta hadirnya primary dealer dalam transaksi Global Master Repurchase Agreement (GMRA) di Indonesia menjadi angin segar bagi industri perbankan Tanah Air.
Pelaku pasar semula berekspektasi jika The Fed akan mulai memangkas suku bunga pada Maret tahun ini. Namun, harapan itu pupus. The Fed memilih untuk mempertahankan suku bunga The Fed di level 5,25-5,50% pada pertemuan Maret. The Fed bahkan belum memberi sinyal penurunan suku bunga dan memilih menahan suku bunga pada pertemuan terakhir, Rabu waktu AS atau Kamis dini hari waktu Indonesia (2/5/2024).
Inflasi AS yang menanjak ke 3,5% (year on year/yoy) pada Maret juga membuat mulai pesimis jika The Fed akan memangkas suku bunga pada Juni.
Belum adanya sinyal pemangkasan suku bunga The Fed diyakini akan membuat bank sentral lain di dunia menahan diri, termasuk Bank Indonesia (BI).
Bank Indonesia (BI) bahkan secara mengejutkan kembali mengerek suku bunga acuan sebesar 25 bps pada Rabu (24/4/2024) menjadi 6,25%. Suku bunga saat ini adalah yang tertinggi sejak Juli 2019 atau hampir lima tahun lalu.
Tahun 2024, Tahun Menantang Sekaligus Penuh Harapan Bagi Treasuri Bank
Dalam industri perbankan, peran treasuri sangatlah komplek mulai dari mengelola aset, modal, kas, hingga investasi. Seorang treasuri juga harus menjaga kesehatan sebuah bank.
Tugas treasuri bank tahun ini tentu lebih berat dengan belum adanya kejelasan pemangkasan suku bunga di AS. Namun, treasuri bank juga mendapat banyak kabar baik pada tahun ini.
Di antaranya adalah banyaknya instrumen operasi moneter BI yang baru serta akan hadirnya primary dealer untuk transaksi Global Master Repurchase Agreement (GMRA) di Indonesia.
Seperti diketahui, pada September 2023, BI meluncurkan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sebagai instrumen operasi moneter menggantikan Reverse Repurchase Agreement (Reverse Repo) Surat Berharga Negara atau RR SBN untuk tenor 6, 9, dan 12 bulan.
BI juga menambah amunisi baru yakni Sekuritas Valuta Asing Bank Indonesia (SVBI) dan Sukuk Valuta Asing Bank Indonesia (SUVBI).
Bagi bank, SRBI bisa disimpan untuk menambah likuiditas ataupun mendapatkan revenue dengan menjualnya ke pihak lain seperti perusahaan pengelola aset, investor baik dalam atapun luar negeri, dan investor ritel.
Bila bank menjual ke SRBI ke institusi lain maka langkah itu bisa membuat aset bank tersebut terdiversifikasi.
Selain bertambahnya instrument pendalaman pasar keuangan, kabar baik lainnya adalah transaksi GMRA yang lebih tinggi karena kehadiran primary dealer.
Bank Indonesia berencana memberlakukan kebijakan primary dealer (PDs) pada tahun ini dalam transaksi GMRA. Nantinya, GMRA dilakukan tanpa BI.
Transaksi GMRA bisa semakin mempermudah bank-bank untuk memiliki alternatif penempatan dana atau sumber dana yang dapat digunakan untuk pengelolaan likuiditas.
GMRA membuka jalan baru bagi bank berskala menengah dan kecil untuk dapat mengakses likuiditas langsung dari bank lain, tanpa perlu perantara atau meminjam melalui BI.
GMRA memungkinkan bank memperluas transaksi repo dan reverse repo di luar jangkauan BI.
![]() Tugas treasuri bank |
J Trust Bank Bersiap Memaksimalkan SRBI dan GMRA
Novy Angela Andow, Executive Vice President Treasury & Financial Institutions dari PT Bank JTrust Indonesia Tbk ((J Trust Bank)), mengungkapkan bahwa portofolio instrumen J Trust Bank masih secara dominan dipenuhi oleh Surat Berharga Negara (SBN).
Instrumen SBN, menurutnya, tidak hanya membantu memenuhi kewajiban, tetapi juga memberikan penerimaan.
Pada 1 September 2022, Bank Indonesia secara resmi meningkatkan rasio Giro Wajib Minimum (GWM) perbankan menjadi 9%. Pemenuhan GWM Sekunder (GWM PLM) dihitung dengan membandingkan jumlah SBI, Surat Utang Negara (SUN), Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), dan/atau excess reserve setiap akhir hari dalam 1 (satu) periode laporan terhadap rata-rata harian jumlah dana pihak ketiga (DPK) dalam 1 (satu) masa laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya.
"Trading SBN juga memberikan peluang untuk mendapatkan fee based income. Meskipun demikian, mendapatkan fee based income dari obligasi pemerintah memiliki tantangan tersendiri karena pergerakannya cenderung satu arah, entah itu naik atau turun, berbeda dengan trading forex yang memiliki fluktuasi naik turun yang dapat diprediksi," tutur Novy, kepada CNBC Indonesia.
Namun, Novy memastikan jika J Trust Bank akan segera mengakses SRBI.
"Pada dasarnya, kami ingin melakukan diversifikasi portofolio. Kami akan memasuki SRBI, khususnya yang memiliki jangka waktu 6 bulan, karena permintaannya terbilang tinggi," imbuhnya.
Besarnya minat bank terhadap SRBI ini diperkirakan akan meningkat sehingga akan membantu perbankan dalam menambah likuiditas. Menurut data dari Bank Indonesia, hingga 23 April 2024, posisi instrumen SRBI, SVBI, dan SUVBI masing-masing tercatat sebesar Rp393,66 triliun, US$ 1,89 miliar, dan US$ 334 juta.
Selain antusias menambah portofolio di SRBI, Novy juga menyatakan bahwa J Trust Bank sangat antusias dalam menyambut aturan baru GMRA. Lebih lanjut, dealer utamanya bukan lagi BI tetapi perbankan yang tentunya memenuhi sejumlah persyaratan dan ditetapkan oleh BI.
GMRA sendiri digunakan atau dijadikan sebagai acuan dalam transaksi repo oleh para pelaku pasar global. GMRA menjadi suatu standar perjanjian untuk transaksi repo yang dapat diterima oleh berbagai pihak, termasuk perbankan.
Seiring dengan ketentuan dalam PBI No. 9 Tahun 2023 dan PADG No.2 Tahun 2024, Bank Indonesia memiliki wewenang untuk menunjuk pelaku pasar sebagai agen bank, dealer utama (primary dealer), dan/atau pendukung dalam pelaksanaan dan pengembangan transaksi operasi moneter baik pasar uang maupun pasar valas.
Menurutnya, keberadaan primary dealer akan mendorong bank-bank untuk lebih aktif dalam bertransaksi antar sesama, karena mereka tidak lagi hanya mengandalkan Bank Indonesia secara eksklusif.
![]() Layanan J Trust Bank |
"Bank Indonesia tidak lagi menjadi satu-satunya tujuan reverse repo. Hal ini membuat kita perlu membangun hubungan yang lebih erat dengan bank lain. Saat ini, reverse repo masih dominan ke Bank Indonesia, namun kita harus siap untuk beradaptasi dengan perubahan," ujarnya.
Peningkatan jumlah bank yang menandatangani perjanjian induk repo antar bank atau GMRA menjadi catatan positif bagi Bank Indonesia. Pada akhir Mei 2023, misalnya, sebanyak 76 bank telah mengikuti penandatanganan perjanjian GMRA tersebut, menunjukkan partisipasi yang semakin luas dalam pasar keuangan.
"Untuk mengikuti GMRA, penting bagi bank-bank untuk menandatangani perjanjian antar bank. Hal ini akan mendorong bank-bank untuk menjadi primary dealer, sehingga bank-bank lain akan lebih tertarik untuk bertransaksi dengan mereka. Inisiatif ini diharapkan akan mendapat dukungan lebih lanjut dari pihak bank, dengan Bank Indonesia menjadi pengguna layanan akhir (end user)," ujar Novy.
Dalam tiga tahun terakhir, pasar uang Indonesia telah mencatat peningkatan signifikan dalam transaksi repo. Volume rerata harian transaksi repo terus meningkat, dari Rp7,3 triliun pada tahun 2022 menjadi Rp10,9 triliun pada tahun 2023, menunjukkan pertumbuhan yang positif dalam aktivitas pasar uang.
Jumlah pelaku dalam pasar juga mengalami peningkatan, dari hanya 12 bank pada tahun 2019 menjadi sekitar 34 bank pada tahun 2023. Hal ini mencerminkan minat yang semakin besar dari berbagai bank untuk terlibat dalam aktivitas pasar uang, yang merupakan indikasi positif bagi perkembangan ekonomi.
![]() Transaksi Repo |
Novy menyatakan bahwa J Trust Bank telah menjalin hubungan dengan 46 bank sebagai mitra dalam GMRA."Dalam setahun terakhir, kami telah mengunjungi berbagai bank untuk menandatangani perjanjian GMRA, sehingga kami memiliki 46 perjanjian dengan bank-bank tersebut. Hal ini akan memungkinkan kami untuk melakukan transaksi reverse repo dengan repo di masa mendatang," ujarnya.
Novy menjelaskan bahwa keberadaan primary dealer dalam transaksi repo akan meningkatkan dorongan positif terhadap volume dan nilai dari transaksi reverse repo. Ini disebabkan oleh ketiadaan batasan dalam transaksi tersebut.
Perkembangan ini akan memberikan manfaat bagi perbankan nasional, termasuk J Trust Bank.
"Nantinya, batasan transaksi akan menjadi unlimited, mencapai nilai triliunan antar bank. Hal ini akan membawa banyak peluang menarik. Seluruh bank telah menyiapkan infrastruktur dan perjanjian GMRA sejak tahun lalu. Yang terpenting, kerja sama dan komunikasi antar bank terus ditingkatkan, menciptakan hubungan yang erat dan membangun sinergi yang positif," tuturnya.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
